Wisnu Prasetya Utomo, Peneliti Media dan Penerjemah Buku “Kuasa Media di Indonesia : Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital (Ross Tapssel) memaparkan tentang awal mula isu oligarki media.

Menurutnya, isu tersebut mulai mendominasi sejak pasca reformasi 1998. “Isu ini merupakan konsekuensi logis dari demokrasi,” ucapnya dalam diskusi publik bertajuk “Oligarki Media: Sayonara Demokrasi Kita?” yang dilaksanakan di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta Pusat Jumat (21/2).

Dalam diskusi yang diadakan oleh relawan Saya Golput ini, Wisnu mengatakan, oligarki media terjadi ketika kebebasan pers dibuka, tetapi jejaring oligarki lama masih ada. Hal itu diperparah karena tidak adanya regulasi yang mengatur pembatasan kepemilikan media.

Wisnu menganggap, pasca reformasi 1998 terjadi proses mediatisasi politik. Mediatisasi politik adalah gejala ketika media mengambil ruang penting dalam proses politik elektoral. Ia menambahkan, hal itu terjadi karena yang dijual oleh kandidat calon presiden (capres) hanyalah citra, bukan program.

“Akhirnya, yang muncul dalam perdebatan kita adalah citra kandidat sebagai orang baik, bukan membicarakan program yang membedakan antar kandidat.”

Selain itu, Wisnu menceritakan bahwa banyak pemilik media yang akhirnya mendirikan partai politik atau masuk ke partai politik untuk mendapatkan jabatan politik. Menurutnya, konsekuensi yang terjadi adalah segenap pelaku media diarahkan untuk mendorong agenda politik. “Ketika oligarki media semakin menguat, kita tidak akan melihat media memberitakan isu substansif seperti membahas tentang program-program kerja calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Karena, pemilik media punya kepentingan untuk mendapatkan jabatan politik.”

Iklan

Memaparkan data tentang kepemilikan media di Indonesia, Dhandy Laksono, Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Terdapat 522 merek media, tetapi pemiliknya hanya 12 orang. Dari 522 merek media, terdapat sekitar 200 media televisi yang dikuasai oleh 5 orang saja.

Menurut Dhandy, data tersebut menggambarkan bahwa media di Indonesia begitu terkonsentrasi. Oligarki media tidak hanya berdampak kepada politik. Hal tersebut juga berpengaruh ke korporasi. “Dalam film “Asimetris”, disitu memaparkan korelasi perusahaan sawit dengan media yang ada di Indonesia,” ucap Dandhy yang merupakan pendiri media watchdoc.

Selain itu, ia menyayangkan pemerintah yang harusnya menjadi penjaga nilai, malah hanya menjadi aktor politik yang menikmati situasi oligarki media ini. “Baik pemerintah maupun oposisi akhirnya menjadi penikmat media yang partisan ini,” tuturnya.

Dari sudut pandang media sosial, Dhita Caturani, Pegiat Teknologi menganggap masih ada harapan dalam melawan dominasi oligarki media. Menurutnya, saat ini dengan adanya media sosial harus digunakan sebagai media alternatif.

“Karena media sosial menjadi media berekspresi yang berpotensi untuk menyalurkan pendapat kelompok yang termarjinalkan,” ucap Dhita yang juga merupakan salah satu aktivis perempuan.

Akan tetapi, terdapat tantangan tersendiri bagi media sosial. Ia menganggap Undang Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi penghalang kebebasan berekspresi. “UU ini memungkinkan setiap warga negara dapat mengkriminalisasi warga negara lain.”

“Karena hal tersebut, Dhita menganggap perlu adanya aksi nyata di ruang publik, tidak hanya berhenti di media sosial,” pungkas Dhita.

Penulis: Ahmad Qori H.

Editor : Uly Mega S.