“Berlakunya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berdampak pada kondisi kampus yang kian sepi. Tak ada lagi pemandangan mahasiswa hilir mudik, untuk sekedar kongkow atau kepentingan perkuliahan. Imbasnya, sebagian pedagang yang masih berjualan kehilangan pemasukannya. Pihak kampus bukannya memberi bantuan, malah berniat menaikan sewa.”

Setiap memasuki kampus melewati jalan Pemuda, kita akan menjumpai pemandangan deretan tenda-tenda pedagang. Dari belakang Gedung Fakultas Teknik (FT), Fakultas Ilmu Sosial (FIS), hingga di seberang selasar Gedung G, hanya sebagian kecil saja yang menunjukkan aktivitas jual-beli, layaknya sebuah kantin. Sisanya tak menunjukkan aktivitas barusan, terlihat hanya terdapat perkakas-perkakas kusam, akibat sudah lama tak digunakan.

Berdasarkan pengamatan Tim Didaktika, sebelum terjadinya relokasi kantin, terdapat 40 pedagang yang berjualan. Jumlah tersebut kian hari semakin menyusut, akibat adanya kebijakan pembatasan kegiatan di ruang publik. Kini tak sampai setengahnya bertahan, hanya sekitar 15 pedagang. Kebanyakan tenda-tenda yang tutup ditinggalkan empunya, pulang ke kampung halaman atau mencari pekerjaan lain.

Mereka yang bertahan pun sebenarnya tak memiliki kepastian nasib. Kirno, salah seorang pedagang yang bertahan, mengatakan penghasilannya setiap hari tak mencukupi, bahkan untuk kebutuhan berbelanja harian saja kadang harus nombok atau meminjam kepada orang lain. Itu-pun belum ditambah biaya sewa kontrakan dan kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Setiap harinya selepas subuh, Kirno mengayuh pedal sepedanya, menyusuri daerah Utan Kayu menuju Pasar Enjo, guna berbelanja kebutuhan berdagang. Seperti buah, minuman bungkusan, serta lain sebagainya. Namun sejak pandemi ini, kegiatan barusan tidak dilakukannya lagi secara rutin, paling banter seminggu hanya dua kali.

Saat ditanya mengenai penghasilannya saat ini. Kirno secara spontan langsung mengeluarkan uang di dalam saku bajunya. Terdapat beberapa lembaran uang dua ribu rupiah, serta selembar lainnya berwarna hijau. Jika ditotal, uang tersebut tidak sampai seratus ribu rupiah uang dari hasil berjualan sehari di kampus.

Iklan

Dirinya bercerita sebelum adanya wabah, dalam sehari dapat mengantongi uang sampai satu juta rupiah. Bahkan, Kirno mengaku sedikit kelelahan melayani pesanan, yang seakan tidak ada habisnya.“Baru bikin es teh ada lagi yang mesan jus atau minum lainnya,” ujarnya.

Sejalan dengan Kirno, Kasmi yang sehari-hari berjualan nasi dan aneka lauk-pauk, mengaku berdagang di kondisi sekarang tidak dapat mengharap adanya untung. Paling banter hanya untuk bertahan hidup saja. Baginya hal tersebut paling tidak masih patut disyukuri, ketimbang tak mengantongi uang sama sekali.

Wanita asal Gunung Kidul tersebut, mengungkapkan dalam seharinya hanya mengantongi uang sekitar 400-600 ribu rupiah. Sesuatu yang sangat berbalik dari kondisi biasanya.

“Kalau hari biasa kita bisa dapat uang 1,5-2 juta mas. Tapi, mau protes gimana keadaannya seperti ini. Mau pulang kampung gak bisa dilarang sama yang disana. Jalan satu-satunya ya jualan aja,” terang Kasmi.

Dia menambahkan, keputusannya untuk terus berjualan di kondisi seperti sekarang lebih tepat. Jika memutuskan berhenti, menurutnya akan lebih membingungkan, sebab tidak ada pilihan pekerjaan lain yang dapat menjadi sumber pemasukan. Belum lagi, memikirkan nasib kedua pegawainya, semisal keputusan tadi di ambil secara sepihak.

Sambil tertawa, Kasmi berujar paling tidak masih ada anak-anak Gedung G dan pekerja pembangunan di kampus yang membeli diwarungnya. “Nanti mereka kebingungan lagi, mau beli nasi kalo kita gak jualan,” kata Kasmi.

Senasib dengan Kirno dan Kasmi, Kasori, pria setengah baya yang sehari-harinya menjajakan ketoprak di kampus. Ia turut mengakui pendapatannya sangat menurun sejak adanya pemberlakuan PPKM Level 4. Ia sempat kebingungan mencari modal, untuk kebutuhan berbelanja dan kehidupannya sehari-hari. Pria asli Tegal tersebut tinggal di Jakarta, mengontrak rumah di belakang Pura Rawamangun bersama anak-anak, cucu, dan menantunya.

“Saya pernah, dagang sehari cuman dapat tiga piring. Kalo dihitung gak sampai lima puluh ribu. Itu uang saya pegang, gimana coba di Jakarta cuman pegang uang segitu. Di kontarakan keluarga banyak, untuk makan gak cukup apalagi belanja buat modal,” ujar Kasori

Menurutnya, sebelum PPKM penghasilannya masih lebih baik. Sebab dapat mengantongi uang tiga ratus ribu rupiah, dirasanya cukup untuk modal dan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Selain itu, Kasori turut menyampaikan keberatannya terkait wacana kenaikan biaya sewa kantin, yang semula delapan juta menjadi sepuluh juta rupiah.

“Tadinya biaya sewa mau dinaikin jadi sepuluh juta. Kami (pedagang Blok M) pada protes lah, masa kondisi kaya gini malah seperti itu. Dimana hatinya mereka, kami memang cuman pedagang paling enggak kan ada keringanan untuk pembayaran sewa sudah cukup.” Ucap pria tersebut.

Iklan

Senada dengan Kasori, Kirno pun turut menyayangkan respon kampus tersebut. Dia membandingkan dengan nasib saudaranya yang berjualan di kampus lain, dan nyatanya mendapat potongan biaya sewa serta bantuan dari mahasiswa. UNJ bukannya menerapkan kebijakan sama, malah berusaha menaikkan uang sewa.

Kasmi pun demikian. Ia merasa keberatan untuk membayar biaya sewa di kondisi sekarang. Ia mengatakan, “pembeli saja sepi, kemudian darimana kami mendapatkan uang.” Kasmi menambahkan, bahwa lapak-lapak yang sekarang kosong sebenarnya sudah membayar biaya sewa. Sebab jika tidak membayar pihak kampus, bisa mengganti mereka dengan orang lain.

“Harapannya kampus bijaksana, paling tidak ada penundaan pembayaran. Syukur-syukur ditiadakan untuk tahun depan.”

Ade, ketua paguyuban pedagang Blok M, mengatakan di kondisi seperti sekarang semua pedagang pasti terdampak. Baik dari segi pendapatan atau dari kegiatan sehari-harinya. Kebanyakan yang bertahan, karena tidak adanya pilihan lain. Jika akhirnya memilih pulang ke daerah masing-masing belum tentu di sana ada sesuatu untuk dikerjakan.

Pria yang sehari-harinya mengelola salah satu kios photocopy tersebut, mengakui adanya rencana kenaikan biaya sewa. Namun baginya, hal tersebut sebelumnya sudah dibicarakan bersama perwakilan dari pihak koperasi UNJ selaku pengelola kantin. Tetapi tetap, wacana barusan memang memberatkan di situasi seperti sekarang.

“Memang ada rencana kenaikan dari pihak kampus, sebenarnya itu untuk kebaikan kita (pedagang) juga. Semisal kantin bersih dan rapih tentu semua pihak di untungkan. Namun untuk kondisi sekarang memang kurang tepat kalau biaya sewa dinaikkan. Pedagang kan sekarang berjualan untuk bertahan hidup saja sudah cukup, toh,” ujar Ade.

Saat dikonfirmasi lebih lanjut soal wacana kenaikan biaya sewa tersebut. Irshan, kepala divisi pengelola aset UNJ yang menangani perihal kantin dan parkiran membenarkannya. Ia menjelaskan pihak kampus sebenarnya mendapat teguran dari Badan Pemeriksa Keuangan karena tidak menaikkan biaya sewa selama tahun.

“Memang seharusnya dinaikkan, sebab ada teguran tadi. Namun karena kondisinya seperti sekarang, pembeli sepi kemudian kantin Blok M juga masih bersifat sementara karena sedang proses pembangunan. Terdapat putusan rektor untuk menangguhkan kenaikan biaya sewa,” terang Irshan.

Lebih lanjut, ketika ditanya mengenai pembayaran kantin tahun depan serta bantuan dalam bentuk bansos untuk pedagang. Dirinya berujar dari rektor sendiri, tidak ada putusan semacam itu. Perihal pembayaran di tahun mendatang, dia menghimbau kepada pedagang untuk bersabar menunggu keputusan dari rektor seperti tahun sebelumnya.

 

Penulis : Abdul

Editor : Ahmad Qori