“Suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, nasionalisme yang semacam ini akhirnya pastilah kalah, pastilah binasa.” -Soekarno
Nationaliteit melahirkan Nationaliteitsgovoel-nya sendiri.
Nasionalisme berasal dari kata pokoknya yaitu “Nation” yang artinya bangsa. Jika kita merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maka arti dari Nasionalisme itu sendiri adalah semangat kebangsaan. Saya tidak sepenuhnya sepakat mengenai hal ini. Pasalnya kata “Nasionalisme” sudah ada dari zaman penjajahan belanda yang dulu dikenal dengan istilah “Nationaliteitsgovoel”. Dan kata “Nation” yang berarti bangsa –dalam bahasa inggris—tidaklah sepadan dengan kata “bangsa” itu sendiri. Masyarakat sunda misalnya, mengenali istilah “bangsa” yang berarti “ras, keluarga, tribal”. Bangsa berakar dari kata Sansekerta yaitu “wangsa”, misalnya yang kita kenali sekarang sebagai wangsa Sanjaya; wangsa Syailendra; wangsa Rajasa dsb. Sehingga tak sama dengan ‘nation’. Dan menurut saya nasionalisme bangsa Indonesia bukanlah nasionalisme yang mengadaptasi dari nasionalisme-nasionalisme barat. Tetapi lahir dari bangsa itu sendiri.
Celah masuknya kapitalisme ke dalam nasionalisme
Terlepas dari pembahasan diatas, kini nasionalisme telah berada jauh dari fungsi dan kedudukannya. Nasionalisme saat ini bukan lagi nasionalisme sebagai ideologi, apalagi sebagai gerakan sosial. Bahkan untuk beberapa kelompok, nasionalisme kini dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan praktek-praktek untung-rugi mereka. Doktrin-doktrin tentang nasionalisme yang telah menjadi asupan pokok dari jenjang taman kanak-kanak hingga pendidikan tinggi, memberikan kita muatan-muatan yang menanamkan semangat nasionalisme ke dalam pikiran kita. Dan dari doktrin tersebut juga lahirlah stigma-stigma dalam masyarakat yang berpikiran bahwa menjadi seorang yang tidak nasionalis membuat kita merasa tidak nyaman sehingga kita berusaha untuk menunjukan bahwa kita adalah seseorang yang nasionalis melalui tindakan-tindakan kita.
Celah ini lah yang mereka coba manfaatkan. Belakangan ini kita sering mendengar wacana tentang cara-cara menjadi seorang nasionalis, yang mana mengarahkan kita kepada sebuah sikap-sikap nasionalis yang tidak nasionalisme. Manifestasi-manifestasi nasionalisme kemudian muncul dalam berbagai bentuk. Dari bentuk dukungan terhadap tim nasional sepak bola Indonesia di ajang internasional, sampai bentuk yang agresif, seperti kebencian terhadap negeri tetangga. Manifestasi tersebut muncul juga dalam pola konsumsi kita. Kita diajak untuk mendukung produk-produk lokal. Jargon seperti “cintailah produk-produk Indonesia” didengungkan berulang-ulang di media publik, atau dalam bahasa halusnya “Belilah produk kami, maka kamu telah berkontribusi menyejahterakan masyarakat Indonesia,” begitu kira-kira pesan yang ingin mereka sampaikan. Hal tersebut tentu mengusik jiwa nasionalis para calon pembeli.
Kita pun percaya bahwa dengan membeli produk-produk lokal, maka kita telah membantu perekonomian nasional; bahwa membeli produk lokal adalah bentuk solidaritas kita terhadap sesama bangsa Indonesia. Terbentuk semacam pemahaman bahwa dengan terus membeli produk-produk lokal, maka kesejahteraan masyarakat Indonesia menjadi sebuah keniscayaan. Terlepas dari itu semua kita seakan dibuat lupa oleh satu pertanyaan mendasar, “masyarakat yang mana yang menjadi sejahtera?”
Sebenarnya, tidak sepenuhnya salah pernyataan tersebut, karena memang pasti ada yang menjadi (semakin) sejahtera dari hasil penjualan produk-produk lokal tersebut. Entah kita tidak tahu atau sengaja tidak peduli bahwa terdapat perbedaan kelas-kelas pada masyarakat di dalam satu bangsa. Nasionalisme menutupi perbedaan tersebut dengan mengajarkan bahwa semua masyarakat harus bersatu demi kepentingan bersama sebagai suatu bangsa. Padahal kenyataannya, mereka tidak memiliki kepentingan yang sama akibat adanya hierarki-hierarki dan kelas-kelas dalam masyarakat.
Contoh praktek-praktek kapitalisme dalam produk lokal
Sebagai suatu contoh adalah penjualan produk lokal beras. Beras merupakan salah satu komoditas terbesar di Indonesia. Namun sadarkah kita bahwa dibalik nikmatnya beras yang kita nikmati terdapat eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh ‘si tuan tanah’ pada ‘buruh tani’? Jika 1 orang buruh tani mengurus 1 hektar, bayangkan seberapa timpangnya gaji yang diterima oleh para buruh atas apa yang telah mereka kerjakan. Menurut data dari laman ini, dalam per hari, biasanya gaji seorang buruh tani hanyalah mencapai 40.000 rupiah. Dan dalam 1 hektar tanah milik tuan tanah dapat menghasilkan 9 ton beras, dan jika kita takar dalam satuan liternya, maka per liter beras dihargai dengan harga 8000 – 9000 rupiah.
Jika kita hitung secara keseluruhan maka;
9 ton (9000 kg) beras = ±12.000 liter (tepatnya 11.952,191… liter jika menghitungnya dengan masa jenis beras)
Total beras per hektar dalam hitungan liter (12.000) x rata-rata harga beras di pasaran (8.000 s.d 9.000) = 96.000.000 s.d 108.000.000 rupiah
Gaji seorang buruh = (40.000) x jumlah hari dalam 1 bulan (30) x jumlah bulan dalam 1 musim panen (4) = 4.800.000 rupiah
Dari penghasilan kotor tuan tanah yang mencapai 96.000.000 s.d 108.000.000 yang diterima oleh buruh tani hanya 4.800.000 atau 5% nya saja.
Realitas di lapangan nyatanya tidak semanis retorika yang ditawarkan oleh nasionalisme. Membeli produk-produk lokal tidak serta merta membawa masyarat Indonesia menuju kesejahteraan. Setidaknya, bukan masyarakat kelas pekerja yang menjadi semakin sejahtera, melainkan kaum borjuis, khususnya kaum borjuis lokal. Nasionalisme tidak pernah menjadi solusi permasalahan ekonomi yang sangat mendasar, yakni kesenjangan kelas. Nasionalisme tidak menjadi ancaman bagi kapitalisme dan sistem kelas yang menjadi akar dari kesenjangan tersebut. Sebaliknya, nasionalisme malah menjadi alat bagi kelas borjuis lokal untuk mempertahankan hak-hak istimewa yang mereka miliki. Seperti yang dikatakan Mikhail Bakunin mengenai kaum borjuis Perancis:
“Saya tidak mengatakan bahwa kaum borjuis itu tidak patriotik; sebaliknya, patriotisme, dalam bentuknya yang paling sempit, adalah kebajikan utama mereka. Akan tetapi, kaum borjuis mencintai negeri mereka hanya karena, bagi mereka, Negara mengamankan hak-hak istimewa ekonomi, politik, dan sosial mereka.”
Mulut mereka lantang menyebutkan “Nasionalisme” tetapi sesungguhnya jiwa mereka tidaklah “Nasional is me”.
Farid Mustafa Akmal
Pendidikan Geografi UNJ