“Bayarin dong pak..” Gerutu Wasmi (36), salah seorang  warga yang mengontrak di kawasan Kampung Laskar, Jl. Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur. Kata-kata tersebut ia tujukan untuk polisi yang berlalu-lalang di hadapanya. Wasmi duduk lesu di atas tumpukan barang-barangnya yang sudah dimasukkan  dalam karung. Ia mengaku berasal  dari Indramayu, kemudian pindah ke Jakarta dan sudah 7 tahun mengontrak di Kampung Laskar. Sekarang kontrakanya akan digusur dengan alasan yang belum jelas.  ia  tidak tahu lagi mau kemana. “saya nggak tahu mau kemana  lagi. Jujur saya mas, di sini (Jakarta) nggak  punya rumah, di Indramayu juga  nggak punya rumah,” ungkapnya.

Wasmi tidak begitu paham dengan situasi yang tengah dihadapinya, dan terus mengeluhkan ketidak tahuanya. “saya nggak tahu mas, nggak paham. Saya tahunya di sini suruh pindah,” ucapnya dengan raut yang makin lesu.  Di Jakarta, ia bekerja sebagai pemulung dan tinggal bersama anak semata wayangnya yang kini sedang menempuh Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Saat akan ditanya lebih lanjut, ia berlalu tanpa kata karena lebih memilih mendatangi salah seorang apparat yang menawarinya nasi kotak.

Berbeda dengan Wasmi, Jari tinggal di Kampung Laskar sejak 2007. Saat itu hujan turun, ia berada di bawah tangga fly over untuk berteduh. Bersama beberapa pria yang sama-sama tinggal di kampung laskar, mereka sedang membicarakan ketua Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) yang tidak mau peduli mengenai penggusuran tersebut.”RT dan RW nya lepas tangan,” ungkapnya.

Ketika hujan reda, ia pun lanjut bergegas mengangkut barang. Ia menambahkan seharusnya, senin (29/01) belum ada penggusuran, masih menunggu kejelasan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Berdasarkan keterangannya tanah tersebut milik seorang dokter yang bernama Suherman. “Tanah milik Dokter Suherman belum jelas batasnya yang mana,” ungkapnya.

Sementara, Badul dan Nur yang juga merupakan warga Kampung Laskar masih berdiri terpaku. Di hadapanya terdapat tumpukkan barang pribadi miliknya dan seekor monyet yang dirantai di tiang listrik. Mereka merupakan pasangan suami istri yang bekerja sebagai pengamen topeng monyet. Keduanya berasal dari  Indramayu, seperti kebanyakan waerga yang tinggal di Kampung Laskar. “Mayoritas, yang tinggal di sini orang Indramayu. Biasanya, ada saudara yang ke Jakarta diajak ngontrak disini,” terang Badul.

Tiga hari sebelumnya, Badul dan Nur sudah diberi tahu bahwa tempat mereka tinggal akan di gusur. Namun, mereka tetap tinggal di Kampung Laskar karena terpengaruh oleh pemilik kontarakan yang ia tinggali. “Ngapain pindah saya aja masih di sini” ucap Badul menirukan yang punya kontrakan.

Iklan

Badul dan Nur, sempat mengalami tindakan kasar ketika dipaksa keluar oleh aparat keamanan. Awalnya, para warga tetap di dalam, kemudian para aparat memaksa masuk dengan membobol seng  di pinggir jalan, yang membentengi tempat tersebut. Warga mulai panik setelah gas air mata di tembakkan. Namun, beberapa warga yang masih sibuk menyelamatkan barang pribadinya dipaksa keluar cepat-cepat oleh aparat. “Saya mau ngambil monyet, tetap dipaksa keluar. Mana bisa keluar saya kalo monyetnya masih di dalem,” terang Nur.

Badul dan Nur juga menyaksikan, penangkapan beberapa mahasiswa yang ikut aksi. Mereka yang orasi ditangkap, dipukul dan ditendang oleh aparat. Salah satu  mahasiswa yang ia lihat adalah berbadan kurus dan memakai kacamata. Badul merasa kasihan saat melihat kejadian itu. Ia juga berpendapat bahwa kejadian tersebut tidak seharusnya terjadi. “dia cuma orasi, kecuali dia  maling barang, boleh dipukulin. Kalo cuma orasi mah kasihan,” kisah Badul dan Nur.

Tim Didaktika  meminta tanggapan dari aparat atas kejadian tersebut. Namun,  setiap aparat yang dimintai keterangan, mengatakan tidak tahu. Ketika kami meminta bertemu dengan pimpinan aparat, mereka menolaknya. “tugas kami disini hanya untuk mengamankan,” ucap  Yusmin salah satu polisi yang sedang berjaga.

 

Penulis : Muhammad Muhtar

Editor : Yulia adiningsih