Hampir satu dekade anak-anak para pencari suaka menetap di Kalideres. Namun, tidak satu pun dari mereka menerima pendidikan yang layak.
Para pencari suaka asal Afganistan, Pakistan, dan Sudan di Gedung Eks Kodim, Kalideres telah tinggal selama 6 sampai 9 tahun. Jumlah pengungsi di sana berjumlah 114 pengungsi, dengan 28 anak berusia 0 sampai 15 tahun. Sayangnya, anak-anak di sana tumbuh tanpa menerima hak atas pendidikan. Hal itu diungkapkan oleh Hassan Rateq, koordinator para pencari suaka di sana.
Hassan mengatakan, anak-anak para pencari suaka di sana sama sekali tidak mendapat akses pendidikan yang layak. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena merekalah generasi penerus dari suku mereka. Bahkan, di antaranya terdapat suku Hazara yang Hassan deskripsikan sebagai suku yang sangat mencintai pendidikan.
“Kalian bisa melihat aktivitas mereka hanya bermain, berkeliling di sekitar kamp,” pungkasnya.
Padahal, menurut Hassan, mereka berharap ada tempat untuk belajar. Sebagian besar dari mereka pun sudah mengerti, yakni ketidakpastian masa depan karena akses pendidikan yang sangat terbatas.
Baca Juga: Investigasi Belum Selesai, Dosen DA Kembali Mengajar
Hassan melanjutkan, saat ini, ada beberapa relawan dan pusat pembelajaran yang mengajar di kamp pengungsian. Terdapat dua orang yang mengajar anak-anak dan orang tua dalam lima kali seminggu, yakni tiap Senin sampai Jumat, serta ada 13 orang belajar Bahasa Inggris dasar.
Hassan membandingkan kondisi pendidikan para pencari suaka di Kalideres dengan para pencari suaka di Medan. Menurut penuturannya, pencari suaka di Medan diperbolehkan untuk bersekolah.
“Anak-anak kami tidak mendapatkan akses pendidikan. Tapi di Medan, mereka memperbolehkan pengungsi untuk bersekolah, walau mereka tidak mendapatkan ijazah,” ungkap Hassan.
Sejalan dengan pernyataan Hassan, dalam jurnal Pemenuhan Hak-Hak Pendidikan Bagi Anak-Anak di Negara Transit menurut Konvensi Hak-Hak Anak yang diterbitkan … oleh Tirza Shafira Armis, anak-anak pencari suaka memang diperbolehkan untuk memperoleh pendidikan dari sekolah formal oleh Pemerintah Kota Medan yang bekerja sama dengan International Organization for Migration (IOM) Indonesia.
Anak-anak pencari suaka di Medan memang tidak mendapatkan ijazah, melainkan hanya surat tanda belajar. Sebab, anak pencari suaka tidak memiliki dokumen pribadi lengkap yang mendukung identitasnya.
Anak-anak pencari suaka di bawah pengawasan Rumah Detensi Imigran (Rudenim) Medan juga difasilitasi dengan mendatangkan guru untuk mengajarkan mereka membaca, berbahasa Indonesia, dan keterampilan lainnya, namun bukan pendidikan formal.
Zainab, salah satu anak dari pencari suaka di Kalideres turut mengungkapkan bahwa ia sempat belajar dengan relawan yang datang setiap Jumat. Anak berusia 13 tahun itu lebih sering mendapat pelajaran mewarnai, menyanyi, dan berbahasa Indonesia. Namun, ia juga mengungkapkan kekecewaannya sebab tidak mendapatkan pelajaran bahasa yang diinginkannya.
“Kita maunya bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia,” imbuh Zainab.
Zainab tidak termasuk peserta didik yang mendapatkan pengajaran Bahasa Inggris dasar yang diadakan di kamp, mengingat terbatasnya fasilitas dan tenaga pendidik.
Sejalan dengan Zainab, temannya bernama Hadieya turut mengungkapkan, pendidikan yang didapat olehnya hanya dari pengajar relawan. Pelajaran yang didapat pun hanya seperti melukis, bernyanyi, dan berbuat baik pada sesama. Namun, anak berusia 11 tahun itu sudah mahir dalam berbahasa Indonesia, sebab sering berbaur dan berinteraksi dengan masyarakat lokal.
Baik Zainab maupun Hadieya sangat menginginkan pendidikan layak. Hadieya bercita-cita untuk menjadi seorang aktris dan engineering drawing, sementara Zainab ingin membuka toko kue karena ia senang memasak. Tetapi, keduanya merasa tidak yakin karena keterbatasan akses pendidikan yang mereka hadapi saat ini.
Penulis : Patricia Nauly Putri Manurung dan Syiva Khairinnisa
Editor : Siti Nuraini