Sikap setengah hati tidak akan menghasilkan apa-apa. Setengah baik berarti tidak baik, setengah benar berarti tidak benar – Multatuli
Sabtu (16/09), Majalah Historia bersama Perhimpunan Multatuli mengadakan simposisum dengan tema Para Pembongkar Kejahatan Kolonial dari Multatuli hingga Soekarno. Menurut Bonnnie Triyana, Pemimpin Redaksi Majalah Historia pemilihan tokoh Multatuli, tak lain karena pemberontakannya terhadap kekejaman pemerintah kolonial melalui sebuh novel yakni Max Havelaar.
Novel Max havelaar yang dibuat oleh Edward Douwes Dekker—Multatuli merupakan nama samarannya— ini kali pertama dibuat pada 1859. Multatuli yang kala itu bertugas di Banten menyaksikan dengan langsung bagaimana rakyat lebak, Banten ditindas. Parahnya, rakyat Lebak tersebut ditindas bukan hanya oleh pemerintah kolonial, melainkan juga oleh rakyat Lebak sendiri yang menjabat sebagai pejabat birokrasi.
Bonnie melanjutkan, acara tersebut juga dimaksudkan untuk memperkenalkan Museum Multatuli yang sedang direnovasi di Lebak, Banten. Meski begitu, ia berharap dengan adanya museum tersebut bukan menjadi pengkulutusan individu Multatuli. “Museum itu berfungsi sebagai perawat ingatan kolektif perjuangan Multatuli dan rakyat Banten,” ucapnya. Acara yang digelar di Museum Nasional ini menghadirkan Asvi Warman Adam (sejarawan), Daniel Dhakidae (Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma), dan Ubaidilah Muchtar (Guru SMPN 1 Sobang, Ciseel, Lebak, Banten).
Asvi Warman Adam menyatakan Multatuli memiliki pengaruh yang cukup luar biasa bagi para pendiri bangsa. “Novel Max Havelaar kemungkinan besar dibaca oleh para pendiri bangsa,” kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini. Keyakinan Asvi bukan tanpa alasan, sebab Soekarno pun mengutip beberapa kalimat dalam novel tersebut dalam pidato Indonesia Mengguggat.
Asvi melanjutkan, novel tersebut dapat menggugah kesadaran kemanusiaan dan ketidakadilan siapa pun yang membacanya. “Lennin pun menegaskan jika ingin mengetahui penindasan di dunia timur, maka bacalah Max Havelaar,” pungkas Asvi. Sayangnya, para pemberontak kolonial ini bernasib berbeda. “Multatuli mati dengan tenang di Jerman. Sedangkan, Soekarno mati secara tragis di tangan bangsa yang telah diperjuangkannya,” ucap Asvi.
Senada dengan Asvi, Daniel Dhakidae menyatakan Multatuli sangat cermat memanfaatkan sastra sebagai alat penggugah kesadaran. “Dalam novel tersebut, ia tidak ingin membuat karya sastra yang indah kemudian dikagumi. Tetapi ia ingin karyanya didengar oleh semua orang,” ucap penulis mantan Kepala Penelitian dan Pengembangan (litbang) Kompas ini.
Penulis buku Menerjang Badai Kekuasaan ini menjelaskan, jika membaca Max Havelaar, maka semua orang akan mengatahui bahwa Multatuli merupakan orang yang sangat sinis. Kesinisan tersebut membuatnya berani menyuarakan ketidakadilan dan mengungkap kebenaran. Multatuli tidak mengingkan sikap setengah hati dalam berjuang. Oleh sebab itu, novel ini masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. “Ketidakadilan dan korupsi masih ada hingga saat ini, persis seperti apa yang dituliskan oleh Multatuli. Tak hanya itu, kondisi Lebak pun masih tertinggal, padahal Indonesia sudah merdeka,” tegasnya.
Mengenalkan Multatuli kepada Anak-anak
Relevansi novel Max Havelaar dengan kondisi Lebak saat ini menggugah hati Ubaidilah Muchtar untuk mengenalkan Multatuli kepada anak-anak. “Ketika saya pertama kali ke Lebak pada 2009, kondisi infrastruktur masih sangat kurang. Listrik tidak menyala 24 jam, jalan setapak yang rusak, dan tidak ada sinyal telepon,” katanya.
Keterbatasan tersebut tak membuat lulusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyerah. “Saya berpikir keterbatasan ini bukan terjadi saat ini saja, itu ada sejarahnya, dan saya ingat Max Havelaar. Oleh sebab itu, saya membawa 20 buku Max Havelaar dan membentuk komunitas baca Max Havelaar yang terdiri dari anak-anak sekitar,” kata guru SMPN 1 Ciseel, Lebak, Banten ini.
Cara membacanya pun disesuaikan, Ubai menyelenggarakan kelas baca Max Havelaar hanya seminggu sekali dan tak lebih dari tiga halaman. “Bagi saya, yang lebih penting itu pemahaman dibandingkan kecepatan. Oleh sebab itu, saya coba menjelaskan setiap kata yang ada kepada anak-anak. Kegiatan tersebut membutuhkan waktu 90 menit setiap pertemuan,” imbuhnya.
Ubai pun dengan bangga mencotohkan pemahaman anak uridnya. “Anak-anak jadi tahu bahwa mereka terlahir tidak dengan keadaan miskin. Kemiskinan mereka disebabkan oleh korupsi,” celotehnya.
Menurut Ubai, dengan memprioritaskan pemahaman, anak-anak yang belum bisa membaca pun dapat memerhatikan isi cerita Max Havelaar. Dengan lamanya waktu membaca tersebut, Ubai dan komunitas baca Max havelaar membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk menamatkan novel Max Havelaar. “Ini merupakan bentuk perlawanan kami atas kapitalisme yang menuntut semua orang harus bertindak cepat. Alhasil, kegiatan mereka hanya sebatas mekanik dan menihilkan substansi atau pemahaman,” tutupnya.
VRU