Menyambut Hari Raya Idul Fitri, sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia untuk menengok sanak saudara di daerah asal mereka, atau yang biasa kita sebut dengan mudik. Namun, sejak pandemi Covid-19 merebak, aktivitas ini menjadi terhambat. Pada 2020 lalu, pemerintah meminta masyarakat agar tak mudik guna memutus penyebaran Covid-19 ke zona hijau. Meski berat, masyarakat pun lapang dada dan berharap, tak ada lagi yang membatasi mereka untuk sekedar menengok komunitasnya di desa pada lebaran tahun berikutnya. Kenyataannya, mereka kembali dipaksa melupakan rindunya kepada kampung halaman untuk tahun ini. Bukan tanpa sebab, mereka yang saya maksud merupakan korban dari pemerintahan yang tak mampu menangani wabah Covid-19 dengan segala komitmennya.
Larangan mudik dapat dikatakan sebagai salah satu upaya pemerintah dalam memutus rantai penyebaran Covid-19. Di samping menyelamatkan kesehatan masyarakat, pemulihan ekonomi negara pun juga dilakukan. Pusat-pusat perbelanjaan kembali dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan, membuka keran investasi dalam dan luar negeri, dan yang tak kalah penting, membuka objek pariwisata. Poin terakhir menyulut perdebatan di masyarakat sekarang ini, ketika pemerintah melarang mudik, pariwisata justru dibuka dengan alasan pemulihan ekonomi.
Melihat semangat negara yang tak jauh beda dengan sebuah perusahaan, wajar apabila pemerintah cenderung menekankan berwisata dibanding memperbolehkan masyarakatnya mudik. Sumbangan sektor pariwisata terhadap devisa negara mencapai 15 miliar dollar AS per tahunnya. Namun karena pandemi, devisa dari sektor ini turun drastis hingga 90 persen.[1] Sedangkan bagi pemerintah, untuk sekedar temu-kangen masyarakat kota dengan sanak famili di desa, bukan hal yang menghasilkan keuntungan materil.
Berdasarkan hal tersebut, nampaknya pemerintah tak melihat mudik sebagai bagian dari aktivitas ekonomi. Dalam relasi desa-kota, desa menjadi ruang penyedia tenaga kerja dan kota menjadi penyedia lapangan kerja. Selain itu, kota menjadi tempat dimana distribusi terjadi, dan desa adalah tempat produksinya. Kita dapat melihat dimana hanya sedikit pabrik-pabrik yang berdiri di kota Jakarta, namun sarana-sarana penunjang kebutuhan hidup terus dibangun. Berbanding terbalik dengan kondisi di desa, dimana pabrik dan tambang dibangun kian masif tiap tahunnya, mengakibatkan hilangya akses petani terhadap tanahnya.
Tercerabutnya kehidupan masyarakat desa dalam konteks ini, membuat posisi mereka semakin terhimpit. Ekosistem yang telah dibangun sejak turun-temurun oleh beberapa generasi, kemudian dihancurkan oleh hubungan relasional negara-kapital. Keterampilan mereka pun dipaksa mengikuti keinginan pasar –yang bagi sebagian mereka, terasa begitu asing-, seperti bekerja di bagian pengemasan produk, sopir truk pengangkut kontainer, atau memasang sol pada sepatu kulit merk ternama.
Akhirnya, himpitan tersebut membuat mereka harus bermigrasi keluar wilayah mereka. Hilangnya ruang hidup desa akan selalu diikuti dengan upaya negara dalam membangun kota. Dengan mitos bahwa kota memberikan tawaran kehidupan yang “lebih layak,” relasi negara-kapital mengajak masyarakat desa untuk menjual tenaganya dengan bayaran murah.
Bagaimana Urbanisasi Tercipta
Arus migrasi ke Jakarta, sebagai pusat administrasi negara bahkan sudah berlangsung sejak 1920-an, seperti yang ditemukan oleh Lea Jellinek. Ia mengatakan, hal ini disebabkan oleh tekanan penduduk atas tanah dan menurunnya kesempatan kerja di pedesaan. Para petani pun akhirnya bermigrasi ke Jakarta.[2] Dengan adanya pembangunan Jakarta yang kian masif dilakukan, Jakarta pun semakin ramai. Namun, pembangunan tersebut mesti dibayar oleh penduduk dengan harga yang juga tinggi. Bagi yang tak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, termasuk masalah tempat tinggal, harus tersingkirkan.
Pembangunan yang sentralistik ini juga menjadi pemicu munculnya arus urbanisasi. Misalnya, pada bulan Maret 2020 saja, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta mencatat sebanyak 7.421 jiwa penduduk yang datang bermigrasi ke Jakarta. Disamping kenyataan ini, sentralisasi modal juga menjadi penyebab tingginya angka kemiskinan dan rendahnya taraf hidup masyarakat kota. Timpangnya akses sarana produksi juga mendorong mereka menjadi buruh pabrik dengan upah minim, atau bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang tak menentu. Kebijakan pemerintah yang tak pernah memihak kelompok mayoritas ini, semakin mempertegas garis kesenjangan kelas dan marjinalisasi rakyat miskin kota.
Urbanisasi juga tak lepas dari masuknya praktik neoliberal terhadap perekonomian Indonesia, yang berfokus untuk mempromosikan kebebasan dan mobilisasi kapital. Seperti yang dikatakan oleh Henry Bernstein, dimana globalisasi neoliberal membawa dampak yang sangat besar dalam dunia agrikultur, seperti: mengurangi atau menghapus subsidi langsung dan tidak langsung, khususnya pada petani skala kecil; mengejar pembangunan nasional melalui industrialisasi; komodifikasi dan spesialiasasi produksi komoditas pertanian dilakukan oleh petani yang berbeda di tempat berbeda. Adanya globalisasi neoliberal yang membawa dampak buruk terhadap petani kecil dan miskin di negara Selatan, merupakan upaya yang disebut Bernstein sebagai depeasantization. Bernstein mengartikan depeasantization sebagai proses dimana petani kehilangan akses untuk produksi dan reproduksi.[3] Petani kehilangan tanah, atau hanya sebagai penggarap di tanah bukan miliknya, kemudian menerima upah.
Dampak-dampak yang telah dijelaskan Bernstein, selaras dengan temuan Paul McMahon. AS dan para pakar ekonomi World Bank, IMF, dan WTO, yang pada dasawarsa 1980 dan 1990-an, memaksa negara-negara miskin menghapuskan semua bea impor, subsidi, atau semua bentuk perlindungan dan bantuan pertanian mereka sebagai bagian dari upaya penciptaan pasar bebas dunia. Dibalik ini semua, AS justru tetap mempertahankan subsidi hingga mencapai 300 miliar dolar AS per tahun kepada para petani di negaranya, dan membanjiri pasar pangan dunia dengan harga murah.[4]
Bagaimana dengan Indonesia? Jika melihat kembali dinamika kebijakan pemerintah terhadap sektor pertanian, terdapat kebijakan neoliberal yang telah diimplementasikan di Indonesia. Sejak pertengahan 1980-an, berbagai proteksi untuk sektor industri juga diberikan untuk memuluskan rencana transformasi negara agraris menjadi negara industri. Namun, upaya proteksi besar-besaran yang dilakukan secara sistematis ini telah merapuhkan petani di pedesaan.
Subsidi pupuk pun mengalami tren penurunan. Menurut data BPS, sejak 1985 sampai 1995, terjadi penurunan hingga 2.8 persen, dan penurunan 0.9 persen pada 1995 sampai tahun 2000.[5]
Selama periode 1986 – 1997, sektor pertanian mengalami kontraksi dengan tingkat pertumbuhan di bawah 3.4 persen pertahun. Indikasi ini sebenarnya telah muncul pada awal 1990an, ketika kebijakan teknokrat pembangunan ekonomi mengarah pada strategi footloose industry secara besar-besaran guna menekan biaya produksi demi meningkatkan profit.[6]
Di negara-negara miskin, data Bank Dunia menunjukkan bahwa pangsa sektor pertanian terhadap PDB menurun dari sekitar 60 persen pada 1965, menjadi sekitar 28 persen pada tahun 2000. Di Indonesia, penurunan itu juga terekam dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menujukkan bahwa kontribusi sektor pertanian juga mengalami penurunan, dari sekitar 50 persen pada tahun 1960-an, 20.2 persen pada 1988, turun menjadi 17.2 persen pada 1996, dan hanya 15 persen pada tahun 2000.
Dengan adanya hal tersebut, menjadi jelas bahwa situasi pertanian di desa mengalami himpitan struktural yang memaksa warga desa, petani hingga anak-anaknya, mengadu nasib di kota. Meskipun konteks kebijakan-kebijakan tersebut ada pada periode 1980 hingga 2000-an, dampak kebijakan tersebut nyatanya masih terasa hingga hari ini.
Desa sebagai Entitas Hidup yang Hilang
Kini, tak dapat dipungkiri jika subsistensi masyarakat desa sudah mulai pudar. Desa kini mulai berganti menjadi kota-kota kecil, atau hanya sebagai korban pembangunan kota yang ada di sekitarnya. Selain itu, terbentuknya masyarakat kelas menengah di desa juga mendorong masyarakat desa yang lain menuju pola hidup yang konsumtif. Dari sini, akan terlihat pola yang sama dengan proses terciptanya kota dan segala kompleksitas masalah yang ada di dalamnya. Masalah yang paling nyata terlihat dan akan terus menjadi polemik adalah perihal kemiskinan.
Seperti yang terjadi di Kebon Kacang, Jakarta Pusat, dimana Lea melakukan studi kasusnya, kekayaan yang tak merata akhirnya menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka. Dari hal ini, timbul rasa iri, sikap tidak peduli, dan mencoba membuat jarak antara “si kaya” dengan “si miskin.”[7]
Untuk mengobati rasa jenuh akan keadaan ini, beberapa kemudian menjalin kekerabatan atas dasar kesamaan daerah asalnya. Kekerabatan ini bahkan lebih kuat dibanding hubungan mereka dengan orang lain di sekitar tempat tinggalnya. Ketika masalah menimpa, seperti utang, masalah tempat tinggal, dan modal berdagang, kelompok tersebut akan membantunya secara kolektif. Mereka menyadari, betapa besarnya kekuasaaan privat atas ruang-ruang yang ada di kota.
Hal ini membuktikan bahwa kekerabatan berdasarkan daerah asal (yakni desa), merepresentasikan kedekatan emosional dan kerinduan akan kampung halaman yang cukup tinggi. Manusia memiliki ikatan yang kuat dalam relasinya dengan sesama manusia, lingkungan atau suatu tempat, sebab manusia memberikan makna di dalam relasi tersebut. Maka, sebuah tempat dapat menggambarkan identitas yang melekat pada individu atau kelompok tertentu yang (pernah) hidup di dalamnya. Dengan demikian tak heran jika pada saat momen lebaran, mudik adalah pelipur lara dari masalah-masalah yang menimpa mereka di kota.
Kini, fenomena mudik tak lagi hanya dimiliki oleh masyarakat kelas menengah kebawah saja, tetapi seluruh kelas pun merasakan bahwa desa adalah rumah sejati untuk pulang. Alienasi kerja tak hanya menimpa kelas buruh –yang diupah dan tak punya alat produksi- saja. Namun, perbedaannya terletak pada bagaimana masing-masing dari kelas tersebut dapat meluapkan rasa rindu dengan kampung halamannya. Tersedianya layanan video call dalam gawai smartphone dapat menjadi alternatif untuk meluapkan rasa rindu tersebut, dibandingkan dengan mereka yang harus berjuang melewati penyekatan di beberapa titik pintu tol dengan kendaraan motornya.
Sebagai penutup, sekiranya perlu bagi kita untuk mempertanyakan kembali langkah pemerintah yang lebih memilih untuk membuka wisata lokal, namun melakukan penyekatan bagi para pemudik. Jika mudik dapat memperluas penyebaran virus meski pemudik menyertakan surat keterangan bebas Covid-19, bukankah para turis atau pengunjung mal juga dapat menyebarkan virus meskipun sudah menerapkan protokol kesehatan? Kita sepakat jika menerapkan protokol kesehatan, hasil tes, pola hidup sehat, maupun vaksin sekalipun tidak menjamin seseorang bebas dari Covid-19 sepenuhnya. Namun, kenyataan ini seolah dibantah dengan alibi pemerintah guna memuluskan rencana pemulihan ekonomi negara. Pada akhirnya, kita adalah korban dari ketidakbecusan pemerintah dalam menangani Covid-19, yang harus menanggalkan rasa rindu kita (sekali lagi untuk tahun ini) akan kampung halaman.
[1]Akibat Pandemi, Pendapatan Devisa Sektor Pariwisata Turun hingga 90 Persen (kompas.com)
[2] Lea, Jellinek. 1991. Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta. Zainuri, Eddy. 1994. Jakarta: LP3ES. Hlm. 19
[3] Bernstein, Henry. 2010. Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria. Yanuardy, Dian. 2019. Yogyakarta: INSISTPress
[4] McMahon, Paul. 2013. Berebut Makan: Politik Baru Pangan. Roem Topatimasang. 2017. Yogyakarta: INSISTPress. Hlm. 50
[5] Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta: Penerbit KOMPAS.Hlm. 40
[6]Ibid. Hlm. 20
[7]Lea, Jellinek. 1991. Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta. Zainuri, Eddy. 1994. Jakarta: LP3ES Hlm. 46
Penulis: Hastomo Dwi Putra
Editor: Sultan Bayu Ananda