Gundah gulana terlihat dari sudut matanya. Mata seorang kawan bertumbuh tambun yang sudah kukenal lima tahun belakangan. Beda dengan hari-hari sebelumnya, jika dia datang, akan diiringi suara gesekan ID Card yang teruntai di lehernya. Namun hari itu di akhir Desember, ID Card “Press” itu sudah tak tampak lagi menghiasi lehernya. Maul kupanggil namanya, dia baru saja kehilangan pekerjaan alias Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan media milik salah satu konglomerat.
Selang beberapa hari sebelum itu, ada kawan yang lain bernasib sama. Sama-sama terkena PHK. Agak beda dengan Maul, kawan yang kusebut bernama Budi itu lebih tegar dan masih bisa tersenyum. Maklum, dia sudah pengalaman dan ini kali kedua dia terkena PHK dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Budi juga sama dengan Maul, sudah tak ada lagi menggunakan untaian ID Card “press” di lehernya.
Ini dua cerita bukan fiksi ya, tentang pekerja media yang terpaksa dipinggirkan demi “media berkelanjutan”. Keduanya terkena PHK karena alasan “media berkelanjutan” alias media sustainability bahasa kerennya. Mereka di-PHK dengan alasan, manajemen media milik konglomerat itu tak mampu bayar karena sudah tak cuan. Naif bukan!
Tak hanya Maul dan Budi, sebulan terakhir jumlahnya mungkin sudah ratusan. Jumlahnya bisa lebih banyak, karena banyak proses PHK dilakukan dengan bisik-bisik, memanggil satu per satu para pekerja. Ini terjadi karena banyak media mengharamkan adanya serikat pekerja, dimana proses negosiasi bisa dilakukan melalui serikat.
Kini, banyak pekerja media akan menjalani Tahun Baru 2024 penuh duka. Kini, kata-kata “keberlanjutan media” menjadi momok bagi pekerja media. Jika dua kata ini berhembus, siap-siap pekerja media mencari sekoci. Pertanda mereka harus loncat dari kapal bernama media.
Di sisi lain, “keberlanjutan media” menjadi tameng pengusaha media untuk minta perlindungan dari pembuat regulasi. Namanya Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Keberlanjutan Media. Dalam draft beleid itu, mereka menagih hak cuan atas kerja jurnalilstik yang dihasilkan pekerja seperti Maul dan Budi. Sementara posisi Maul dan Budi sama sekali tak tertuang dalam draft beleid itu.
Tak ada jaminan, jika media berkelanjutan bisa melanjutkan kerja-kerja Maul dan Budi. Jangankan menagih hak, yang terjadi pekerja rentan kena PHK. Sementara kasat mata kita saksikan, dengan dalih “media berkelanjutan,” terjadi pembenaran eksploitasi dan perlakuan sewenang-wenang pada pekerja media.
Mereka bekerja tanpa jam kerja pasti, libur yang pasti, kontrak yang tak pasti. Mereka dikejar memproduksi berita sampai 10 berita per hari, mungkin ada yang lebih. Memang beberapa organisasi punya andil dalam rancangan draft regulasi itu. Termasuk organisasi yang katanya mewakili pekerja media.
Tapi entah kenapa, mereka diam seribu bahasa. Kini, rancangan regulasi bernama “media berkelanjutan” tetap menjadi momok bagi pekerja. Maul dan Budi serta ratusan pekerja media lainnya menjadi pengangguran di Tahun Baru 2024.
Selamat Tahun Baru 2024
Asnil Bambani
Mahasiswa Pascasarjana UNJ