Salah satu butir Nawacita yang dijanjikan oleh Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo ialah reforma agraria yang terbagi atas redistribusi lahan dan kesejahteraan. Begitulah janji si mulut manis ketika sedang berkampanye beberapa tahun yang lalu. Namun, kenyataannya hingga saat ini reforma agraria sama sekali tidak terlaksana. Liberalisasi agraria malah semakin masif dilaksanakan, dengan dalih UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Masyarakat dipaksa untuk menjual tanahnya kepada pemerintah maupun pihak swasta.
Menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2016, konflik mengenai agraria naik sekitar 198 kasus dari tahun sebelumnya. Pada 2016 telah terjadi 450 konflik agraria dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 Kartu Keluarga (KK) yang tersebar di seluruh provisi di Indonesia. Jika dirata-ratakan, maka setiap hari terjadi satu konflik agraria dan 7.756 hektar lahan terlibat konflik. Dengan kata lain, masyarakat harus kehilangan sembilan belas kali luas Provinsi DKI Jakarta. Konflik agraria dilatarbelakangi dengan perebutan lahan pada sektor perkebunan sawit 163 kasus, sektor properti (pembangunan hotel dan perumahan real estate) dengan jumlah kasus 117, lalu di sektor infrastruktur (pembangunan rel kereta, pembangunan bandara) dengan jumlah kasus 100. Kemudian di sektor kehutanan sebanyak 25 kasus, sektor tambang 21 konflik, sektor pesisir dan kelautan dengan 10 kasus, dan terakhir sektor migas dan pertanian yang sama-sama menyumbangkan sebanyak 7 kasus.
Lalu, dimana letak reforma agraria yang dijanjikan pemerintah? Kita ambil salah satu kasus agraria yang saat ini sedang banyak diperbincangkan perihal pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA). Pembangunan bandara yang dibangun sejak 11 Januari 2011 oleh Pemerintahan RI yang diwakili Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Angkasa Pura I (PT. AP I) atau Angkasa Pura Airports bekerja sama dengan investor asal India, GVK Power & Infrastructure, untuk pembangunan megaproyek bandara internasional di pesisir Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut merupakan salah satu proyek Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan nilai investasi sebesar $5.000 juta menurut Center of Aviation (CAPA), yang kemudian diteruskan melalui program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasioanal (RPJMN) dibawah kepemimpinan Joko Widodo pasca terpilihnya pada 2014. RPJMN masih memiliki nafas yang sama dengan MP3EI setidaknya dalam dua hal, yaitu pembentukan blok-blok produksi (kawasan Industri, kawasan ekonomi khusus dan kawasan industri manufaktur) dan pembangunan infrastruktur berbasis investasi swasta, yang bertujuan untuk menghubungkan aktivitas antara pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional dengan kantung-kantung ekonomi disekitarnya hingga ke pusat-pusat ekonomi tingkat dunia[1].
Pembangunanan infrastruktur bandara tersebut harus menyingkirkan lahan warga Kulon Progo seluas 637 hektar dan akan diperluas hingga 2.000 hektar untuk merealisasikan airport city. Lokasi pembangunan setidaknya akan menggusur enam desa dalam wilayah administratif Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo, antara lain Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon Kulon, yang terdapat 11.501 jiwa (2.875 KK). Pembangunan tersebut menghilangkan 300 hektar lahan produktif, yang terdiri atas 200 hektar lahan pertanian kering (tegalan) di kawasan pesisir selatan dan 100 hektar lahan pertanian basah (persawahan) di sebelah utara Jalan Daendels. Lahan tersebut juga terdapat 200 hektar tanah milik Pakualaman Ground yang dikelola oleh masyarakat Kulon Progo yang kini telah dimiliki oleh pihak Angkasa Pura. Jika NYIA dibangun maka 24.000 pekerja akan kehilangan mata pencaharian dari produksi terong dan gambas, 120.000 pekerja pertanian kehilangan mata pencarian dari produksi semangka dan melon, serta 4.000 pekerja pertanian kehilangan mata pencarian dari produksi cabai.
Menurut klaim Angkasa Pura dengan adanya pembangunan bandara petani akan mendapatkan pekerjaan lain. Namun, apakah ini sebanding dengan apa yang petani miliki? Apakah cocok dengan kondisi sosial dan budaya petani Kulon Progo yang sudah bertahun-tahun bertani dan merawat tanah yang ada di Kulon Progo? Penggiringan opini yang menyatakan bahwa tanah di Kulonprogo merupakan tanah karst (tanah yang tidak subur) merupakan opini yang sangat menyesatkan.
Selain itu, petani Kulon Progo merasa bahwa mereka sudah menyatu dengan alam, alam adalah mereka, merka harus menjaga alam karena dari alam mereka hidup. Uang bisa habis sedangkan tanah tidak akan pernah habis manfaatnya untuk orang banyak. Melestarikan alam adalah ibadah, dan mereka akan terus menjaga ekosistem yang ada di Kulon Progo.
Bicara mengenai tanah relokasi yang dijanjikan oleh pihak Angkasa Pura, yang menyatakan bahwa tanah ini merupakan tanah ganti untung bukan ganti rugi merupakan omong kosong belaka. Menurut Tuginah salah satu warga Kulonprogo, ia menyatakan bahwasannya tanah relokasi tersebut merupakan tanah yang banjir. Dan menurut data dari PWPP-KP tanah relokasi tersebut merupakan tanah kas desa yang notabanenya merupakan milik sultan ground. Jadi, tidak dapat dimiliki secara pribadi.
Penggusuran yang dilakukan oleh pihak Angkasa Pura, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU), Polisi, serta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) juga dirasa sangat kejam dan diluar batas kemanusiaan. Pihak tersebut melakukan intimidasi-intimidasi berupa mematikan aliran listrik, perusakan pekarangan warga, melubangi akses jalan warga, bahkan beberapa kali melakukan pemukulan terhadap warga sipil maupun relawan Kulon Progo. Namun, hukum masih tetap kebal terhadap intimidasi-intimidasi yang dilakukan. Bahkan PWPP-KP meminta perlindungan kepada Ombudsman RI dan telah disetujui dengan tidak boleh adanya pembongkaran rumah warga pada 4 Desember sampai anak-anak sekolah selesai dengan Ujian Akhir Semester mereka, karena anak-anak tersebut membutuhkan ketenangan untuk belajar. Namun, pada 5 Desember pihak angkasa pura beserta aparat merubuhkan rumah warga, menebangi pohon milik warga, merusak pekarangan, dan menangkap 15 relawan Kulon Progo.
Dimana pemerintah disaat seperti ini? Dimana reforma agraria yang dijanjikan? Apakah merusak tanah produktif merupakan salah satu misi reforma agraria? Apakah melayani investor dan perusahaan swasta dengan mencekik rakyat kecil, menggusur rakyat merupakan reforma agraria? Apakah pembangunan lebih penting dari pada melihat rakyat kecil sejahtera. Jika pemerintah hanya memihak kelas menengah ke atas, lantas bubarkan saja negara Indonesia dan buat negara baru dengan pembangunan dan kelas menengah atas yang kau bela. Jangan pernah cari petani untuk makan. Cari saja investor, dan makan saja uangmu yang berlimpah.
Penulis: Uly Mega S.
Editor: M. Rizky Suryana
[1] Data didapatkan dari Paguyuban Warga Penolak Penggusuran – Kulon Progo (PWPP-KP)