Judul Buku : Mitos Inferioritas Perempuan
Penulis : Evelyn Reed
Penerbit : Penerbit Independen
Tahun Terbit : 2019, Cetakan Pertama
Jumlah Halaman: 142
Gelombang protes di berbagai negara Eropa dan Amerika Serikat pada periode 1960-an yang mengangkat isu tentang diskriminasi gender, seksisme, dan peminggiran kaum perempuan, akhirnya mendorong mereka untuk keluar dari urusan rumah dan dapur kemudian menjadi kelas pekerja. Akses terhadap pekerjaan, hak suara politik, upah yang setara dengan laki-laki, telah menjadi penanda bahwa peran perempuan tak lagi terbatas pada kerja-kerja domestik belaka.
Sayangnya, terbukanya akses-akses ini tak serta-merta menghilangkan anggapan bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki. Peran mengasuh anak, “melayani” suami, menjaga kebersihan rumah sekaligus mencari nafkah, akhirnya juga dipikul oleh perempuan. Bahkan, tak jarang dari mereka yang dibayar murah oleh perusahaan karena mereka bukan laki-laki yang dianggap lebih unggul di segala bidang.
Peminggiran terhadap perempuan juga terjadi dalam bentuk kekerasan seksual yang tiap tahunnya selalu meningkat. Perempuan, atas anggapan ketidakberdayaannya, kerap menjadi objek seksual di mata laki-laki. Di Indonesia sendiri, regulasi yang secara khusus mencegah dan menangani kekerasan seksual serta pemulihan korban, baru saja disahkan pada April 2022 lalu. Padahal, regulasi ini sudah diusulkan sejak 2016. Hal ini menandakan bahwa pemerintah sekalipun, masih belum melihat perempuan rentan mendapat tindak kekerasan.
Posisi perempuan yang semakin terpinggirkan sehingga rentan terhadap hal ini, tak lepas dari mitos-mitos inferioritas perempuan yang sangat kuat mengakar di masyarakat. Perempuan dianggap tak berdaya jika tak ditopang oleh laki-laki. Padahal, perempuan dalam masyarakat pra-sejarah, mereka dapat mandiri secara ekonomi dan tak dibatasi atas dasar seksualnya. Mereka tidak tergantung pada ayah, suami, atau majikan laki-laki untuk penghidupannya. Seperti yang diungkapkan Evelyn Reed dalam buku Mitos Inferioritas Perempuan.
Baca Juga: Membayangkan Max Stirner dalam Wujud Makanan
Aktivis hak-hak perempuan asal Amerika ini, terlibat aktif dalam Gerakan Pembebasan Perempuan (Women’s Liberation Movement) sejak 1960-an sampai 1970-an. Di tahun-tahun itu, Reed aktif berbicara dan berpolemik tentang hak-hak perempuan di berbagai kota di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Jepang, Irlandia, Inggris, dan Perancis. Pemikiran Reed terinspirasi dari karya-karya Marx, Engels, dan Alexandra Kollontai.
Mitos Inferioritas Perempuan yang pertama kali diterbitkan pada 1969 ini, merupakan perpaduan antara gagasan feminisme Reed dengan teori kelas buah pemikiran Karl Marx. Tak ayal, Reed memaparkan bahwa penindasan dan degradasi yang dialami perempuan pada dewasa ini, tak dapat dilepaskan dari eksploitasi kapitalisme terhadap kelas pekerja.
Sebagai awalan buku ini, Reed menyampaikan satu pertanyaan reflektif yang harus dijawab oleh perempuan, yaitu: bagaimana kita bisa menjadi seperti ini dan siapa yang harus bertanggungjawab? Sebab, Reed mengamini bahwa banyak perempuan hari ini yang tidak sadar bahwa ketertindasan mereka tidak pernah ada sebelum terbentuknya masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas sosial seperti sekarang ini. Maka, perempuan mesti tahu betul tentang sejarah awal manusia.
“Kepatuhan perempuan saat ini terjadi seiring langgengnya eksploitasi yang dialami kelas pekerja secara keseluruhan dan praktik diskriminasi terhadap kaum kulit hitam dan minoritas lainnya. Akan tetapi, kenyataan itu hanya secara samar-samar kaum perempuan sadari. Akibatnya, mereka belum sepenuhnya sadar bahwa ketika masyarakat kapitalis dihancurkan dan hubungan sosialis dibangun, maka perempuan akan dibebaskan oleh kekuatan yang turut membebaskan semua pekerja dan minoritas ras dari penindasan dan alienasi (keterasingan).” -hlm. 5
Buku ini cukup komprehensif dalam menjelaskan tentang posisi perempuan dalam masyarakat primitif yang matriarkal, kemudian digantikan dengan sistem patriarki. Untuk menjelaskan hal ini, Reed memakai temuan dua antropolog abad ke-19 asal Amerika Serikat dan Inggris, yakni Lewis Morgan dan Edward Tylor, yang kemudian dilengkapi oleh Friedrich Engels dalam buku Origin of the Family, Private Property, and the State.
Poin-poin yang dijabarkan oleh Engels dalam melihat masyarakat primitif adalah bahwa: Pertama, alat-alat produksi dimiliki secara bersama, termasuk tanpa adanya diskriminasi terhadap perempuan. Tak ada yang namanya penguasa, tak ada pengakumulasian kekayaan; Kedua, tak ada aparatur negara dan tentara yang dengan represif memaksa orang untuk melayani penguasa. Dalam masyarakat primitif, pemerintahan dijalankan secara demokratis dan semua anggota memiliki hak yang setara; Ketiga, masyarakat primitif adalah masyarakat yang matriarkal dan unitnya adalah gen atau klan dari ibu. Maka dari itu, masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas sosial adalah masyarakat yang patriarkal, dengan keluarga dari ayah sebagai unitnya.
Kesimpulannya, Reed mengatakan bahwa temuan pada era pra-sejarah tentang posisi perempuan dalam masyarakat primitif yang matriarkal, telah menantang mitos kapitalis bahwa perempuan pada dasarnya adalah jenis kelamin yang inferior. Sebab, secara biologis harus melahirkan dan merawat anak di rumah. Perempuan primitif memang melahirkan anak-anak, namun mereka bebas, mandiri, dan berada dalam pusat kehidupan sosial dan budaya. Mereka bekerjasama dengan laki-laki dan perempuan lain untuk memenuhi seluruh kebutuhan komunitas.
Buah pikir Evelyn Reed tentang taktik perjuangan pembebasan perempuan ia jelaskan secara gamblang pada bab ketiga. Reed menegaskan bahwa perjuangan pembebasan perempuan dari ketertindasan bukan perang antar seks, melainkan dengan meruntuhkan sistem kapitalisme. Dengan begitu, perempuan dapat terlepas dari status mereka sebagai “objek”. Hal itu dapat dicapai dengan bersatunya pekerja laki-laki dan pekerja perempuan dengan didukung oleh semua masyrakat tertindas lainnya.
Buku dengan pembawaan santai, mudah dimengerti, dan mampu menggugah semangat perubahan memang selalu menarik untuk dibaca. Namun, agaknya pembaca, khususnya dari kalangan perempuan, perlu membaca secara utuh inti gagasan yang Evelyn Reed tawarkan dalam buku ini. Dikhawatirkan, pembaca hanya akan menelan segala romantisme masa lalu tentang posisi perempuan di era masyarakat primitif yang matriarkal, yang kemudian menjadi pembenaran untuk membenci laki-laki.
Tawaran Evelyn Reed tentang persatuan perempuan dan kelas pekerja untuk menantang kemapanan sistem kapitalisme demi terciptanya masyarakat yang egaliter, nampaknya juga perlu dibicarakan ulang. Sebab, ketertindasan kelas pekerja berimplikasi pada sulitnya mereka dalam mengakses pengetahuan soal ketertindasan perempuan. Akibatnya, tak jarang kita menemukan kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa kelas pekerja, baik sebagai pelaku maupun korban.
Meski demikian, perjuangan perempuan dalam merebut hak-haknya dan untuk meruntuhkan mitos-mitos inferioritas yang menghantui mereka, tak dapat dikatakan telah berada di titik nadir.
Penulis : Vamellia Bella C.
Editor : Hastomo Dwi P.