Perenungan nasib untuk masa depan sedang dimulai. Sebentar lagi, para remaja tanggung berseragam putih-abu melepaskan pakaian yang dikenakannya itu selama tiga tahun. Ada yang memang ingin langsung mengais rupiah atau mengenakan jaket almamater kuliah dulu.
Biasanya, motif untuk memperebutkan bangku perkuliahan dilandasi keinginan untuk mendapatkan gelar sarjana dan ijazah supaya lobi-lobi kerja di masa depan tidak susah. Tak ayal karena musabab dari motif ini, banyak sekali calon mahasiswa yang rela duduk di bangku kuliah tapi tidak peduli dengan pembelajaran, hanya karena menginginkan gelar sarjana dan ijazah untuk kerja. Dengan kata lain “tak apa-apa salah jurusan, yang penting bisa dapat pekerjaan yang layak.”
Jika menggunakan analisis Immanuel Kant, seorang Filsuf besar yang berpengaruh pada panggung filsafat selama 500 tahun ini membedah pengambilan keputusan oleh subjek. Dalam filsafatnya, ia menganalisis subjek berdasarkan suara hati di atas legalitas, hukum maupun moral. Suara hati ini bersandar pada pengetahuan dari luar subjek atau manusia. Subjek ini nantinya akan menyerap melalui indrawi pengetahuan-pengetahuan di luar dirinya untuk kemudian mengambil satu keputusan dalam hidup.
Pengambilan keputusan akan diproses oleh si subjek menjadi dua cabang. Pertama, pengambilan keputusan bisa dilakukan dengan asas apriori atau asumsi berlandaskan logika. Kedua melalui pengalaman empirik.
Mengacu pada hal konkrit yang terjadi pada realitas hari ini, jika menggunakan logika pengambilan keputusan melalui asas apriori, dapat dilihat dari fenomena banyak orang yang menentukan pilihan jurusannya secara serampangan lewat konten-konten Tik-tok. Hal ini memotivasi masyarakat untuk lebih bodoamat salah jurusan kuliah, asalkan bisa bekerja.
Logika semacam itu kemudian berkembang di masyarakat. Hal ini diupayakan dengan cara konsekuensi rasio logis yang disepakati masyarakat, kemudian menjadi moral yang berlaku dalam memandang Universitas. Tapi apakah memang fenomena ini merupakan kesalahan orangnya yang terlalu memaksakan kehendaknya? Saya rasa tidak. Tetap, saya akan bulat menyalahkan negara.
Jika realitas mengatakan seperti itu, apakah memang secara moral Universitas memang diciptakan untuk mencetak tenaga kerja? Saya rasa tidak, juga kita sedang terjebak dalam misrepresentasi moral.
Baca juga: Peringati Hardiknas, Gerakan Mahasiswa Bersama Rakyat Serukan Tolak Komersialisasi Pendidikan
Jangan Menggadaikan Idealisme Universitas, Lebih Baik Perbanyak Kampus Vokasi
Sepanjang lintasan sejarah, Universitas memang ditujukan untuk memproduksi dan menyebarkan pengetahuan. Di negara Spaghetti semisal, Universitas Bologna dibangun pada 1088 Masehi untuk melahirkan para intelektual dan akademisi. Muncullah sejumlah aktor pemikir ternama seperti Nicolaus Copernicus, Petrus Ramus, dan Umberto Eco. Mereka turut melahirkan teori-teori yang membantu memajukan peradaban dunia lewat diskursus Sains atau Humaniora.
Di Indonesia, semangat bangsa kita pada awal mendirikan Universitas Gadjah Mada (UGM) di tahun 1949 adalah untuk melahirkan para intelektual yang turut membangun peradaban bangsa lewat konstruksi dunia ide. Salah satunya Alumnus paling terkenal UGM yaitu Prof. Dr Kuntowijoyo. Ia meramaikan diskursus sejarah melalui gagasan paling fenomenal beliau dalam buku “Filsafat Ilmu” dan “Metodologi Sejarah.”
Masalahnya adalah hari ini Universitas tidak lagi difokuskan sebagai wahana untuk menciptakan pengetahuan maupun intelektual. Universitas diposisikan bisa melakukan apa saja. Di UNJ saja semisal, di satu sisi, kampus disuruh untuk menjalani Tridharma Perguruan Tinggi yang erat kaitannya dengan mengejar kualitas. Di sisi lain, jika melihat RPJP UNJ 2020 s.d 2045, kampus juga turut mengejar kuantitas lulusan yang langsung terintegrasi dengan industri.
Jika memang yang ingin dikejar adalah hasil kuantitas seperti langsung menciptakan tenaga kerja praktis, Universitas bukan tempatnya. Di sini, negara memang seolah tidak memiliki gambaran mengenai esensi Universitas. Akhirnya beberapa program yang sepatutnya tidak dilaksanakan dalam Universitas pun dilakukan.
Studi kasus lain, guna menggenjot salah satu poin Indonesia Emas 2045, yaitu membangun sumber daya manusia, Kemendikbud Ristek turut membantu program itu dengan memasukan kurikulum Merdeka Belajar seperti Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB). Salah kaprah orientasi link and match dengan industri ini menciptakan logika praktis. Tiap mahasiswa yang masuk Universitas seolah hanya difungsikan untuk terintegrasi dengan industri.
Padahal jika memang begitu, mengapa pemerintah tidak langsung melakukan restrukturisasi dengan memperbanyak Pendidikan Tinggi berorientasi Vokasi saja? Daripada membangun 3.107 Universitas mengapa tidak memperbanyak Pendidikan Tinggi Vokasi yang jumlahnya masih 1.365 institusi? Proyek seperti ini lebih jelas ketimbang merubah wajah Universitas seperti SMK.
Pendidikan Tinggi dengan orientasi Vokasi akan lebih jelas mewadahi para manusia-manusia yang memang memerlukan gelar dan ijazah untuk langsung terserap ke industri. Plus menambah skill praktis manusia-manusia untuk langsung pandai bekerja. Saya memandang negara di sini juga misinterpretasi dalam memandang Universitas. Hal ini tertuang dalam pelimpahan negara terhadap reproduksi pekerja praktis dan reproduksi intelektual di dalam satu wadah.
Selamat Hari Pendidikan Nasional, semoga pendidikan membuat kita tahu ingin menjadi apa. Bukan malah pendidikan membuat kita mengalami fase keterlemparan.
Redaksi