Pers, seperti yang umumnya diketahui masyarakat ialah merupakan media pemberitaan. Berawal dari masa Yunani Kuno, pers beranjak dari kegiatan memberitakan laporan-laporan harian pada pertemuan-pertemuan yang diadakan. Perkembangan pemberitaan menjadi pesat saat Johannes Guttenberg menemukan mesin cetak yang memuluskan kerja-kerja pers atau media.
Di Indonesia, pers juga identik dengan pemberitaan. Namun dilihat dari sejarah perkembangannya di negara ini, pers memiliki andil cukup besar dalam membawa masyarakat Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Pers dijadikan alat perjuangan oleh tokoh-tokoh elit intelektual masa pergerakan sebagai alat menyebarkan informasi sekaligus menyadarkan masyarakat, semisal Wahidin yang melakukan pergerakan dengan majalah Retnodhoemillah-nya atau Tirtoadisoerjo lewat Medan Prijaji-nya.
Pers bergerak mengikuti perubahan zaman. Kini pers bahkan kerap disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Sebab pers memiliki fungsi social control atau sebagai pengontrol kebijakan sosial yang dibuat oleh pemerintah.
Sebagai pilar keempat demokrasi, pers juga memiliki hak-hak yang berpengaruh besar bagi pekerja media dalam menjalankan roda pers itu sendiri. Namun hak-hak itu kerap digerus oleh suatu pihak, seperti lewat kekerasan, intimidasi, dan represi terhadap pekerja media.
Awal bulan Mei 2018 ini menjadi ajang kebebasan berekspresi bagi berbagai pihak, khususnya buruh. Ya, 1 Mei merupakan International Labour Day atau Hari Buruh Sedunia. Aksi massa yang merupakan gabungan para pekerja media ini mengakui mereka merupakan bagian dari buruh. Para pekerja media ikut memperingati hari buruh sedunia dengan mengadakan long march dari depan Gedung Dewan Pers hingga Patung Kuda, Jakarta Pusat.
Tuntutan yang dilontarkan oleh massa aksi yang terdiri atas para pekerja media utamanya ialah jaminan sosial yang harus ditingkatkan. Jaminan sosial yang paling konkrit ialah asuransi kesehatan, semisal BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Asuransi kesehatan ini berguna untuk menjamin kesehatan pekerja tersebut apabila suatu saat terjadi hal yang mengakibatkan menurunnya kesehatan pekerja, semisal terjadi kecelakaan saat bekerja.
Berdasarkan pernyataan Nawawi Bahruddin, Direktur LBH Pers mengungkapkan bahwa jaminan sosial kepada pegiat pers masih minim. Tercatat delapan perusahaan media melakukan pelanggaran terhadap hak para pegiat pers ini.
Lebih lanjut Nawawi mengungkapkan bahwa pelanggaran tidak hanya berhenti pada kenihilan perusahaan mendaftarkan pekerjanya mendapat BPJS, melainkan juga terdapat kasus pelanggaran lain seperti: Perusahaan telah mendaftarkan para pekerjanya mendapatkan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, tetapi terlambat dibayarkan oleh perusahaan. Bahkan juga terdapat perusahaan media yang sudah mendaftarkan pekerjanya atas BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan, namun hanya membayar salah satunya.
Menelisik Undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS, jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Adapun pasal 14 berbunyi “Setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program jaminan sosial”. Dilanjutkan dengan pasal 15 ayat 1 yang berbunyi “Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.”
Peraturan yang terdapat pada undang-undang seharusnya menjadi pedoman bagi Warga Negara Indonesia ini. Dalam konteks kasus ini, pasal-pasal tersebut sudah jelas bermakna bahwa undang-undang menjamin hak-hak sosial para pegiat pers. Konstitusi mengenai Undang-undang BPJS sudah mencantumkan aturan untuk perusahaan-perusahaan tentang keharusan mendaftarkan para pekerjanya ke BPJS kesehatan maupun BPJS ketenagakerjaan. Tidak sampai situ, para perusahaan-perusahaan media juga harus mengurus sistem administrasi BPJS dan membayarkannya sesuai prosedur serta konsisten.
Melihat kenyataan yang tak sesuai ini pun, seharusnya pemerintah mengambil langkah tegas dalam menindak kasus-kasus pelanggaran oleh perusahaan media. Aksi yang dilakukan oleh para pegiat pers 1 Mei 2018 kemarin bukanlah aksi yang dilakukan tanpa alasan, melainkan telah penuh pertimbangan mendalam.
Pertimbangan-pertimbangan dalam menuntut hak jaminan sosial oleh massa aksi terlihat pada atribut para pekerja media yang digunakan saat melakukan aksi. Payung pada aksi ini melambangkan perlindungan atau proteksi. Artinya, para pekerja media membutuhkan suatu perlindungan terhadap hak jaminan sosial mereka. Adapun warna hitam pada payung dan baju yang dikenakan para massa aksi melambangkan kesedihan atas hak jaminan sosial yang belum diberikan.
Jika hak-hak sosial, utamanya dalam bidang kesehatan masih tidak diberikan kepada para pegiat pers, sudah barang tentu jika pegiat pers dapat dikatakan tidak memiliki proteksi yang mengakibatkan dapat merusak dirinya kapan pun, dimana pun tanpa adanya tindakan penanggulangan yang menjamin. Ada pun jika dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan jika perusahaan-perusahaan media akan terbiasa menelantarkan para pekerjanya tanpa jaminan sosial/jaminan kesehatan. Bukan hanya itu, perusahaan-perusahaan media akan terbiasa dengan sikapnya yang mengabaikan undang-undang.
Lebih jauh lagi, pelanggaran oleh perusahaan-perusahaan media yang mengabaikan hak sosial pekerja media ini juga merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sebab hak sosial untuk pekerja ini sudah merupakan hak konsitusional yang dijamin oleh undang-undang. Hak ini patut dituntut jika tidak kunjung diberikan.
Selain hak jaminan sosial yang belum dipenuhi, kebebasan berekspresi pekerja media juga dibelenggu oleh perusahaan-perusahaan media karena perusahaan tidak memfasilitasi para pekerjanya untuk mendirikan suatu serikat pekerja. Padahal kebebasan berkumpul, berserikat dan atau mengeluarkan pendapat sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar pasal 28E.
Lagi, hak konstitusional pekerja juga tidak diberikan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Padahal membentuk serikat merupakan sesuatu yang penting bagi para pekerja media atau pegiat pers. Serikat pekerja dapat menjadi wadah atau tempat bagi para pekerja media untuk menyuarakan pendapatnya. Serikat pekerja juga dapat digunakan sebagai mitra kritis perusahaan dalam membuat perusahaan menjadi lebih maju.
Mirisnya, dari ke dua kasus pelanggaran hak pekerja media ini, pelanggaran tersebut dilakukan oleh komponen pers itu sendiri. Perusahaan media merupakan komponen pers yang harusnya bersifat se-demokratis mungkin. Paling tidak, sebelum melakukan kritik terhadap pihak lain mengenai demokratisasi, seharusnya perusahaan media juga memberi perhatian pada internal perusahaan media itu sendiri, khususnya para pekerja media. Perusahaan harus memberikan ruang terhadap para pekerja untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapatnya. Perusahaan juga harus memberikan proteksi terhadap para pekerjanya lewat jaminan sosial yang telah diinstruksikan langsung oleh undang-undang.
Jika hak-hak para pekerja media itu digerus oleh perusahaan media itu sendiri maka bukan suatu kesalahan jika kepercayaan masyarakat terhadap pers atau media menurun dan semakin menurun. Sebab ungkapan-ungkapan demokrasi yang digaungkan oleh pers nyatanya dihancurkan oleh komponen pers itu sendiri.
Penulis: Annisa Nurul Hidayah Surya
Editor: Hendrik Yaputra