Sebelum penulis melanjutkan tulisan ini lebih dalam, apakah kawan-kawan pernah mendengar istilah Kuda Troya? Kuda Troya tidak berasal dari Kroya, Banyumas, Jawa Tengah. Walaupun kedengarannya agak mirip tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Tetapi kuda kroya adalah sebuah legenda yang berasal dari semenanjung Balkan, tepatnya didaerah Yunani. Kalau kata sinetron, ini kuda bukan kuda biasa, dan bukan kuda sungguhan juga, tetapi kuda yang terbuat dari kayu. Kuda ini ada pada jaman dahulu kala sekitar dua belas abad sebelum masehi ketika Yunani berperang melawan Troya.
Legenda ini dari kisah nyata Perang Troya (Trojan War) Antara Sparta dan Yunani melawan Troya, ternyata Troya sanga sulit untuk ditembus karena bentengnya yang kokoh dan prajurit – prajuritnya yang berani. Troya akhirnya dikepung selama 10 tahun. Ketika hampir putus asa karena gagal menembus kota, tentara Yunani menemukan sebuah taktik, dengan cara membuat patung kuda dari kayu yang di dalam perut kuda tersebut sudah terdapat prajurit-prajurit perang Yunani. Mereka berpura-pura mundur dengan meninggalkan sebuah patung kuda. Melihat pasukan Yunani telah mundur, tanpa rasa curiga, tentara Troya membawa patung kuda tersebut kedalam kota.
Dimalam hari, keluarlah tentara Yunani yang bersembunyi di perut kuda itu. Mereka kemudian membuka gerbang kota, sehingga pasukan Yunani yang berpura-pura mundur dalam jumlah besar, leluasa memasuki kota. Ibukota Troya akhirnya diserbu dan dijadikan lautan api dan takluk. Kuda kayu ditinggalkan demikian saja oleh pasukan Yunani di luar kota Troya, tidak lagi dipakai. Artinya Kuda kayu hanya sebuah tipu muslihat.
Dalam konteks hari ini, Kuda Troya adalah “kendaraan” untuk membungkus maksud-maksud tertentu untuk tujuan tertentu pula, namun seringkali berkonotasi negatif. Istilah Kuda Troya untuk mengingatkan mahasiswa dari kemungkinan ditunggangi partai politik tertentu. Contohnya dengan kasus yang ada di kampus Universitas Negeri Jakarta ini, yang sempat menggembarkan media sosial ini, namun bagiku hanya sebuah sinetron “Termehek-mehek” yang hanya berakhir sampai dua episode saja, sinetron yang begitu penuh dramatisir namun berujung anti klimaks dan berakhir dengan kisah perdamaian. Seperti halnya sebuah iklan EXTRA JOSS dengan bergambarkan tangan mengepal, tetapi tetap diminum juga sembari mengatakan JOSS. Terkait SK DO Ketua BEM-Ronny Setiawan yang ramai dibicarakan di dunia maya. Namun tak hanya Ronny saja yang terancam DO, namun masih terdapat beberapa mahasiswa yang bernasibkan sama seperti Ronny. Sebetulnya, mahasiswa tersebut ikut mendorong aliansi dengan BEM UNJ untuk mengkritisi isu-isu yang ada di kampus, seperti hal nya UKT, Parkiran, KKN. Sayangnya baru hanya sebatas konsolidasi dan belum melakukan aksi tetapi ancaman DO sudah terlanjur datang. Yang sangat disayangkan BEM UNJ pun hanya membela #SaveRonny yang lainnya tidak. Setelah penolakan keputusan DO terhadap Ronny ramai dibicarakan di dunia maya, akhirnya keputusan rektor dibatalkan. Lagi-lagi, inipun mengungkapkan secara nyata kekuatan di belakang BEM UNJ, terdapat politik kepartaian yang melindungi..
Namun proses terhadap mahasiswa lainnya pun masih berlanjut. Dan pada hari Kamis lalu mahasiswa FIS (Fakultas Ilmu Sosial) dipanggil oleh Dekanat yang memberikan ruang dialog untuk dapat menemukan titik cerah dan langkah yang terbaik untuk para mahasiswanya dalam menghadapi keputusan Rektor. Sama halnya Ronny, beberapa mahasiswa pun diancam DO bahkan diancam dipidanakan dengan tuduhan yang serupa yaitu “Hate Speech” pencemaran nama baik, menebarkan fitnah, menghasut, dan Rektorat menginginkan mahasiswa tersebut mengakui kesalahannya dan ditandatangi diatas materai kemudian di posting ke akun media sosial sebagainya sebagaimana poin-poin kesepakatan bersama antara Pimpinan Rektorat UNJ dan Ketua BEM UNJ kemarin setelah difasilitasi Anggota Fraksi PKS Jazuli dan surat terbuka Fahri Hamzah kepada bapak rektor. Rektorat menginginkan agar para mahasiswa itu, seperti Ronny, mengakui kesalahan-kesalahannya sebagai mahasiswa.
Namun yang jadi permasalahan bukan menyoal meminta maafnya, bagiku ini menyangkut kebenaran, berangkat dari kebenaran dan kebenaran mau bagaimanapun caranya mau bagaimanapun keadaannya, Rektorat bisa memaksakan mahasiswanya itu untuk meminta maaf. Apakah ketika mahasiswa mengakui kesalahannya akan tercipta demokratisasi kampus? Bagiku tidak, dengan kejadian seperti ini hanya membuat turun gerakan mahasiswa, karena takut diancam DO oleh Rektorat akhirnya mahasiswa lebih baik diam dan tidak ingin mengkritisi kampus lagi, kalau ini terjadi, ini adalah kemenangan bagi para Rektorat untuk membuat mahasiswa bungkam. TABIK.
Andika Baehaqi
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial