Pertama kali masuk jurusan Sastra Indonesia, saya tidak mengenal banyak sastrawan di Indonesia. Saya hanya mengenal Sapardi Djoko Damono, Hamka, W.S Rendra, dan Taufik Ismail sebagai seorang sastrawan. Itu pun, karena ia pernah masuk ke dalam Ujian Akhir Sekolah (UAS) bahasa Indonesia saya saat Sekolah Menengah Atas (SMA). Lalu ketika masuk kuliah, saya mengenal satu sastrawan lagi yang tenyata cukup terkenal, yaitu Chairil Anwar. Bagaimana saya tidak mengenalnya, puisinya terpampang besar dan jelas di depan tangga jurusan saya. Belum lagi teman-teman jurusan saya yang sering kali membicarakannya.
Sepertinya memang benar, selera seseorang ditentukan oleh lingkungan sosial di mana ia tinggal. Tak lama, saya langsung mengaggumi Chairil dan Sapardi. Puisi “Aku” karya Chairil selalu menerjang kepala saya. Sajaknya yang bergairah membuat saya merasa hidup kembali. Sedangkan, puisi Sapardi yang indah, mengisahkan cinta dan mendayu-dayu membuat saya menjadi seorang yang melankolis.
Pada pertengahan semester satu, saya mengikuti organisasi kampus, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika. Di sana saya berkenalan dengan beberapa sastrawan yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Saya mengenal nama Pramoedya Ananta Toer dan satu sastrawan Rusia bernama Maxim Gorky. Saya akhirnya memberanikan diri membaca novel Bumi Manusia karya Pram. Namun ternyata, saya tak suka membacanya. Karena menurut saya, bahasa Pram begitu frontal. Contohnya, ketika ia menyebut salah satu tokoh dalam novel Bumi Manusia dengan istilah ‘monyet irlander’. Lalu saya membaca novel karya Maxim Gorky, yang berjudul Ibunda. Selayaknya membaca Pram, saya juga tidak begitu menyukai novel tersebut.
Dimulai dari paragraph ini, saya akan sedikit serius. Tiga paragraf di atas hanya curhatan kesia-siaan saya belajar sastra dan hanya tahu sastrawan itu itu doang. Karena saya cukup memiliki keingintahuan yang besar, beberapa kali saya mengikuti diskusi-diskusi mengenai sastra. Tapi bodohnya, saya baru tahu ada pertentangan kebudayaan cukup besar di Indonesia, yang tentunya memengaruhi kesusastraan. Pertentangan tersebut melibatkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu).
Lekra terbentuk pada 17 Agustus 1950 atas inisiatif anggota yang aktif di Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu, D.N Aidit, Nyoto, M.S Ashar, dan A.S Dharta (Kurniawan, 2006 :5). Berdasarkan Mukmadiah Lekra, dengan tegas di dalamnya dinyatakan “revolusi Agustus 1945 telah gagal”. Menurut Lekra, revolusi rakyat pada Agustus 1945 seharusnya menjadi revolusi rakyat. Namun, revolusi itu telah digagalkan dengan adanya “perjuangan diplomasi”. Apa yang dimaksud dengan perjuang diplomasi ialah ketika Indonesia mulai membuka perundingan dengan Belanda. Kesibukan-kesibukan diplomatik ini yang disebut Lekra sebagai suatu penghianatan terhadap gerakan yang terus berkobar di lapisan bawah. Revolusi bagi Lekra begitu penting, revolusi adalah pra syarat lahirnya kebudayaan Indonesia baru. Sebab, kebudayaan feudal dan imprealis harus dihancurkan terlebih dahulu. (Suprapto, Lekra vs Manikebu Perdebatan Budaya Kebudayaan Indonesia 1950-1965, hal: 53)
Lekra sebagai sebuah Lembaga kebudayaan mendambakan adanya sebuah kebudayaan yang demokratis dan kerakyatan (Suprapto, Lekra vs Manikebu Perdebatan Budaya Kebudayaan Indonesia 1950-1965, hal: 55). Namun, dalam narasi kekinian yang berkembang, realisme sosialis kerap kali disebut sebagai ideologi Lekra. Padahal, dalam diskusi Lekra sejak kongres pertama 1959, disusul pleno PP Lekra tahun 1960, sampai konfrensi 1 tahun 1962, istilah realisme sosialis tidak pernah muncul dalam pembahasan. Artinya, realisme sosialis tidak pernah dibahas, apalagi dijadikan ideologi Lekra. Tapi, Realisme sosialis kemudian ditempelkan begitu saja sebagai ideologi Lekra (Suprapto, Lekra vs Manikebu Perdebatan Budaya Kebudayaan Indonesia 1950-1965, hal: 76). Pembahasan mengenai realisme sosialis hanya ada di dalam elit pemimpin Lekra. Bahkan, anggota Lekra ada yang tidak mengetahui realisme sosial, mereka hanya mengetahui realisme revolusioner.
Menurut Putu Oka Sukanta, salah satu anggota Lekra, ia belum pernah mendengar istilah realisme sosialis dalam Lekra. Ia hanya mengetahui realisme revolusioner. Menurutnya, basis realisme sosialis adalah pada kekuatan rakyat pekerja yang proletariat. Sedangkan, ia berpendapat di Indonesia tidak ada yang proletariat. Yang ada rakyat pekerja yang borjuis kecil. Baginya, pemahaman seniman pada umumnya mengenai kelas pekerja: dia buruh, tani, tapi tidak ada proletar. Sedangkan realisme revolusioner menurut Oka, kenyataan menuju masa depan yang lebih baik untuk Indonesia. Tapi basisnya adalah borjuis kecil, bukan proletariat. Sehingga ketika ia pun berpendapat bahwa seni untuk rakyat, maka rakyat yang saya maksudkan adalah semua orang yang anti dan melawan feodalisme, anti dan melawan imperialisme.
Merjuk pada pendapat Oka, realisme revolusioner sejalan dengan agenda kebudayaan Lekra, yakni kebudayaan rakyat untuk menghapus kebudayaan lama (imprealisme dan feodalisme). Ini membuktikan bahwa, landasan realisme sosialis menjadi prinsip Lekra hanya ditempelkan saja. Ditambah lagi problem pendefinisian realisme sosialis sebagai kritik sastra atau sebuah ideologi dalam sastra masih mendapat banyak perdebatan. Sebab, realisme sosialis selalu berkembang dan mengikuti kontes zaman yang melingkupinya.
Jika merujuk kepada salah satu intelektual Lekra, Pramoedya Ananta Toer, menjelaskan realisme sosialis adalah penggabungan antara dua istilah yang lebih tepat dikatakan sebuah hubungan filsafat—antara realisme dan kesenian dengan marxisme sebagai landasan filsafat sosialisme—metode penggarapannya dengan apresiasi estetiknya sendiri. (Pramoedya, 2003:32) Realitas yang dimaksud di sini ialah realitas yang berlandaskan pada filsafat Marx, yakni Materialisme, Dialektika, Historis (MDH).
Lekra memiliki semboyan “seni untuk rakyat” dan prinsip 1-5-1, yakni; politik sebagai panglima dengan lima kombinasi, meulas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual, dan kearifan massa, serta realisme sosial dan romantik revolusioner. Politik sebagai panglima masuk ke prinsip 1-5-1 Prinsip tersebut ditutup dengan metode praktik Turun ke Bawah (Turba).
Di sisi lainnya, kelahiran Lekra juga merupakan kritik atas tercetusnya gerakan baru (Angkatan ’45) dalam kebudayaan, melalui Surat Kepercayaan Gelanggang 18 Februari 1950. Humanisme universal ditempelkan menjadi ideologi gerakan ini. Adapun sastrawan yang terlibat ialah seperti, Chairil Anwar, HB. Jassin, Sultan Takdir, dll. Pram mengkritik gerakan tersebut. Ia mengganggap, “gerakan tersebut macet, sudah mampus!” Ia beranggapan demikian karena baginya, humanisme universal tidak bisa melakukan penghayatan-penghayatan baru.
“Ia macet, karena perkembangan sosial lebih maju, dan meninggalkan tanpa melalui istilah-istilah serta pretense-pretensi yang karena kesubjektivannya tidak punya sangkut paut yang integral dengan zaman itu sendiri. Ufuk humanisme universal yang ada dalam fantasi, tidak ilmiah, tidak nyata, menjadi bengkok, porak-poranda kena serbu masalah manusia yang nyata…” (Toer, 2003: 92)
Hal tersebut membuat pergerakan baru dari kelompok Gelanggang. Mengusung prinsip dan semboyan yang sama, yaitu “humanisme universal” dan “seni untuk seni.”. Meskipun tidak secara langsung, Gelanggang bertransformasi menjadi Manikebu. Pembuat teks Manifes Kebudayaan dan Surat Kepercayaan Gelanggang ialah orang yang sama, yaitu Wiratmo Soekito. Sesuai dengan manifestonya pada 17 Agustus 1963, Manikebu mendakwa pancasila sebagai landasan kebudayaannya. Manikebu juga beranggapan bahwa sastra dan seni harus dilepaskan dari kepentingan politik dan merebut kembali ruang kebebasan bagi seniman (Madasari, 2019 : 86). Sastrawan yang terlibat dalam Manifesto Kebudayaan yaitu, Gunawan Muhammad, HB Jassin, Taufik Ismail, Arief Budiman, dll.
Perdebatan dan pertentangan mengenai kebudayaan menjadi pesat. Seperti saat Aidit mengkritik gerakan Manikebu dengan ungkapan H.B. Jassin. Semboyan seni untuk seni juga dikritik karena dianggap menjauhkan seni dari realitas. Sedang kaum Manikebu membalasnya dengan ungkapan bahwa politik sebagai panglima membuat politik di atas seni, dan seni kehilangan jiwanya.
Namun Manikebu harus dibubarkan pada 8 Mei 1964 oleh Sukarno. Karena, Manikebu dianggap memiliki sikap ragu-ragu terhadap revolusi. Dengan kata lain Sukarno menganggap Manikebu sebagai narasi ‘manifesto politik’ yang lain (Suprapto, Lekra vs Manikebu Perdebatan Budaya Kebudayaan Indonesia 1950-1965, hal: 81). Tak lama setelah itu, Lekra ikut dihancurkan bersamaan dengan PKI pada 30 September 1965. Lekra dihabisi oleh rezim Suharto, karena dianggap memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu diduga ingin melakukan kudeta. Lekra dipaksa dihapuskan dari sejarah kebudayaan Indonesia. Setelah tahun 1965, kebudayaan Indonesia pincang. Manikebu yang sebelumnya sudah dibubarkan tahun 1964, kembali menyeruak ke permukaan. Kedekatannya dengan Angkatan Darat (AD) membuatnya mendapatkan posisi yang diuntungkan atas kehancuran Lekra.
Manifesto Kebudayaan : Jalan Mulus bagi Kapitalisme
Selain dibubarkan secara paksa, terbitnya TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 memuat tentang larangan ajaran mengenai marxisme-leninisme, merupakan pukulan yang membuat Lekra tidak bisa bangkit kembali. Kemenangan Manifesto Kebudayaan menjadi kemenangan juga bagi kapitalisme dan liberalisme kebudayaan di Indonesia. Dalam buku Wijaya Herlambang berjudul Kekerasan Budaya pasca 1965, menunjukkan adanya sebuah lembaga filantropi yang dibentuki CIA tahun 1950 bernama Congress for Cultural Freedom (CCF), diketuai oleh Frank Wisner, seorang pejabat CIA. CCF bertujuan untuk menciptakan dasar filosofis bagi para intelektual untuk mempromosikan kapitalisme Barat dan anti-komunisme (Herlambang, 2013: 65-66).
Wijaya pun menjelaskan, dari CCF tersebut dibentuk yayasan Obor Internasional yang diketuai Ivan Kats, seorang perwakilan CCF untuk Program Asia. Di Indonesia sendiri, Yayasan Obor Indonesia diketuai oleh Muhtar Lubis. Melalui Yayasan tersebut, ide-ide kapitalisme barat dan anti-komunisme ditanamkan untuk para intelektual di Indonesia (Herlambang, 2013: 95-96).
Selain itu, keberadaan surat-surat Ivan Kats dengan Gunawan Muhammad menunjukan seberapa berpengaruhnya CIA dalam mempengaruhi kebudayaan di Indonesia. Gunawan mendapat banyak proyek dari Ivan Kats, mulai dari menuliskan upaya-upaya PKI dalam menghancurkan identitas dan pengalaman kultural orang-orang yang tidak sepaham dengannya, hingga menerjemahkan karya sastrawan Prancis, Albert Camus, yang mendapat bayaran sebesar $50.
Dalam Bayang-Bayang Lekra
Setelah kemenangan Manifesto Kebudayaan dan dihapusnya Lekra dari narasi sejarah kebudayaan Indonesia, semangat Lekra ternyata masih ada dan bertransformasi menjadi bentuk lain. Semangat “seni untuk rakyat” dan landasan realisme sosialis, muncul dari kubu Manifesto Kebudayaan sendiri. Retakan itu dimulai dari Arif Budiman, yang menuliskan Sastra Kontekstual. Arif beranggapan, kejayaan sastra universal tanpa tandingan sudah tidak sehat. Arif mengajukan Sastra Kontekstual sebagai alternatif. Ariel Heryanto bahkan mengatakan bahwa, gagasan Arif merupakan kelanjutan dari pemikiran Lekra.
Sastra Kontesktual sebagai sebuah landasan tandingan sastra humanisme universal hanya jadi perbincngan sesaat. Tak lama ia harus redup oleh aliran deras sastra humanisme universal. Setelah Sastra Konteksual meredup, lahirlah organisasi kebudayaan yang mengadopsi ladasan kebudayaan Lekra, ia bernama Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER) yang dibentuk tahun 1993 oleh Hilmar Farid, Linda Cristanti, dll. Salah satu sastrawan JAKER yang terkenal ialah Wiji Thukul. JAKER yang lahir saat rezim Suharto, menjalankan agenda-agenda kebudayaan yang memiliki kesamaan dengan Lekra. Ia menerapkan prinsip Turba dengan mengadakan sekolah politik bagi kaum buruh dengan teater dan puisi. Dengan tujuan membangkitkan kesadaran kaum buruh untuk membangun perlawanan terhadap pemegang kekuasaan. Thukul dan Jaker tidak hanya pemerintahan, namun juga menentang diskursus kebudayaan yang dibagun oleh rezim Suharto (Herlambang, 2013: 228).
Namun, saat peristiwa genting tahun 1998 bersamaan dengan hilangnya Thukul, JAKER menguap dengan sendirinya. Pengunaan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, membuat moncong senjata selalu siap ditembakan bagi tiap orang maupun organisasi yang membawa landasan kebudayaan realisme sosialis.
Hari ini, kita diajak untuk selalu bertransformasi dan bermain di bawah tanah. Selayakannya organisasi Taring Padi didirikan pasca reformasi yang memiliki landasan kebudayaan serupa dengan Lekra, harus empot-empotan untuk bertahan dengan landasan materi kebudayaannya di tengah masyarakat kapitalis dan kebudayaan liberal.
What Should be Done?
Kembali pada awal tulisan saya, yang berisi curahan hati mahasiswi sastra Indonesia. Pola pikir dan selera saya ditentukan oleh kondisi peristiwa yang ternyata turut menentukan bagaimana dominasi kebudayaan ikut andil dalam menentukan faktor pasar kesusastraan Indonesia. Saya pun yakin, banyak orang merasakan hal yang sama seperti apa yang saya rasakan.
Bagaimana tidak, Taman Ismail Marzuki (TIM) yang menjadi pusat kebudayaan di Jakarta khusunya, sangat culas. Ia mempengaruhi selera kebudayaan kita sesuai dengan, selera Manikebu. Terlihat siapa saja sastrawan dan budayawan yang dijadikan ikon di dalamnya, seperti Chairil Anwar, H.B Jassin, dll. Bahkan sebelum masuk TIM kita sudah disuguhi dengan sebuah spanduk bertuliskan “Komunisme diharamkan di negeri ini”. Kebudayaan akhirnya jadi stagnan, karena Manikebu menjadi satu-satunya corong kebudayaan hari ini. Celakanya, Manikebu justru tidak jadi kebudayaan progresif untuk melakukan perubahan sosial. Mereka malah menikmati arus besar pasar dan modal yang terus mengalir ke kantong-kantong elitnya.
Masyarakat hari ini masih membutuhkan angin segar kebudayaan progresif di tengah gempuran kapitalisme dan kebudayaan liberal yang membuat masyarakat terjebak dalam pengkultusan. Dalam hal ini, kita tidak bisa menunggu ratu adil untuk menyelamatkan. Kita semua terjebak dalam pengkultusan budaya yang dibawa kapitalisme. Selayaknya, kita dipaksa untuk membayar puluhan ribu sampai belasan juta rupiah hanya untuk membayar konser, harus membayar harga yang cukup tinggi untuk membeli buku, dan harus membayar ratusan ribu rupiah untuk mengikuti kelas kuliah sastra yang dibawakan Ayu Utami di Salihara.
Para pejuang yang mendambakan kebudayaan progresif, harus mundur beberapa langkah dan melakukan evaluasi besar-besaran terhadap setiap gerakan yang telah dibuat. Mundur beberapa langkah untuk maju dan melakukan perlawanan merupakan hal yang tak bisa ditawar.
Sebab sudah selayaknya kebudayaan dikembalikan kepada titahnya, yakni tidak bisa dipisahkan dari realitas yang membentuk masyarakat hari ini. Kebudayaan bukan untuk melayani pemilik modal dan tenaga pendorong pasar. Namun, lebih dari itu, turut andil dalam perubahan sosial.
Daftar Pustaka
*Sumber Primer
Ananta Toer, Pramoedya. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera. 2003.
Herlambang, Wijaya. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Jakarta : Marjin Kiri. 2003.
Kurniawan, Eka. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007
Madasari, Okky. Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan. Jakarta: www.okkymadasari.net. 2019
Skripsi STF Driyakara. Alexander Suprapto. Lekra vs Manikebu Perdebatan Kebudayaaan Indonesia 1950-1965
*Sumber Sekunder
https://indoprogress.com/2013/12/goenawan-mohamad-dan-politik-kebudayaan-liberal-pasca-1965/ diakses pada, kamis 16 Januari 2020, pukul 20:40
Penulis: Uly Mega S.
Editor: Hastomo D. Putra