Judul Buku: Melawan Setan Bermata Runcing
Penulis: Aditya Dipa, Butet Manurung, Dodi Rokhian, Fadilla, dan Fawwaz
Penerbit: Sokola Institute
Tahun: 2019
Jumlah Halaman: 266
ISBN: 978-623-91151-4-2
“Aku membayangkan kalau orang rimba secara keseluruhan bisa berdiri mewakili diri serta menyuarakan kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri.” (hlm. 217)
Masyarakat adat sebagai kelompok minoritas terus menerus tersisih dari kelompok dominan di perkotaan. Persoalan tersebut sejatinya terbentuk karena jauhnya hubungan masyarakat adat dengan masyarakat di perkotaan. Mereka hanya pergi ke perkotaan untuk menjual hasil alamnya.
Persoalan geografis tersebut mengakibatkan kalimat-kalimat rasis dan mencela masyarakat adat di perkotaan muncul. Beraneka ragam diskriminasi, intimidasi, stigma, dan kekerasan juga membayangi setiap anggota masyarakat adat.
Namun, jauh dari perkotaan tak membuat mereka aman dari berbagai kegiatan indsutrial yang menggentayangi hutan adat. Tanah adat justru jadi sasaran empuk eksploitasi koorporasi. Pembukaan lahan demi pabrik, perkebunan, atau berbagai tujuan bisnis lainnya jadi latar belakang eksploitasi tanah adat. Akibatnya, kelompok adat yang tersisih itu mulai menghilang satu persatu.
Terjadinya hal semacam ini dipengaruhi oleh faktor tiadanya kemampuan baca tulis di masyarakat adat. Padahal, kemampuan baca tulis menjadi dasar penting dalam memahami berbagai bentuk perundungan seperti diskriminasi dan eksploitasi.
Merespon kebutuhan seperti itu di masyarakat adat, Sokola Institute mulai menggerakkan pola pendidikan kontekstual di Suku Kubu. Sebagai informasi, Sokola Institut adalah lembaga dengan fokus program pendidikan kontekstual untuk kelompok masyarakat adat di Indonesia yang terakses atau tak mau mengakses pendidikan formal karena alasan geografis dan kultural. Sejak 2003 sampai 2019, Sokola telah mengembangkan 15 program pendidikan bagi masyarakat adat dan kelompok marginal lainnya di berbagai pelosok Indonesia.
Dalam pembelajaran, Sokola Institute menggunakan metode etnografi yang berperspektif antropologis. Etnografer atau pengamat melebur di tengah ritme keseharian masyarakat, menguping obrolan-obrolan kecil di teras rumah, mengamati keseharian tiap-tiap masyarakat, berdiskusi dengan pemimpin adat, dan berbagai penerapan lainnya.
“Sebelum mengajar, harus belajar dulu. Mengajar tanpa pendekatan budaya adalah penjajahan.” (hlm. 168)
Bagi Suku Kubu, model pendidikan seperti inilah yang seyogiyanya ideal. Hal itu dikarenakan, pendidikan kontekstual mampu menyesuaikan dengan budaya yang telah ada. Lain halnya seperti kurikulum nasional. Masyarakat Suku Kubu merasakan pertentangan dalam pelaksanaannya. Contoh, Persoalan waktu belajar, seragam sekolah, dan berbagai peraturan baku lainnya.
Baca juga: Terapi Visi Pendidikan Indonesia
Jika merujuk pada model pendidikan umum, sekolah hanya mengikuti pasar. Pada akhirnya, siswa yang masuk sekolah dicetak untuk menjadi pekerja. Persoalan pendidikan bagi masyarakat adat seharusnya bukan seperti itu. Tetapi, untuk kembali ke adat istiadat dan memperkuat identitas mereka di atas tanahnya sendiri.
Sokola yang menolak hal itu menciptakan metode pembelajaran lain atau kurikulum berupa Baca Tulis Hitung (Calistung). Materi tersebut juga diperkuat dengan kegiatan pembelajaran yang relevan dengan keseharian masyarakat adat, seperti berburu, bertani, dan pemahaman adat istiadat.
Setelah melaksanakan pembelajaran, relawan tidak langsung beranjak begitu saja. Keberadaan relawan masih terus dibutuhkan untuk keberlangsungan pendidikan kontekstual yang kontinyu dengan tujuan advokasi.
“Anak-anak menatapku tajam dan memberondongku dengan pertanyaan, “Setelah menguasai baca-tulis, apakah kami bisa mengusir pembalak itu?” (hlm. 156)
Selain itu, relawan juga menanamkan pemahaman bahwa stigma orang-orang adat bodoh dan orang-orang kota pintar harus dihilangkan dalam diri mereka.
“Ya tidak baik itu, ibu, kalau aku kelihatan seperti Sanak, seperti Kubu, itu artinya buruk. Tadi kata ibu di sana, aku pintar seperti orang Jawa, tidak kelihatan lagi kalau aku orang Sanak.” (hlm. 125)
Buku Melawan Setan Bermata Runcing yang ditulis oleh relawan Sokola sukses menggambarkan dengan jelas tentang kehidupan masyarakat adat. Bermula dari Sokola Rimba hingga Sokola Pesisir, Sokola Institute menerapkan pola pendidikan menarik seperti pendidikan kontekstual. Pendidikan ini bukan hanya relevan dengan masyarakat adat, tapi juga relevan untuk tiap-tiap sekolah dengan semangat lokal yang terjaga.
Semangat lokal tersebut selayaknya tetap terjaga agar masyarakat adat dapat memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusianya dengan baik. Terpenting, mereka dapat mandiri dalam menyuarakan kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri. Masyarakat lokal harus berani melawan penindas-penindas luar yang mencoba merusak alam dan budayanya.
Penulis: Ragil Firdaus
Editor: Arrneto Bayliss