Wisnu Prasetyo Utomo melalui kumpulan artikelnya di dalam buku “Suara Pers, Suara Siapa?”, merefleksikan kondisi media dan jurnalisme di Indonesia. Wisnu mengulas berbagai problematika media massa. Baik problematika yang berkaitan dengan isu-isu politik, ekonomi, hingga etika jurnalistik.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kondisi media dan jurnalisme di Indonesia, penting untuk menggali definisi pers itu sendiri. Menurut Pasal 1 butir (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, “pers” didefinisikan sebagai suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun media elektronik, dan segala saluran yang tersedia. Sehingga apabila mengacu pada undang-undang tersebut, Pers sebagai lembaga sosial atau kemasyarakatan seharusnya terbebas dari golongan atau kelompok yang memiliki tujuan tertentu.
Namun dalam praktiknya, bentuk konglomerasi terhadap media yang dilakukan oleh kalangan elite menjadi semakin subur. Selain konglomerasi media, para pemilik media yang terjun ke dalam perpolitikan malah memperparah kondisi media. Seperti Harry Tanoe Sudibdjo (MNC Group-Perindo), Aburizal Bakrie (Viva Group-Golkar), Surya Paloh (Metro TV-Nasdem), dan masih banyak lagi.
Sebab pemilik media yang terjun ke dunia politik berpotensi untuk melemahkan peran media sebagai pengawas pemerintah (watch-dog). Besar kemungkinan media hanyalah menjadi corong pemerintah maupun partai politik semata. Melalui media yang ia punya, pemilik media hanya memerintahkan pemberitaan yang “baik” saja, dan menutupi kebobrokan yang ada dalam pemerintahan. Kondisi yang seperti ini sangatlah mengkhawatirkan, karena dengan begitu media sudah tidak lagi menjadi mitra masyarakat dalam mengontrol berbagai kebijakan pemerintah.
Apabila sudah sampai seperti itu, media yang seharusnya dapat mencerminkan kepentingan publik, justru hanya memuat kepentingan para aktor oligarki. Pada bab Ekonomi Politik dan Media, Wisnu memaparkan tentang keragaman pemberitaan yang sangatlah erat kaitannya dengan pemilik medianya.
Sebagai contoh, mengutip dari artikel yang ada di remotivi.or.id, polarisasi pemberitaan pada media ini seolah terlihat dari pemberitaan yang ada pada TVOne dan ANTV (dulu Lativi) milik keluarga Bakrie yang terafiliasi dengan partai Golkar serta MetroTV milik dari Surya Paloh yang menjabat sebagai ketua partai Nasdem.
Kedua stasiun televisi tersebut terlihat masif dalam menyiarkan aktivitas politiknya. Seperti Lativi menyiarkan secara langsung ajang pemilihan ketua Golkar. MetroTV yang kerap menyiarkan aksi goro-goro Surya Paloh ke lokasi bencana dan kampanya pencalonan dirinya sebagai presiden.
Kedua stasiun inipun kerap kali bersebrangan dalam penyajian beritanya. Sebagai contoh, peristiwa bencana meluapkan lumpur di Kabupaten Sidoarjo yang erat kaitannya dengan PT Lapindo Brantas milik keluarga Bakrie, dari situ dapat terlihat perbedaan yang mencolok antara TVOne maupun MetroTV dalam melakukan konstruksi realitas kejadian tersebut. Dalam beritanya, TVone memilih diksi “lumpur Sidoarjo” sedangkan MetroTV yang menggunakan “lumpur Lapindo” dalam melakukan pelabelan bencana tersebut, dari pemilihan diksi tersebut saja menimbulkan kesan yang sarat akan muatan politis dari masing-masing berita yang disajikan oleh media tersebut.
“… , dua stasiun televisi berita Metro TV dan TV One berada dalam posisi berhadap-hadapan, bukan karena ideologi tetapi lebih karena kepentingan politik pemilik yang berada pada posisi politik yang berseberangan.” (Hlm 137)
Media Netral, Non-Partisan, dan Objektif
Membicarakan posisi media yang harus netral, objektif dan tidak partisan seolah menjadi sesuatu yang naif. Mengingat media hari ini sangat kental dengan agenda setting. Pemilik media memobilisasi informasi hanya untuk kepentingannya. Contoh kasus yang diambil Wisnu adalah pemberitaan pemilu 2014. Pada saat itu, pemberitaan pemilu segendang sepenarian dengan pendulum politik pemilik media. Momen tersebut sekaligus mengonfirmasi bahwa tidak ada media yang tidak partisan. Adanya gradasi yang tegas, baik dari bentuk keberpihakan maupun produk jurnalistik yang dihasilkan.
Namun apakah hal tersebut salah? Wartawan sejatinya memang dihadapkan dengan pengaruh nilai-nilai, norma-norma, hingga keyakinan tertentu. Sebenarnya mustahil bahwa berita adalah sepenuhnya cerminan realitas.Terlebih suatu berita juga tidak terlepas dari mekanisme framing, yaitu proses menyeleksi dan menonjolkan berita tertentu dari sebuah peristiwa.
Hal lain yang dijadikan dasar argumen opini penulis bahwa netralitas media adalah omong-kosong, ialah kutipan pendapat Merril, Professor Jurnalisme di Universitas Missouri.
“Objektivitas jurnalisme adalah hal yang tidak mungkin, atau dengan kata lain mustahil. Dari mulai seleksi isu, pemilihan narasumber, penentuan kata sampai strategi penulisan adalah sebuah tindakan ideologis yang didasari subjektivitas wartawan dan media.” (hlm. 117)
Konglomerasi media dan kecondongan politik saat ini membuat masyarakat dihadapkan pada kondisi yang mengharuskan untuk memiliki kesadaran kritis. Tuntutan menjadi khayalak yang aktif dalam menafsir, memilah, memilih, sampai meyakini informasi yang ada. Konglomerasi media dan afiliasi politik media terhadap kekuatan politik dapat dijadikan alat untuk membantu kita mengukur kemana bias berita-berita diarahkan, sehingga para pembaca tidak terombang-ambing arus informasi dan agenda media.
Setidaknya hal itu juga yang disampaikan oleh Wisnu Prasetya, bahwa literasi media menjadi ikhtiar yang yang bisa didorong agar era keterbukaan tidak menjerumuskan publik kedalam belantara hoaks. Literasi media tidak sekadar bisa memilah mana fakta dan mana fiksi, lebih dari itu, ia membantu kita memahami apa-apa yang tersembunyi di balik berita.
Buku “Suara Pers, Suara Siapa?” masih sangatlah relevan untuk dibaca pada masa sekarang-sekarang ini. Sebab, kesan media yang terpolarisasi ini pun sesungguhnya masih terasa sampai dengan saat ini. Terlebih, apabila berkaca pada dinamika perpolitikan yang ada , buku ini mungkin dapat menjadi salah satu ruang pintu dalam mengabstraksikan realitas melalui suguhan opini yang disajikan Wisnu Prasetyo melalui artikel-artikelnya.Hanya saja alur narasi dalam buku ini melompat-lompat. Sebenarnya bahasan dalam setiap artikelnya terdapat informasi yang beririsan dan kurang lebih sama, sehingga membuatnya menjadi seperti tidak runut dan membuat pembaca menjadi kurang terfokus dalam memahami sajian pembahasan dalam artikelnya.
Penulis: Fadhlan Azis
Editor: Imtitsal