Judul buku                   : Kapitalisme dan Lingkungan Hidup

Judul                            : Lingkungan Hidup dan Kapitalisme; Sebuah Pengantar

Pengarang                   : Fred Magdoff dan John Bellamy Foster

Alih Bahasa                 : Pius Ginting

Penerbit                      : Marjin Kiri

Cetakan                       : pertama, Agustus 2018

Iklan

Jumlah halaman         : xiv + 188 halaman

ISBN                             : 978-979-1260-80-0

Bagi banyak orang di dalam masyarakat ini, lebih mudah membayangkan berakhirnya dunia ketimbang membayangkan berakhirnya kapitalisme. – Fredrick Jameson

“Stop Pemanasan Global! Jika Anda mencintai planet ini, jika anda mencintai anak cucu kita ayo bertindak sekarang juga!”  Iklan layanan masyarakat seperti itu, kerap kita jumpai di televisi, brosur-brosur di dinding tembok, juga di media massa, seperti media sosial, atau koran-koran cetak. Dengan dalih bumi tempat tinggal manusia sedang sakit. Iklan layanan masyarakat tersebut seolah-olah menganjurkan individu-individu untuk menjaga lingkungan. Seperti menghemat menggunakan listrik, tidak menggunakan plastik, kembali menanam pohon, dan memakai air secukupnya.

Akan tetapi, apakah pemanasan global dan degradasi lingkungan hidup merupakan kesalahan yang bisa dilimpahkan kepada individu? Atau ada pihak lain yang lebih bertanggung jawab mengenai hal tersebut?

Fred Magdoff, seorang profesor ilmu tanah, tumbuhan, dan pangan di Universitas Vermont serta John Bellamy Foster yang merupakan profesor sosiologi di Universitas Oregon lewat buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme, membenarkan adanya degradasi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.

Hal tersebut didasarkan pada perubahan iklim yang cukup signifikan seperti, peluruhan cepat gunung-gunung es (glasier) di dunia dan pemanasan samudra. Di mana sekitar 90 persen panas muka bumi terakumulasi akan menyebabkan kekeringan mencekam, yang berpeluang meluas hingga mencapai 70 persen di area daratan dalam beberapa dekade ini. Bila tak ada perubahan yang diberlakukan, suhu musim dingin dan musim panas akan lebih tinggi dari biasanya. Dampaknya akan mengganggu ekosistem regional dan punahnya spesies akibat perubahan cepat pada zona-zona iklim atau daerah “isotermal”, yakni daerah yang punya suhu rata rata tetap dan menjadi tempat spesies-spesies tertentu beradaptasi.

Bagi Freed dan Bellamy kerusakan alam semata-mata bukan menjadi masalah individu. Ada penyebab stuktural dari kerusakan alam yang terjadi hari ini. Peneyebab stuktural itu bermuara pada sistem ekonomi yang kini sedang berlangsung; kapitalisme.

Alasan kapitalisme menjadi biang dalam permasalahan degradasi lingkungan didasarkan, inti dari sistem tersebut, pengejaran laba dan akumulasi tanpa akhir. Mengakibatkan persaingan di mana perusahaan terdorong untuk terus-menerus menambah penjualan dan melebarkan pangsa pasar. Tentunya, untuk melebarkan pasar, produksi harus digenjot. Maka jangan heran jika, eksploitasi alam dan manusia menjadi tak terhindarkan. Alam pun kehilangan sistem metabolismenya.

Berkaca dari kasus privatisasi air oleh PT Palyja dan Aetra di Jakarta. Menurut data BBC Indonesia, privatisasi air tersebut tidak menyelesaikan problem air bersih di Jakarta. Sebab pipanisasi air baru mencapai 60%. Ini berarti, dari 10,37 juta penduduk Jakarta, lebih dari 4 jutanya belum mendapat akses ke air bersih. Adapun di sebagian daerah yang telah terjangkau pipanisasi, kualitas air dinilai sangat buruk. Misalnya di Kelurahan Rawa Badak, Jakarta Utara.

Iklan

Akan tetapi, PT Palyja malah melayani kebutuhan air bersih Ciputra World 1 dan 2. Kebutuhan air bersih di Ciputra World 1 mencapai 1.200 meter kubik sampai 1.300 meter kubik per hari. Ciputra World 1 terdiri dari Lotte Shopping Avenue (LOVE) seluas 130.000 meter persegi, 73.000 meter persegi gedung perkantoran Grade-A, DBS Bank Tower, 174 kamar Hotel Raffles Jakarta, 88 unit apartemen mewah Raffles Residences Jakarta, 136 unit apartemen myHome dan 170 unit apartemen servis Ascott Jakarta.

Di Ciputra World 2 belum semua fungsi bangunan beroperasi. Hanya Tokopedia Tower saja yang tercatat konsumsi air bersihnya mencapai 2500 meter kubik per bulan. Tokopedia memegang hak penggunaan nama (naming right) oleh Ciputra dari sebelumnya Ciputra World 2 Jakarta Office Tower.

Menurut data Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, 98 persen penyebab penurunan tanah Jakarta lantaran eksploitasi air tanah—yang dimanfaatkan untuk air minum, sanitasi, dan irigasi. Berdasarkan riset tim peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), di Jakarta Utara setiap tahunnya telah terjadi penurunan permukaan tanah dengan kedalaman mencapai 25cm.

Selain itu, buku ini ingin menjelaskan bagaimana kapitalisme memiliki tanggung jawab besar terhadap kerusakan lingkungan yang mengakibatkan ongkos kemanusiaan yang besar. Survei tahun 2009 oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) memperkirakan bahwa lebih 17.000 hewan dan tumbuhan sedang terancam punah. “Lebih dari satu dari setiap lima mamalia yang dikenal, lebih dari seperempa jumlah reptil, dan 70 persen tumbuhan sedang terancam, menurut sebuah survei yang memasukkan 2.800 spesies baru di banding tahun 2008.” (hlm 15).

Salah satu dampak ekosistem yang terdegradasi dengan berkurangnya spesies adalah peningkatan penyebaran penyakit menular. Bisa kita lihat pada kemunculan virus covid-19 yang hari ini menjadi selebritis dunia. Munculnya virus tersebut tidak bisa dilepaskan dengan industri agrikultur yang mementingkan kebutuhan pasar ketimbang kecukupan pangan.

Belum lagi deforestasi yang terjadi akibat pembagunan infrastuktur. Masyarakat adat dipaksa digusur (keluar dari rumahnya), begitupula dengan ekosistem lingkungan yang ada di dalam hutan. Patogen-patogen yang sebelumnya hanya berada di hutan dipaksa keluar dan mencari inang baru. Jadi jangan heran apabila virus-virus selayaknya covid-19 akan sering kita temui dan menjadi selebritis dunia.

Revolusi Ekologis

Perubahan besar-besaran terhadap sistem ekonomi untuk lingkungan hidup harus segera dilaksanakan. Sebab jika tidak, lingkungan hidup akan semakin mengalami krisis. Maka, revolusi ekologis menjadi hal yang harus diperjuangkan. Setidaknya kita bisa belajar dari apa yang dilakukan oleh negara-negara di Amerika Latin, selayaknya Ekuador, El Savador, Bolivia, Kosta Rika, dan Kuba.

Dalam artikel yang dimuat di Indoprogress dengan judul “Ekososialisme Atau Kiamat!” In’amul Mushoffa, memaparkan negara-negara sosialis di Amerika Latin telah memelopori gerakan ekososialis sehingga dapat dikatakan mereka sangat maju dalam soal lingkungan.  Beberapa negara tersebut ialah Ekuador melalui Revolusi Warga Negara yang dimulai pada  2007, berhasil membuat konstitusinya mengakui “hak alam”.

Institut Kelistrikan Kosta Rica mencatat, pada tahun 2016, sekitar 98 persen sumber energi listrik negeri itu berasal dari energi hijau. Warga juga menggunakan energi yang sebagian dihasilkan oleh pembangkit hydropower, yang berasal dari sungai dan air hujan musiman. Juga penggunaan energi panas bumi (geothermal) dan energi surya. [1]

Lalu Kuba, menerapkan pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Di sini, Kuba menerapkan model pertanian yang berbeda dengan kebijakan revolusi yang kapitalistik dan merusak lingkungan. Dalam laporan World Wide Fund for Nature (WWF) tahun 2016 disebutkan, indeks jejak ekologis (ecological footprint)—indeks yang mengukur seberapa banyak ruang, baik di darat maupun di air, yang diperlukan manusia untuk menghasilkan sumberdaya yang mereka habiskan dan menyerap limbah yang mereka hasilkan—Kuba termasuk terbaik di dunia. [2] Hal tersebut tidak lepas dari revolusi Kuba yang dimotori oleh Fidel Castro, Che Guevara, dkk berhasil pada tahun 1959.

Dari hal tersebut dapat disimpulkan, sebuah revolusi ekologis masih dimungkinkan. Negara yang melawan logika pasar menjadi kekuatan untuk melakukan perencanannya. Oleh karena itu, pasar harus di bawah kontrol negara.

Mengenai sistematika penyesuaian kebutuhan pangan buku ini mengajukan tawaran ‘sosialisme tingkat kota praja’. Dalam artian, kebutuhan pokok masyarakat disediakan oleh negara dengan demokratisasi ekonomi dan politik. Kerjasama dilakukan dengan melakukan demokratisasi di tingkat lokal, regional, multinasional. Tentunya dengan prinsip melawan logika kapitalisme, yakni menolak akumulasi modal tanpa henti.

Jika kebutuhan dasar manusia sudah dipenuhi dan dikelola oleh negara, masalah-masalah seperti privatisasi air di Jakarta, militerisasi wilayah selayaknya di Urut Sewu, pengusuran yang mencegah kedaulatan pangan layaknya di Kulon Progo, tidak akan terjadi. Karena pada prinsipnya revolusi ekologis ialah memutus lingkaran setan eksploitasi atas manusia sekaligus alam.

Sudah seharusnya pemerintah Indonesia pun sadar akumulasi modal tanpa akhir tidak mungkin. Sebab itu menghadirkan biaya yang sangat besar terhadap lingkungan hidup dan sosial.

Pun, solusi untuk masalah krisis lingkungan tentunya tidak sesederhana seperti yang dikelakarkan pemerintah Indonesia. Dengan hanya menyuruh masyarakatnya, irit menggunakan air, listrik, dan tidak menggunakan bahan plastik. Sebab, masyarakat miskin sudah melakukan itu sebelum pemerintah mempropagandakan hal tersebut. Namun, koorporasi-koorporasi besar atas nama investasi itu yang memiliki tanggung jawab besar atas krisis ilkim yang ada.

Terakhir, bumi memang sedang sakit akibat eksploitasi alam dan manusia yang dilakukan oleh kapitalisme. Namun, bukan berarti kita harus terbujur lemas dan ketakutan akan kiamat, akibat bumi yang rusak. Mengutip seorang ahli geografi marxis, David Harvey,  “gerakan politik radikal dapat muncul dalam lingkup apa saja: proses kerja, dalam hubungan dengan alam, dalam relasi sosial, dari kehidupan sehari-hari, dll.” Perjalanan menuju masyarakat baru ada di depan mata, menjaga gerakan politik bergerak dari satu lingkup kelingkup lainnya dengan cara yang saling memperkuat, akan menciptakan aksi sistemik total yang memperkuat dirinya sendiri.

Selamat merayakan hari bumi se-dunia, dan sampai bertemu di jalan kawan!

Penulis : Uly Mega S.

Editor : Vamellia Bella C.


[1] http://www.berdikarionline.com/lima-negara-amerika-latin-ini-paling-maju-secara-ekologis/

[2] ibid