Setiap kali ada pemberitaan tentang prostitusi, kerap kali perempuan lah yang dijadikan ‘objek’. Seperti beberapa saat lalu, Indonesia ramai dengan kasus seorang artis yang digadang-gadang ‘menjual diri’ sebagai bentuk pekerjaan sampingannya. Alih-alih menampilkan identitas mucikari serta pelanggannya, masyarakat dan media justru lebih tertarik terhadap pelaku perempuan dengan menampilkan identitas lengkap dan memberikan berbagai cacian sebagai bentuk sangsi sosial atas apa yang telah dilakukannya.
Dalam standar moral masyarakat, melakukan hubungan seks di luar nikah adalah hal yang terlarang. Walau begitu, kasus di atas hanya perempuan lah yang menjadi fokus atas kasus pelanggaran moral seperti prostitusi di masyarakat. Apakah ini merupakan praktik budaya patriarki?
Patriarki sendiri menurut Max Weber merupakan sebuah sistem kekuasaan atau pemerintahan yang mana kaum laki-laki mengatur dan mengendalikan masyarakat melalui posisi mereka sebagai kepala rumah tangga. Dalam sistem tersebut dominasi dari para lelaki muda yang belum menjadi kepala keluarga juga tidak kalah pentingnya, walaupun tidak lebih penting dibandingkan elemen dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui rumah tangga.
Dengan kata lain, Weber ingin menjelaskan bahwa patriarki adalah bentuk penindasan berbasis gender pada lingkup keluarga. Walau begitu, ternyata penindasan tidak hanya terjadi pada lingkup keluarga, namun untuk lingkup yang lebih luas lagi, yaitu lingkungan masyarakat.
Budaya patriarki menghasilkan pemikiran bahwa perempuan menempati peran sosial di bawah laki-laki. Sehingga ketika ada kasus prostitusi, maupun bentuk pelanggaran moral lainnya, hanya perempuanlah yang pantas mendapat hukuman sosial.
Praktik budaya patriarki coba dijabarkan oleh Nawal El Saadawi–seorang aktivis perempuan dalam novelnya, Perempuan di Titik Nol. Buku ini ditulis berdasarkan penelitian Nawal terhadap para perempuan Arab sekitar 1970-an. Nawal memulainya dengan melakukan penelitian terhadap para perempuan yang ada di penjara, maupun di rumah sakit.
Bermula saat Nawal melakukan observasi keadaan di Mesir pada tahun 1960an, Nawal menemukan bahwa praktik sunat terhadap perempuan, prostitusi, dan kekerasan rumah tangga oleh suami begitu diwajarkan. Namun baginya ini adalah suatu hal yang salah. Nawal juga beranggapan bahwa masalah-masalah di kala itu adalah masalah berbasis gender. Dimana ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki begitu kental.
Laki-laki menempati garis kepemimpinan yang mana hampir tidak pernah ditempati oleh perempuan, dengan begitu perempuan mendapat perlakuan semena-mena. Mau tidak mau perempuan hanya bisa menerima karena kekerasan terhadap perempuan dianggap suatu kewajaran. Dilatarbelakangi hal ini, Nawal mendobrak budaya patriarki dengan kritik tajam lewat novel Perempuan di Titik Nol.
Novel tersebut berkisah tentang bagaimana cara perempuan untuk melawan segala ketertindasan dan kesewenang-wenangan atas kekerasan yang diterimanya oleh laki-laki. Mulai dari mendapatkan kekerasan seksual, hingga kekerasan secara fisik. Dijelaskan pula bagaimana Firdaus–sebagai tokoh utama saat survive terhadap perjuangan atas haknya sebagai manusia.
Firdaus lahir dengan budaya patriarki yang melekat sejak dia kecil. Dalam konteks masa tersebut, laki-laki (termasuk ayahnya) menjadi sosok yang mendominasi dan menjadi pemegang kekuasaan dalam keluarga, serta pemilik otoritas penuh atas anak dan perempuan. Tumbuh besar bersama ayah yang semena-mena, mau tidak mau Firdaus harus tunduk pada segala aturannya.
Sampai pada suatu ketika, Firdaus dititipkan oleh ayahnya untuk tinggal bersama pamannya. Walau begitu, Firdaus tetap mendapat kekerasan berupa pelecehan seksual oleh pamannya sendiri dan tidak dapat melawan.
Seperti yang dialami Firdaus, Agni, korbàn kekerasan seksual di UGM juga banyak disalahkan karena ketidakmampuannya menolak dengan keras apa yang dilakukan pelaku. Sayangnya, banyak orang ramai-ramai menyalahkan Agni dan menempatkan perilaku pelaku sebagai bentuk kewajaran nafsu belaka. Pewajaran ini dilakukan orang-orang yang terkukung dengan konsep patriarkis, dimana laki-laki diwajarkan memiliki kuasa atas tubuh atau tindakan perempuan.
Akibatnya, Agni dan korban-korban kekerasan seksual lain belum mendapatkan keadilan. Petinggi kampus Universitas Gadjah Mada melontarkan pertanyaan bahwa apa yang diterima Agni adalah atas dasar suka sama suka.
Firdaus juga dipaksa menikah dengan seorang laki-laki oleh pamannya. Di sini terjadi lagi penempatan perempuan sebagai objek, saat Firdaus ditukar dengan mahar hanya untuk menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya. Firdaus tidak henti-hentinya mendapat kekerasan bahkan walau sudah berumah tangga. Firdaus kerap kali mengalami penganiayaan fisik, dan hanya bisa merasa pasrah. Sebab usahanya mengadu ke pamannya pun sia-sia; perbuatan suaminya justru dianggap benar.
Jengah mendapat perlakuan semena-mena dari suaminya, Firdaus memutuskan untuk pergi dari rumah dan mencari jati dirinya yang baru. Dia memutuskan untuk menjadi pelacur sampai pada akhirnya ia bertemu dengan laki-laki, dan jatuh cinta.
Suatu ketika Firdaus patah hati dengan lelakinya, karena ternyata lelaki yang dicintainya memperlakukan Firdaus semena-mena seperti mantan suaminya. Firdaus pun memilih untuk tidak percaya lagi. Sampau akhirnya sadar bahwa dirinya juga harus memiliki sebuah kebebasan dari segala kontrol dan siksaan lelaki.
Bagi Firdaus, peran lelaki begitu besar dalam berpartisipasi terhadap langgengnya budaya patriarki. Dikutip juga dalam bukunya, “Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur bebas daripada seorang istri yang diperbudak.” (hlm. 151)
Dengan terbitnya buku Perempuan di Titik Nol, buku ini menjadi rujukan orang-orang yang ingin mengetahui penggambaran betapa kejamnya budaya patriarki pada masa itu di Mesir. Secara keseluruhan, buku ini ditulis dengan begitu luwes dan tajam menggambarkan tentang relasi kuasa atas gender yang menyebabkan ketimpangan dan penindasan terhadap perempuan. Walaupun begitu, buku ini mendapat banyak kritik karena pandangan El-Saadawi lewat karakter Firdaus dianggap hanya perihal perasaan dendam terhadap laki-laki. Ini yang menjadi kesalahan orang-orang dalam memahami gerakan feminisme yang disampaikan dalam buku ini. Padahal feminisme sejatinya berusaha melepaskan belenggu patriarki yang sudah ajeg di masyarakat, bukan untuk melawan laki-laki dengan keuntungan semata.
Sebagaimana yang dialami Firdaus pada kala itu, ternyata penindasan-penindasan terhadap perempuan masih berlangsung hingga sekarang. Baik pada masa lampau dan masa kini, budaya patriarki sudah menjadi persoalan yang bermasalah bagi banyak perempuan yang sadar telah dirugikan, serta laki-laki yang peduli terhadap apa yang dialami oleh perempuan. Walau begitu, budaya patriarki merupakan masalah yang struktural dan mengakar, budaya ini tidak bisa dihapus begitu saja dengan sekali kritik dan gerakan.
=====
Judul : Perempuan di Titik Nol
Penulis : Nawal El Saadawi
Tahun terbit : 1989
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tebal buku : 177 halaman
=====
Penulis: Renisa A.
Editor: M. Rizky Suryana