Beberapa waktu terakhir kita dihebohkan kasus penusukan Wiranto yang terjadi di Banten. Saat itu Wiranto diagendakan melakukan kunjungan ke salah satu pondok pesantren. Sontak saja hal tersebut menyedot perhatian masyarakat khususnya di media sosial. Tagar #Wiranto sempat menjadi trending di Twitter. Mengutip halaman Twitter hingga Kamis, 10 Oktober 2019, pukul 13.52 tagar tersebut telah diretweet sebanyak 10 ribu kali.

Dalam menyikapi hal tersebut masyarakat seperti terpecah belah. Ada yang menyampaikan simpati dan doa, ada yang membahas senjata yang dipakai oleh pelaku, hingga mengatakan penusukan tersebut hanya settingan belaka. Salah satu cuitan yang viral milik Hanum Rais yang menyatakan penusukan tersebut hanya upaya agar dana deradikalisasi terus mengucur. Cuitan tersebut berujung pada pelaporan Hanum Rais ke pihak kepolisian oleh Relawan Jam’iyah Jokowi-Maruf Amin Jumat (10/10).

Namun dari beragam sikap yang disampaikan masyarakat, topik tentang kebenaran penusukan Wiranto settingan atau bukan sempat menjadi hal yang terus dibahas. Berdasarkan pada hasil analisa  yang dikemukakan Rustika H. selaku Dirjen Komunikasi Indonesia Indikator pada acara yang dihelat salah satu televisi nasional. Rustika melakukan analisis di Platform Twitter karena menurutnya media sosial ini agak berbeda dibandingkan dengan media sosial sejenis. Menurutnya ada sekitar 43% netizen tak percaya Wiranto tertusuk.

Lebih lanjut Rustika mengatakan selama tiga hari ada sekitar 90.000 akun yang membahas penusukan Wiranto. Dari situ ada 26.000 akun yang menanyakan perihal hal tersebut sekaligus meyakinkan penusukan tersebut adalah fakta, ada juga yang meyakinkan hal tersebut hanyalah rekayasa. Dari sejumlah pengguna hampir 80% adalah pengguna millenial yang dalam menyikapi hal ini mereka pasti bergantung dengan apa yang mereka lihat dan dengar. Pada saat kejadian 58,4% pengguna dikendalikan oleh isu yang berkembang di media, kemudian 15,58% masyarakat memberikan doa dan harapan serta mempertanyakan hal tersebut fakta atau rekayasa.

Di hari selanjutnya isu tersebut berubah karena adanya kekosongan informasi di masyarakat. Orang yang mempertanyakan pun berubah menjadi 44,03%, sedangkan yang netral sebesar 29,1%, dan yang yakin bahwa hal itu benar-benar terjadi sekitar 26,8%.

Dari data di atas, masyarakat masih banyak mempertahankan perihal kebenarannya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin karena  sosok Wiranto yang dianggap kontroversial ditengah-tengah masyarakat. Hubungannya dengan kasus pelanggaran HAM berat tahun 1998, pernyataannya ketika pilpres tentang penyebar hoax bisa dikenakan undang-undang terorisme, para pengungsi konflik Wamena yang dianggap menjadi beban pemerintah walaupun akhirnya diklarifikasi dengan permintaan maaf, dan demonstrasi mahasiswa  yang menurutnya tak penting.

Iklan

Terlebih ketika penusukan ini terjadi masyarakat sedang menyuarakan tuntutan tentang UU KPK yang dianggap menguntungkan para koruptor. Apalagi dalam beberapa aksi yang diselenggarakan mahasiswa terdapat beberapa korban jiwa. Pemerintah yang saat itu diharapkan masyarakat untuk segera menjawab tuntutannya serta mengungkap penembak dalam aksi tersebut. Malah lebih memerhatikan penusukan Wiranto sampai presiden pun langsung datang menjenguk. Kesan tersebut membuat masyarakat marah karena pemerintah dianggap tebang pilih dalam penyelesaian kasus.

Pada akhirnya masyarakat ketika penusukan ini terjadi banyak mempertanyakan kebenaran peristiwa tersebut, hingga banyak konten di media sosial yang menyerang pribadi Wiranto. Sejalan dengan itu, menurut Guru Besar Psikologi UGM Koentjoro dikutip dari Kompas apa yang terjadi di masyarakat merupakan wujud agresivitas yang terwakilkan, yang bermaksud melukai seseorang, baik secara fisik atau verbal. Ini semuanya adalah dampak dari kejadian yang kemarin.

Dengan terjadinya kekosongan informasi, sementara hal tersebut justru membuat masyarakat meraba-raba tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kebanyakan masyarakat hanya mendapatkan informasi dari sosial media saja. Padahal apa yang mereka lihat di situ belum tentu benar, hal ini bisa membuat masyarakat terjebak pada fenomena Echo Chambering. 

Fenomena ini bisa menjadi sangat berbahanya bagi orang tersebut. Cass Sustein mengatakan sosial media bak pisau bermata dua. Di satu sisi sosial media dapat menjadi sarana kemudahan dalam menyampaikan informasi, di satu sisi media sosial dapat menyedot seserong ke dalam kelompok yang homogen atau sepandang tentang sesuatu hal. Inilah yang didefinisikan Cass Sustain sebagai Echo Chamber (ruang gema) hanya mendengar apa yang diteriakannya sendiri.

Namun, dalam kasus seperti Penusukan Wiranto sebagai tokoh publik yang kontroversial. Agaknya ungkapan adanya indikasi Echo Chambering kurang tepat. Karena stigma Wiranto di masyarakat terutama adanya keterlibatan pada pelanggaran HAM berat di masa lalu. Khususnya tragedi Mei 1998 dan Timor-Timor. Walaupun bukan sebagai eksekutor lapangan, Wiranto yang saat itu  menjabat panglima ABRI pasti mengetahui pergerakan pasukannya. Dengan dugaan keterlibatan Wiranto pada saat itu ditambah beberapa pernyataan yang kontroversial saat menjabat Menkopolhukam. Bisa jadi lewat penusukan ini masyarakat yang kemarahannya tak tersampaikan jadi terpuaskan. Karena bukan adanya Echo Chambering tetapi lebih kepada latar belakang Wiranto yang negatif di tengah-tengah masyarakat.

Tapi sebagai warga negara yang baik agaknya kita perlu sedikit memberi simpati atas musibah tersebut. Dan juga menjadi pelajaran bagi pemerintah agar tak terlalu membesar-besarkan kasus seperti ini. Karena di luar sana lebih banyak kasus yang menuntut perhatian lebih terutama perihal hak asasi manusia.

Penulis: Mukhtar Abdullah

Editor: Muhamad Muhtar