Tato di Indonesia sering kali dilekatkan dengan stigma negatif. Pengguna tato kerap dianggap tidak beradab, tidak berpendidikan, bahkan kriminal. Ada pula anggapan bahwa tato merupakan kebudayaan luar yang dapat merusak bangsa Indonesia. Padahal, dalam sejarahnya, tato di Indonesia sudah berkembang sejak peradaban kuno yaitu di suku Mentawai, Dayak, dan Batak. Tato pada waktu itu digunakan sebagai penanda identitas kesukuan atau penanda peristiwa penting dalam hidup.
Adanya fenomena di atas, memantik komunitas Diskusi Kamis Sore (DKS) mengadakan diskusi, nonton film, serta live handpoke tato dengan tema, Rajah: Menelusuri Sejarah, Tabu, dan Diskursus Tato di Indonesia. Tujuannya, untuk memandang tato lebih jernih melalui sejarah perkembangannya.
Kegiatan yang diadakan pada Kamis (12/12) di DPR Co-working Space Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini menghadirkan Chris, mahasiswi arsitektur universitas Australia yang juga merupakan seniman handpoke tato, Bhagavad Sambadha, jurnalis foto tirto.id sebagai penggemar tato, dan Hanan Radian Arasy mahasiswa Sosiologi UNJ.
Sebagai pembuka Arasy menjelaskan sejarah tato. Ia mengutip penelitian Victoria Frencentese, bahwa tato sudah ada sejak 2,6 juta tahun yang lalu. Melalui penemuan fosil mumi Otzi sang manusia es yang memiliki 61 tato di tubuhnya.
Selanjutnya ia menambahkan tatto di era modern pertama kali dikenalkan kembali lewat pertunjukan freakshow PT. Barnum perusahaan perkapalan. Pertunjukan tersebut digunakan untuk menghibur pekerja dari kepenatan kerja. “Dari situ tato sudah dijadikan sebagai alat hiburan, atau bahasa lainnya yaitu tato sebagai budaya populer. Bukan lagi sebagai identitas sosial,” tutur Arasy.
Senada dengan Arasy–akibat tato sudah menjadi budaya populer–Christ sebagai seniman tato mengatakan, di Australia, pentato harus memiliki lisensi atau sertifikat tato. Untuk mendapatkan hal tersebut, perlu biaya yang mahal. “Jadi, pentato yang seperti saya ini dianggap ilegal. Padahal saya bisa jamin kebersihannya,” tutur Christ.
Berbeda konteksnya jika di Indonesia, Bhagavad menuturkan tato pertama kali dipakai oleh suku Mentawai sebagai penanda peristiwa penting dalam hidup. “Semisal, sudah dewasa tubuhnya diberikan tato sebagai penanda,” ujarnya. Selain itu, ia mengatakan, semakin banyaknya tato yang ada di tubuh menandakan semakin tinggi status sosialnya.
Seiring waktu, tato menjadi sesuatu yang sifatnya tabu karena adanya pendisiplinan tubuh. Bagi Bhagavad, era Suharto adalah penyebab hal tersebut. Dapat dilihat dari penelitian Sosiolog Australia L. Miklouhu-Makial di buku berjudul Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Indonesia Sejak Tahun 1966 tentang bagaimana Soeharto melalui legitimasi politik melakukan kekerasan terhadap kebudayaan pada orang yang diidentifikasikan sebagai kriminal.
Akan tetapi, bagi Bhagavad pendisplinan tubuh melalui tato sudah ada sejak jaman kolonial. Tujuannya, agar masyarakat adat tidak memiliki identitas dan dengan mudah dapat berasimilasi dengan identitas pribumi buatan kolonial. Lanjut ke peristiwa 1965, ia mejelaskan orang yang disinyalir Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) ditelanjangi dan dilihat apakah dibadannya terdapat tato palu arit atau tidak. “Sebagai legitimasi tindakan kekerasan aparat,” ucapnya.
Hal tersebut menurut Bhagavad berdampak hingga hari ini. Karena dianggap tabu, tato memiliki corak yang berbeda di Indonesia berdasarkan klasifikasi kelas sosialnya. Bhagavad melihat, kelas menengah di Indonesia yang bisa mendapatkan akses lebih, biasanya mentato tubuhnya. Hal ini bertujuan supaya tato bisa diterima masyarakat umum dan dapat dijadikan bisnis (komodifikasi). “Mereka (kelas menengah) biasanya membuat citra tato itu steril, orang yang pakai tato bersih-bersih, dan tidak kriminal,” katanya.
Sedangkan kelas bawah, biasanya memiliki tato untuk mendapatkan akses lebih. Baghavad mencontohkan bahwa ketika di penjara, orang yang memiliki tato biasanya dianggap seram dan bisa mendapatkan makanan yang lebih. Atau ketika preman yang menggunakan tato bisa mendapatkan pekerjaan sebagai tukang pukul di bar. Atas alasan itu, Bhagavad mengatakan bahwa tato sebagai medium seni selalu politis dan tidak bebas nilai. “Selalu ada yang ingin disampaikan lewat tato,” pungkasnya.
Penulis/Reporter: Uly Mega S.
Editor: Annisa Nurul H. S.