Catatan: Tolong baca sampai selesai! Tidak ada yang bilang Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan sejenisnya bodoh atau semacamnya.
Pendapat demi pendapat muncul. Tulisan demi tulisan dipublikasikan. Agak puitis, walaupun nyatanya faktual. Konteks ini muncul setelah mahasiswa banyak menyinggung obrolan tentang Pemilihan Raya (Pemira). Arah obrolannya bukan mau pilih ini atau itu –pilih calon satu atau dua atau mungkin kotak kosong– tapi justru ingin menggugatnya. Bahkan tulisan terakhir, dengan judul yang agak provokatif dan mungkin click bait, sudah sampai narasi ‘boikot’. Khusus tulisan boikot, ada baiknya tulisan itu dibaca hingga selesai. Karena, beresiko menyebabkan sakit hati bahkan fisik, paru-paru basah, gangguan ginjal dan janin(khusus untuk anak BEM dan atau Majelis Tinggi Mahasiswa dan sejenisnya). Tulisan ini memang bertujuan menjawab kesakithatian kelompok di dalam kurung itu. Tapi, andaikan tulisan ini tidak dibaca sampai selesai, akan beresiko sama dengan tulisan berjudul boikot itu.
Kesakithatian itu betulan terjadi saya tidak sedang melebih-lebihkan, ceritanya begini. Saat itu saya sedang merenung (seperti biasa merenungi kehidupan). Tiba-tiba badan saya terguncang. Mengira-ngira itu adalah gempa. Andaikan betul gempa (karena tuntutan latar belakang jurusan saya) pastinya akan ada bahan obrolan baru, sejenak pikir saya begitu. Sayangnya bukan gempa. Ternyata handphone saya yang bergetar. Mengguncang tubuh saya sampai dahsyatnya. Balon renungan saya pecah, dan kembali pada kehidupan nyata (yang tidak ada asik-asiknya). Karena tahu hiposentrumnya dari handphone, dengan goncangan sekiranya menyentuh magnitudo 0000000000,1 atau lebih atau kurang. Maka saya buka handphone tersebut. Ternyata cuma chat dari @AyangQ (nama samaran). Tunggu dulu pikir saya. Ada yang aneh. Ah ternyata jerawat. Jerawat saya terpantul di layar handphone saya. Itu baru tumbuh sepertinya, saya mengira-ngira. Kemudian, saya buka chat itu, baca dan balas. Kirim! Lalu saya coba iseng-iseng buka grup WhatsApp (wa) yang kebanyakan puluhan sampai ratusan pesan. Kebetulan saat itu sedang banyak waktu luang. Hingga sampai grup terakhir, saya membaca dengan shock, mual, dan ah rasanya asam lambung meletup-letup. Saya baca pesan itu sambil meringis. Sedih rasanya. Saya terlihat menyedihkan juga saat itu. Tiba-tiba saja ada perasaan ingin kembali merenung. Menyesal rasanya masuk UNJ atau lebih dalam, kenapa saya lahir di Indonesia!! Bisa saja kalian bilang saya tidak tau diuntung, karena sudah beruntung masuk kampus negeri. Atau beruntung hidup di Indonesia, coba saja bayangkan nasib mereka yang lahir di negara konflik atau negara yang miskin sekali, layaknya Zimbabwe dll. Tapi saya cuma mau mengeluh, itu seperti meregangkan otot. Sesekali kalian pasti pernah mengeluhkan kehidupan, jujur saja. Lagi pula, hal wajar mempunyai keinginan atau menyuarakan keinginannya. Secara hukum itu sah-sah saja.
Grup itu membicarakan satu tulisan dengan judul “Boikot Pemira.” sampai kalimat itu, rasanya asik-asik saja. Membawa kita terbayang sedang berada dalam nuansa intelektualisme yang kental. Bahwa kampus ini dekat dengan budaya diskusi. Indahnya diskursus dan perdebatan, argumentasi berdasarkan akal. Bukan sentimen golongan.
Tapi sayangnya, yang ada justru “keheranan” yang sebetulnya tidak perlu. Meskipun, hanya tampak di kulitnya, “keheranan” itu seolah mirip dengan sifat filsuf, dengan keragu-raguannya. Coba saja telaah lebih dalam. Di grup itu, ada yang keheranan. Sepertinya ia betulan bingung. Kenapa pers mahasiswa menerbitkan tulisan berjudul boikot Pemira. Dia heran betul-betul heran. Dia betulan mengatakan “heran” di grup itu. Dia melanjutkan, katanya kenapa tidak langsung saja bicara, padahal sekretariat berdekatan. Mungkin akibat tulisan boikot itu, jiwa si pengirim pesan pun mengeluh, kenapa aku hidup! Atau oh tuhan! Kenapa manusia diberikan kelebihan mengeluh!? (kalimat bergaris bawah itu betulan spekulasi, tidak untuk diperdebatkan). Saya jujur tidak tahu tepat jiwanya mengeluh apa. Yang jelas pastinya mengeluh.
Jadi begini. Perlu diberikan tanggapan untuk keheranannya itu. Pertama, pesan untuk para komentator di grup tersebut, saya mohon jangan cuma baca judulnya! Baca juga isinya. Kedua, kita harus sepakat bahwa di dalam kampus, kita sedang mempraktikan sistem demokrasi. Demokrasi itu layaknya ruang, yang bisa hidup di mana pun, dan bisa diisi dengan kepentingan apapun. Karena, sepertinya para anggota lembaga/organisasi pemerintahan kampus ini sedang mengalami kebingungan. Di satu sisi ingin diparadigmakan sebagai sistem yang sifatnya kekeluargaan layaknya musyawarah mufakat. Atau contoh studi kasus di atas, menginginkan dialog yang baik-baik (baik dengan standar ganda) hanya karena sekretariat berdekatan (walaupun jauh dekat itu ralatif). Tapi di lain sisi, organisasi pemerintahan itu berstatus sistem demokrasi modern representasinya melalui pemilu dan tindak-tanduk birokratis lainnya.
Maka supaya tidak ada apa yang istilahnya standar ganda, harus jelas pijakanya. Untuk itu digunakan konsep demokrasi modern.
Pertimbanganya, karena sistem demokrasi modern adalah sistem yang praktis dan tidak menggunakan emosi kekeluargaan yang secara sehat hanya bisa dibangun dalam waktu yang lama. Selain itu, jumlah mahasiswa UNJ kepalang banyak. Cara-cara kekeluargaan sulit terjadi, digambarkan oleh Benedict Anderson, cara kekeluargaan kurang lebih, perlu mengenal emosi kelompoknya masing masing. BEM akan kesulitan mengenal mahasiswanya satu persatu karena jumlah itu. Pengecualian untuk BEM Prodi, karena lingkupnya yang lebih kecil maka peluang diterapkan gaya tradisional (kekeluargaan) yang guyub lebih besar. Prinsip utama dari kedua sistem itu sebetulnya sama, mengakomodir semua suara, dan pendistribusian kekuatan yang merata. Kuasanya harus dipertanggungjawabkan untuk kepentingan yang saya sebut di atas. Bukan untuk dimanfaatkan sewenang-wenang oleh penguasa. Kita tahu itu praktik yang tidak benar.
Setelah sepakat dengan sistem yang selayaknya dipegang oleh organisasi pemerintahan, terutama tingkat universitas dan fakultas (walaupun BEM Prodi pun jika dikuasai lingkaran dalam satu golongan, akan sama praktiknya seperti di fakultas dan universitas), maka menjadi penting untuk mempercayai dalil berikut. Pers merupakan pilar keempat dalam demokrasi. Maka di sini digunakan logika struktur. Untuk itu, terlepas dari dekat atau jauh secara jarak antara tempat satu lembaga ke lembaga lainnya, keduanya tidak memengaruhi fungsi dan basis moral yang dipegangnya. Organisasi pemerintahan harus mendistribusikan dan mengakomodir semua kepentingan. Namun, karena sifat pemerintahan di dalam sistem modern mempunyai kekuasaan yang sangat tinggi. Maka, penyeimbanya adalah organisasi pers, dengan menyuarakan pendapat dari orang-orang yang secara nyata di lapangan, tidak terakomodir– agar mereka yang mengalami keresahan yang sama dapat menyatukan diri. Hingga nanti organisasi pemerintahan dengan basis moralnya, menyelesaikan masalah itu. Itu bisa terjadi jika sistem yang ada menutup semua celah kecurangan dengan diubahnya sistem tersebut.
Opini lainya, tentang praktik kotor Pemira, yang ketua BEM nya sudah ditentukan melalui rapat syuro wajiha siyasi, adalah contoh kasus dari sistem yang ada sangat rentan dengan penyelewengan (bisa saja kita namai menggunakan tagar #reformasidikorupsidi-unj barangkali). Dalam tulisan itu, tertera bahwa ditentukannya ketua BEM sebelum Pemira itu untuk kepentingan golongan, dengan nama golongannya yang dirahasiakan. Setelah beberapa hari tulisan terbit, beberapa mahasiswa berkumpul. Termasuk si penulis opini. Membicarakan siapa sih yang di maksud? Clue-nya golongan mahasiswa masjid, yang menguasai masjid-masjid UNJ, dan sejawatnya. Lalu, belakangan beredar rekamannya dari handphone ke handphone. Begitu sudah makin jelas terbongkar praktiknya.
Sebetulnya, perlu diketahui, bahwa praktik penguasaan organisasi pemerintahan, oleh golongan itu sudah terjadi bertahun-tahun silam. Sebetulnya sudah menjadi rahasia umum. Atau diketahui oleh beberapa orang. Namun, tidak ada bukti kuat. Atau malas saja sebetulnya. Karena untuk apa cari-cari bukti yang sudah jelas? Selain membuang waktu, sebetulnya tidak ada fungsinya juga. Selama secara paradigmatik fungsi BEM tidak diubah, dari yang cuma pelaksana acara, jadi organisasi yang misinya pendidikan politik dengan praktik yang sehat dan pelayanan terhadap masalah mahasiswa.
Maka, tulisan ini, selain menerjemahkan tulisan sebelumnya, juga memberikan argumentasi kenapa akhirnya diangkat kejanggalan Pemira yang biasanya dipandang dengan ekspresi bodo amat. Apalagi saat ini, kejanggalanya sudah didokumentasikan dengan cukup meyakinkan.
Untuk itu, selain perubahan sistem di Pemira, atau sistem politik pemerintahan yang digunakan BEM saat ini secara keseluruhan. Dari yang tadinya harus pelatihan kepemimpinan kosong sebagai syarat pengawasan dan lainnya (yang barangkali menggunakan sistem partai atau semacamnya). Maka, perubahan paradigma nantinya untuk basis utama gerak BEM kedepenya (seperti UUD) perlu juga diubah. Garis bawahi, bukan program kerja, tapi pelayanan terhadap mahasiswa. Semua praktik lama yang kontra produktif harus diubah dengan agenda yang lebih mendidik. Kurang lebih begitu. Hingga akhirnya budaya akademik yang sehat terjadi di UNJ. Sampai budaya tulisan dibalas bacotan hilang, menjadi tulisan berbalas tulisan alangkah indah bukan? Atau jawaban atas kritik tidak lagi dijawab dengan emosi dan pembandingan tidak seimbang seperti “emang lu ngelakuin apa?” Atau “lu ga tau capeknya gimana jangan cuma bisa kritik.” Lebih pada jawaban dengan argumentasi yang rasional.
Memang itu bukan sepenuhnya tanggung jawab BEM. Untuk itu, kami sebetulnya tidak ingin konflik apa pun asalkan BEM dan sejenisnya punya pandangan terbuka. Dan argumentasi yang berterima. Karena sejatinya struktur kampus, selanjutnya struktur negara lah yang paling bertanggung jawab. Namun gerakan boikot ini perlu juga minimal mengurangi lembaga kontrev untuk membawa narasi itu ke lembaga-lembaga yang ada, supaya terciptanya iklim demokrasi yang sehat di UNJ.
Penulis: Muhamad Muhtar
Editor: Uly Mega S.