Dipakainya sendal jepit berwarna hitam dengan hiasan bunga di tengahnya. Perempuan itu terlihat percaya diri memakai sendal tersebut di tengah lorong Gedung DE Universitas Negeri Jakarta (UNJ). “Aku lebih nyaman pakai sendal,” ucap Ludia Amaye Maryen kepada Didaktika.

Dia adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang. Dua bulan yang lalu, tepatnya pada Februari 2018, dia mendapat gelar sebagai Miss Persahabatan 2018 dari Yayasan Miss Indonesia. Kategori tersebut diberikan kepadanya dengan melihat kesehariannya selama karantina. “Jadi tuh penilaiannya itu dari keseluruhan. Dari juri, panitia, semuanya deh. bukan cuma polling SMS,” ucapnya.

Ia bercerita, ia gemar menyapa dan berteman dengan siapa pun. “Mungkin hobi aku itu mendapatkan banyak teman,” ungkap dia dengan ceria. Ia juga mengaku bisa sampai memeluk semua finalis jika berpapasan atau sedang dalam satu ruangan bersama. Panitia Miss Indonesia pun juga mengakui keceriaan dan keramahannya itu. Ludia mendapatkan pujian dan kritik sekaligus dari panitia selama karantina.

Kata ‘MISS’ dalam Miss Indonesia juga akronim dari Manner, Impressive, Social, dan Smart. Jadi, setiap finalis dituntut harus memilki keempat aspek tersebut. Ludia mendapatkan pujian dari panitia Miss Imdonesia kalau dia mempunyai aspek impressive, social dan smart. Namun, ia juga dikritik karena masih kurang dalam aspek manner. Manner yang identik dengan Miss Indonesia salah satunya adalah kalem. Sedangkan Ludia sangat ekspresif.

 

Lingkungan Membentuk Kita

Iklan

Sambil duduk menyilangkan kaki, Ludia bercerita bagaimana sifatnya sekarang bisa terbentuk. “Lingkungan itu memang benar-benar berpengaruh,” ucapnya. Ia bercerita bagaimana transformasinya dari kecil sampai sekarang. Dari pemalu sampai menjadi ekspresif dan percaya diri.

Dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), Ludia lalui di Papua. Perempuan kelahiran 1 November 1996 ini bercerita saat masa-masa sekolah di Papua ia selalu merasa inferior dan tidak percaya diri. Meskipun kebanyakan orang Papua memiliki kulit hitam, tak bisa dihindari Ludia beberapa kali mendapatkan bully secara verbal.

Papua saat itu sudah banyak ditinggali oleh orang-orang dari luar Papua, seperti dari Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan sebagainya. Sedangkan orang asli Papua tidak terlalu banyak dijumpai saat ia sekolah di sana. Papua saat dia masih tinggal di sana warganya sudah mulai heterogen. Hal tersebut dianggap  berpengaruh pada tingkat pem-bully-an terhadap fisik.

Standar kecantikan bagi dia dan teman-temannya saat itu adalah putih, berambut lurus, dan berbibir tipis. Sehingga, menurutnya, banyak perempuan di Papua itu merasa minder dengan ciri khas fisik orang Papua, berambut keriting, berbibir tebal, dan berkulit hitam. Sampai-sampai ia pun malu untuk berekspresi. Saat sekolah di Papua, Ludia sering menutup mulutnya karena malu dengan bibir tebalnya.

Ludia berpendapat kalau standar kecantikan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh kurangnya pendidikan sehingga masih banyak yang berpikiran sempit. “Mungkin karena masih belum banyak yang open minded,” ucapnya. Selain itu, dia menjelaskan bahwa tayangan televisi juga sangat berpengaruh terhadap konstruksi standar kecantikan.

Banyak tayangan televisi seperti film dan iklan yang memperlihatkan perempuan berambut lurus, bertubuh kurus, dan berbibir tipis. Hal itu menyebabkan tertanam di pikirannya dan teman-temannya mengenai standar kecantikan itu harus seperti itu. Ia juga mengandaikan jika saja tayangan televisi itu tidak didominasi oleh perempuan-perempuan dari Pulau Jawa dan Sumatera pasti standar kecantikan seperti itu tidak akan tertanam kuat di dalam pikiran masyarakat Indonesia, khususnya warga Papua.

“Coba saja kalau minimal 50% lah di tayangan televisi itu perempuan Papua semua pasti standar kecantikannya akan berbeda,” analoginya sambil diiringi seringai dari mulutnya.

Pada 2013 ia diterima di UNJ dengan beasiswa yang dia terima yaitu Beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) Papua. Akhirnya, ia pindah ke Jakarta. Kepada Didaktika ia bercerita bahwa kepindahan dia ke Jakarta banyak pengalaman yang ia dapatkan.  Pola pikirnya mulai berubah dan terbuka dipengaruhi oleh keberagaman yang ada di ibu kota, oleh teman-teman di sekelilingnya.

Ia sadar bahwa keberagaman juga bisa berpotensi terjadinya konflik. Namun, menurutnya, hal tersebut tidak akan terjadi jika ada rasa toleransi dan menghargai satu sama lain.

Selain itu, ia juga menyadari bahwa standar kecantikan itu tidak harus putih, kurus, dan berbibir tipis. “Kecantikan itu adalah keunikan,” ucapnya. Kesadaran itu pula lah yang akhirnya memotivasi dia ikut kontes-kontes kecantikan seperti Miss Indonesia. Ia ingin menyadarkan kepada seluruh perempuan, khususnya teman-temannya di Papua, bahwa definisi kecantikan yang selama ini mereka yakini itu tidak harus seperti itu.

Iklan

“Mereka harus mulai menyadari bahwa kecantikan itu adalah keunikan itu sendiri. Berkulit hitam, berambut keriting, dan berbibir tebal itu adalah keunikan dan kecantikan itu sendiri,” ungkapnya.

 

Penulis: Yulia Adiningsih

Editor: Lutfia Harizuandini