Budaya Betawi sangat kental pada Gereja Katolik Santo Servatius, Kampung Sawah. Mulai dari corak arsitektur sampai ke dalam tata peribadatan kerap memakai budaya Betawi.

Jacobus Napiun (67) memakai baju koko berwarna putih dengan sebuah peci hitam di kepalanya saat diwawancarai tim Didaktika pada Jumat (07/04). Sudah menjadi kebiasaan bagi warga Kampung Sawah tersebut untuk mengenakan setelan demikian. Begitu pun saat dirinya beribadah di Gereja Katolik Santo Servatius, Kampung Sawah, Bekasi. 

“Saya kadang di jalan dipanggil orang Pak ustaz.”  

Ia menolak bila pakaian yang ia kenakan diidentikkan sebagai pakaian Muslim. Songkok, baginya merupakan sebuah identitas nasional. Sebagaimana yang ia pelajari dalam sejarah, kala Soekarno mengenakan songkok hitam khasnya untuk pertama kali di Rapat Jong Java Surabaya 1921. Di rapat tersebutlah, muncul gagasan songkok sebagai identitas nasional, yang tetap dipakai Soekarno sampai akhir hayatnya.   

Sementara itu, kata Jacob, identitas baju koko pun tidak dapat dilekatkan begitu saja ke pakaian Islam. Sebab, dalam sejarahnya baju koko merupakan pakaian khas orang Tionghoa. Kemudian berasimilasi dengan budaya lokal Betawi.

“Sudah sedari dulu, kami (Betawi) mengenakkan baju koko dan songkok itu.”

Iklan

Merujuk pada buku Sepangkeng Kisah Gereja Katolik Kampung Sawah, orang Kampung Sawah sedari dulu telah memiliki kaitan erat dengan budaya Betawi.  Orang Kampung Sawah merupakan perpaduan pelbagai etnis yang ada di Indonesia sejak abad ke-19. Mulai dari etnis Sunda, Jawa, dan lain sebagainya. Dari perpaduan itu terbentuklah budaya Betawi Ora.

Betawi Ora merupakan dialek yang sering dipakai di Kampung Sawah. Dialek ini dipakai di daerah pinggiran Batavia yang bersentuhan langsung dengan Bahasa Sunda dan Banten. Salah satu ciri khas dialek ini adalah tidak digunakannya kata-kata berbunyi akhir “e”. Seperti umumnya Bahasa Betawi menyebut “kenape”, “kite”, dan “die”, dalam logat Kampung Sawah kata-kata tersebut menjadi “kenapa”, “kita”, “dia”.

“Ya kalau tahu logat Mandra dari film Si Doel itulah dialek kita.”

Setelah masuknya kekristenan, khususnya Katolik di Kampung Sawah. Budaya Betawi tidak luntur begitu saja. Gereja Santo Servatius yang berdiri sejak 1896 malahan memiliki ikatan yang erat dengan budaya Betawi sampai kini. Dalam Konsili Vatikan II, Gereja Katolik Vatikan menyampaikan kepada gereja lokal untuk menyampaikan iman yang sesuai dengan budaya setempat. Artinya gereja menjadi bagian dari budaya setempat. 

“Ketika ada gereja Katolik di Kampung Sawah yang notabene budayanya Betawi, ya kita harus menyesuaikan dengan tradisi-tradisi Betawi.”

Terlihat pada arsitektur Gereja Santo Servatius yang dipengaruhi oleh budaya Betawi. Atap bagian depan gereja tersebut didominasi oleh warna kuning dan hijau khas corak arsitektur budaya Betawi..

Budaya Betawi pun merasuk sampai ke dalam tata peribadatan Gereja Santo Servatius. Pada hari Minggu di bulan pertama, terdapat Misa yang menggunakan dialek Betawi. Misa tersebut diiringi oleh lagu bernuansa Betawi dan umumnya jemaat pun berbusana khas Betawi.

Budaya Betawi pun terlihat ketika Misa Jumat Agung 7 April lalu. Di depan gerbang, nampak beberapa jemaat lelaki memakai baju koko dan peci dilengkapi sarung yang melingkari pundak. Sementara beberapa jemaat wanita memakai kebaya encim. Diantaranya mengenakan setelannya dalam versi serba hitam; memperingati kematian Yesus Kristus. 

Melekatnya budaya Betawi pada Gereja Santo Servatius semakin kentara ketika acara Sedekah Bumi yang diadakan setiap tanggal 13 Mei oleh gereja tersebut. Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan tanggal pesta nama pelindung gereja tersebut, yakni Santo Servatius.

Adanya Sedekah Bumi tak lepas dari nama Kampung Sawah itu sendiri. Dahulu Kampung Sawah masih terdapat banyak persawahan sehingga masyarakat sering mengadakan syukuran atas hasil pertanian yang didapat. Gereja Santo Servatius kemudian mengadakan tradisi lokal tersebut dalam bentuk misa dan juga perayaan.

Iklan

“Di luar rumah ibadah kita mengadakan kebersamaan dengan adanya berbagai kesenian dan makanan khas Betawi, ” ucap Jacob. 

Sementara salah seorang pimpinan gereja Katolik Gereja Santo Servatius, Matheus Nalih menuturkan ketakutannya akan perkembangan zaman yang menggerus budaya Betawi.  Bagi Nalih, penting bagi gereja memakai berbagai budaya Betawi, demi melestarikan kebudayaan Betawi itu sendiri. 

Bahkan, pastor di Gereja Santo Servatius yang kerap silih berganti, diharuskan dapat memahami budaya Betawi. Pastor harus mempelajari soal budaya, kearifan lokal, dan bahasa di Kampung Sawah agar dapat menjadi orang Kampung Sawah. Begitu juga sama dengan warga lainnya yang tinggal di Kampung Sawah. 

“Siapa pun yang masuk ke Kampung Sawah, minum air Kampung Sawah, makan di Kampung Sawah, dan tinggal di Kampung Sawah kudu jadi orang Kampung Sawah,” pungkas Nalih. 

 

Penulis: Andre

Editor: Izam