Judul : Agama dalam Ruang Publik
Penulis : Gusti. A.B Menoh
Penerbit : PT KANISIUS
Tahun terbit : 2018 (cetakan ke-4)
Perdebatan mengenai apakah agama bisa dilibatkan dalam politik masih terjadi. Bahkan, perdebatan itu semakin menjadi-jadi. Keterlibatan agama dalam politik menurut kaum sekular dianggap mengganggu kebebasan politik dalam suatu negara. Kita ambil salah satu kegiatan politik yang sering memicu perdebatan ini di Indonesia, yaitu pada saat pemilihan umum (pemilu).
Keterlibatan masyarakat dalam pemilu merupakan kunci utama bagi negara penganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Pemilu merupakan salah satu bentuk demokrasi ala Indonesia, di mana, setiap warga negara diberikan untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Namun, kebebasan memilih itu diaplikasikan dalam bentuk voting.
Voting dalam pemilu berarti menentukan pemimpin berdasarkan suara terbanyak. konsekuensi logisnya adalah suara minoritas akan diabaikan oleh negara. Maka voting gagal dalam merepresentasikan demokrasi. Voting menjebak Indonesia dalam sistem mayorkrasi bukan demokrasi.
Selain itu, voting juga meningkatkan resiko politik yang tidak sehat, yaitu menimbulkan adanya dikotomi minoritas dan mayoritas. Sulit bagi kaum minoritas untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan, sebab mereka akan selalu kalah oleh suara yang banyak. Padahal mereka juga merupakan warga negara Indonesia yang berhak mendapatkan apa yang mereka butuhkan dari negara.
Demokrasi semacam ini jelas menguntungkan mayoritas. Namun, ada yang lebih diuntungkan, yaitu elit yang memegang kendali atau setidaknya merangkul golongan mayoritas ini. Mayoritas dan minoritas dalam konteks Indonesia erat kaitannya dengan identitas seperti keagamaan, etnis dan antargolongan. Sehingga, mudah saja bagi elit politik untuk mencapai tujuannya yaitu dengan mendekati kaum mayoritas Indonesia.
Sebenarnya, metode seperti ini pernah dilakukan oleh elit politik/rezim orba yaitu Soeharto. Virdika dalam bukunya yang berjudul “Demokrasi dan Toleransi dalam Represi Orde Baru” menjelaskan bahwa menjelang akhir 1980-an, Soeharto cenderung mendekati kalangan Islam.[1] Hal tersebut diakibatkan Soeharto mulai khawatir kehilangan kekuatan dari kaum militer. Sehingga dia mencari kekuatan baru yang juga kuat menjelang pemilu presiden pada 1988. Dia melihat bahwa kekuatan itu bisa ia dapatkan dari kaum mayoritas di Indonesia yaitu, Islam. Mulailah dia mendekati Islam politis dan menimbulkan adanya sektarianisme di Indonesia.
Metode tersebut lalu diikuti oleh elit politik lain dari masa ke masa. Belum lama, beberapa tahun kebelakang, ketika pemilu Pilkada DKI Jakarta, kembali keterlibatan mayoritas menjadi perdebatan publik. Bukan karena golongan mayoritas ini terbukti bersatu dengan elit politik, melainkan lebih karena kemunculan populisme dari golongan mayoritas itu yang membawa identitas agama tertentu. Kemudian populisme itu juga ikut mengampanyekan siapa yang harus dipilih oleh masyarakat berdasarkan syariat agama.
Populisme agama dianggap mengancam demokrasi di Indonesia. Lantas, agama pun kembali dipertanyakan urgensinya dalam keterlibatan politik. Para kaum sekular berpendapat bahwa agama harus ditarik dari ruang publik. Perdebatan ini menggugah Gusti A. B. Menoh untuk membuat suatu analisis mengenai agama dalam ruang publik dalam bukunya yang berjudul “Agama dalam Ruang Publik : Hubungan antara agama dan Negara Postsekular Menurut Jurgen Habermas”.
Mencari Demokrasi di Indonesia
Sebelum masuk pada pembahasan mengenai agama dalam ruang publik, Gusti Menoh memaparkan terlebih dahulu sistem demokrasi apa yang sebenarnya ada di Indonesia. Dia melihat dari dua pendekatan yaitu Demokrasi liberal dan Republikan. Dia mempunyai anggapan bahwa kedua ide demokrasi inilah yang membuat adanya perdebatan mengenai agama dalam ruang publik.
Demokrasi liberal lahir pada abad ke-17 akibat liberalisme yang muncul pada saat itu (hlm. 59). Sills dan Robert K. Merton, sebagaimana dikutip oleh Gusti Menoh dalam buku ini, menjelaskan bahwa liberalisme merupakan keyakinan dan komitmen pada serangkaian metode dan kebijakan yang bertujuan menjamin kebebasan lebih besarbagi manusia individu. Dengan kata lain, negara mempunyai fungsi untuk memastikan setiap individua tau warga negaranya mendapatkan hak kebebasannya.
Selain kebebasan, fungsi negara juga harus menjamin kesetaraan, dan keamanan warga negaranya. Bagi liberalisme, negara merupakan pemerintahan hukum bukan pemerintahan manusia. Pemerintahan hukum bertujuan melindungi hak-hak individu (HAM) dan minoritas, dan karena itu liberalisme menetapkan batasan-batasan pada kekuasaan pemerintahan atau negara (hlm. 61).
Habermas, sebagaimana ditulis oleh Gusti Menoh, mengatakan bahwa liberalisme yang cenderung menekankan individu dan kebebasan (HAM) tanpa disadari telah menggiring manusia menjadi individu-individu yang tidak saling peduli. Jika melihat pada konteks Indonesia, liberalisme banyak memengaruhi kaum sekular. Mereka bersikeras bahwa agama harus ditarik pada ranah privat. Tanpa disadari mereka telah mencederai liberalisme dan demokrasi itu sendiri, yaitu kebebasan individu untuk membawa agama yang diyakininya dalam ranah publik.
Model demokrasi kedua yang dianggap memengaruhi sistem demokrasi di Indonesia menurut Gusti Menoh adalah demokrasi republikan. Demokrasi ini berasal dari republikanisme yang mengacu pada Aristoteles, Hegel, dan Rousseau (hlm. 67). Republikanisme adalah kebalikan dari liberalisme yang warganya dapat mengklaim hak-hak sebagai pribadi (privat). Republikanisme melihat kebebasan individu itu dilihat dari praktik bersama. Sebagaimana yang Gusti Menoh ungkapkan, dengan mengutip Habermas, yaitu warga dapat melakukan apa yang diinginkan dengan menjadi pengarang otonom suatu komunitas politik para individu bebas dan setara (hlm. 71).
Namun, Gusti Menoh juga melihat model demokrasi komunitarianisme ini juga kurang cocok untuk Indonesia. Komunitarianisme bukan hanya menuntut agar agama tidak dibatasi dalam diskusi politis publik, melainkan menghendaki alasan-alasan religius boleh dibawa masuk ke parlemen (hlm. 117). Dengan tuntutan tersebut, komunitarianisme sebenarnya bisa mengancam kondisi sosial di masyarakat indonesia yang majemuk. Dengan kata lain, sebagaimana diungkapkan oleh Habermas, dalam “Between Naturalism”, komunitarianisme dapat melahirkan represi dari mayoritas terhadap minoritas.
Lalu bagaimana demokrasi ideal yang dapat dijalankan di Indonesia? Gusti Menoh menawarkan demokrasi yang dibawa oleh Habermas yaitu demokrasi deliberatif. Singkatnya menurut Habermas, demokrasi deliberatif merupakan suatu teori yang menerima diskursus rasional di antara para warga sebagai sumber legitimasi publik. Demokrasi deliberatif merupakan jalan tengah yang menjunjung tinggi konsensus. Dengan konsesus, pilihan itu tidak memberatkan satu sama lain. Begitu juga dengan keterlibatan agama dalam ruang publik.
Agama dalam Demokrasi Deliberatif : Agama Dalam Ruang Publik
Buku ini menjelaskan bagaimana posisi agama dalam negara yang selalu diperdebatkan oleh kaum sekular dan komunitarianisme agama. Posisi agama menurut Gusti Menoh tak seharusnya dihilangkan dari ruang publik sebagaimana dikatakan oleh kaum sekular. Juga, tidak dipaksakan harus memengaruhi keputusan hukum suatu negara sebaimana yang dipegang oleh kaum komunitarianisme.
“Di dalam ruang publik itu tidak ada satu tradisi atau budaya (agama) apa pun yang dapat mengklaim komitmen etisnya sebagai norma bagi semua pihak” (hlm 87 sebagaimana ia kutip dari buku ‘Habermas and theology’ karya Nicholas Adams).
Habermas tidak setuju dengan anggapan kaum sekular bahwa agama itu harus berada di ranah privat saja. Dia juga berhenti mengamini hipotesis sekularisme jika seiring berjalannya waktu, agama akan lenyap dari kehidupan masyarakat. Habermas melihat bahwa agama itu bagian dari “good life”. Pada salah satu esainya yang berjudul “Postmethaphyscal Thinking” (1989), Habermas berpendapat bahwa agama dalam masyarakat itu merupakan kebutuhan eksistensial yang tidak dapat dipisahkan dari individu. Selain itu, agama juga dapat menyatukan umatnya dari berbagai latar belakang etnis.
Maka dari itu, agama menurut habermas tidak bisa ditarik dari ruang publik. Dalam demokrasi deliberatif yang diusungnya itu, sekular dan komunitarian tidak bisa mengedepankan egonya sendiri-sendiri. Ia juga menekankan bahwa masyarakat sekarang itu berada pada masa postsekularisme di mana semua harus saling belajar. Perbedaan pendapat dari keduanya harus dipertemukan dalam sebuah diskursus.
Warga sekular dituntut menghargai tradisi komunitas religius, sedangkan warga religius dituntut untuk mengembangkan suatu sikap epistemik tanpa mengorbankan kebenaran eksklusif keyakinan imannya (hlm. 110). Habermas menyarankan agar kaum religius juga dapat menyampaikan aspirasi yang berasal dari agamanya dapat dimengerti oleh semua pihak sehingga bisa menjadi ‘public use reason’, dan kaum sekular pun dapat memdebatkan maksud dari kaum religus itu sendiri sehingga terjadi konsesnsus.
Begitulah kira-kira apa yang hendak disampaikan oleh buku ini melalui kaca mata Habermas. Penjabaran mengenai apa itu ruang publik dan demokrasi deliberatif dalam buku ini memudahkan pembaca awam untuk memahami apa yang sebenarnya penulis ingin sampaikan. Buku ini bisa jadi pegangan untuk mengurangi ketegangan sosial masyarakat yang selalu mengambinghitamkan agama.
[1] Virdika Rizki Utama, 2018. Demokrasi dan Toleransi dalam Represi Orde Baru, Yogyakarta: PT KANISIUS. hlm. 21
Penulis: Yulia Adiningsih
Editor: Lutfia Harizuandini