Setelah cetakan pertama diterbitkan pada Desember 2019, acara launching dan bedah buku “Aswaja & Marhaenisme: Titik Temu Politik Kebangsaan Islam Nusantara” karya Yana Priyatna pun dilaksanakan pada Rabu, 29 Januari 2020. Acara ini diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Jakarta dan Komisariat PMII UNJ, bertempat di Gedung Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta Lt. 3.

Launching dan bedah buku Aswaja & Marhaenisme dimulai pada pukul 10:30. Kurniawati selaku Kepala Program Studi (Prodi) Pascasarjana Pendidikan Sejarah UNJ memberikan kata-kata sambutan dengan ramah. “Kita sudah tahu ahlus sunnah wa jama’ah (aswaja), kemudian marhaenisme. Kita sering mendengar di bangku perkuliahan. Tapi ketika aswaja dan marhaenisme digabung, dikatakan titik temu. Kita ingin tahu, titik temunya di mana,” ujarnya.

Selanjutnya, jalannya acara dimoderatori oleh Adhie Sastro Negoro dari Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Terdapat empat pembicara dalam acara ini, yaitu Yana Priyatna selaku sang penulis buku, Ahmad Suaedy selaku Komisioner OMBUDSMAN RI, Humaidi selaku Koordinator Prodi S1 Pendidikan Sejarah UNJ, dan Frans Aba selaku Dewan Pakar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Yana menceritakan bagaimana ia bisa mengenal Aswaja dan Marhaenisme. Dari awal, ia sudah dekat dengan orang-orang Marhaenis dan lingkungan Nahdlatul Ulama. 

“Saya hidup pada dekade 1990-an dalam lingkungan orang-orang yang aktif di Marhaenisme. Kebetulan saya sempat menjadi pengurus di Yayasan Pendidikan Soekarno. Saya juga hidup di lingkungan yang pergaulannya dekat dengan tokoh-tokoh NU. Kebetulan ibu saya aktif di Nahdlatul Ulama,” kata sang penulis buku. Yana juga menceritakan bahwa ia belajar tentang aswaja dari orang-orang PMII dan karena kedekatannya dengan orang-orang GMNI ia juga bisa belajar tentang marhaenisme.

Di depan para hadirin, Yana Priyatna menyampaikan bahwa penulisan buku ini sendiri berasal dari sebuah penelitian untuk tesis sebagai tugas akhirnya dalam menyelesaikan studi Pascasarjana (S2) Program Studi Islam Nusantara di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta. Tujuan tesis disertasi yang diajukan olehnya adalah menjawab situasi di Indonesia yang mana menjadi ancaman bagi kebangsaan. 

Iklan

“Kalau melihat dari latar belakang, isi, dan kesimpulan, saya sebetulnya ingin menjawab situasi yang berkembang di Indonesia, di mana kelompok-kelompok dianggap sebagai ancaman ke-Indonesia-an. Tetapi karena kajian ini adalah kajian sejarah, ya harus punya latar belakang sejarah,” ujar Yana. Ia bercerita bahwa selama penulisan, dosen pembimbingnya memberikan masukan dan kritikan yang membuatnya merangkai sejarah dalam bingkai Islam Nusantara.

Ahmad Suhaedy mengapresiasi buku “Aswaja & Marhaenisme: Titik Temu Politik Kebangsaan Islam Nusantara” sebagai sumbangan besar dalam kepenulisan sejarah Indonesia, yang selama ini hanya melanjutkan perspektif gaya kolonial dan modernisme, bukan ditulis secara obyektif dan kontinu. Menurut Komisioner OMBUDSMAN RI itu, pendirian Indonesia didirikan oleh komunitas tanpa partai dan tentara, yang mana Indonesia memiliki berbagai genuine civil society (komunitas asli).

“NU, Muhammadiyah, dan bahkan PNI, itu aslinya adalah genuine society. NU adalah pertama kali disebut sebagai asosiasi pesantren, Muhammadiyah adalah asosiasi ahli usaha umat Islam, Marhaen adalah terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat adat. Kalau kita teliti sejarah, hampir tidak ada yang mengakomodasi mereka,” jelasnya.

Pembicara lain, Humaidi menyampaikan bahwa politik kebangsaan Islam memiliki kaitan dengan Marhaenisme. “Kalau nasionalisme adalah paham impor dan Islam adalah paham impor, maka Islam yang kemudian menjadi NU, menjadi ahlus sunnah wa jama’ah an-nahdliyah dan sudah mengalami proses penyerapan dengan tradisi-tradisi lokal. Sedangkan nasionalisme, paham kebangsaan yang berasal dari Barat itu juga disesuaikan dengan masyarakat Indonesia,” ujarnya. Menurutnya, ide-ide yang internasionalis seperti konsep khilafah bertolak belakang dengan ide kebangsaan Indonesia, sehingga “tidak laku” di Indonesia.

Dewan Pakar GMNI Frans Aba juga mengapresiasi buku karya Yana Priyatna ini. Menurutnya, buku ini menuturkan bahwa Aswaja dan Marhaenisme memiliki kaitan erat. “Dalam konteks buku ini saya melihat bahwa kalau kita membuat sebuah kajian replikasi teori, apakah dia membantah, apakah dia mendukung teori itu. Buku ini mendukung konsep-konsep secara historis, tapi juga melakukan suatu bantahan dalam perdebatan dengan tokoh-tokoh yang sifatnya menyatu,” ucapnya.

Menjawab pertanyaan salah satu hadirin mengenai tindaklanjut dari buku Aswaja & Marhaenisme, Frans Aba berpendapat bahwa buku ini dapat memberikan refleksi dalam berbagai perspektif menganalisis Islam Nusantara. “Kita harus berefleksi dalam buku ini, memberikan cerminan historis sejarah itu adalah sangat penting. Buku ini telah menjawab berbagai refleksi dalam menganalisis Islam (di Nusantara), baik dari segi ekonomi, hukum, dan sebagainya. Bentuk perilaku dan paham politik yang ada sekarang,” kata Aba. Pembicara lain, Suhaedy menambahkan, “Itulah gunanya sejarah, kita tidak hanya melihat fenomena di permukaan, tapi kita jauh ke dalam.”

Buku ini mempersatukan titik temu ide-ide dalam paham Aswaja dan ideologi Marhaenisme, yaitu ide kebangsaan, toleransi, dan semangat mewujudkan kesejahteraan rakyat. Humaidi mengatakan bahwa tindak lanjut dari buku ini adalah menumbuhkan kepada pembaca bahwa ide kebangsaan memiliki titik temu antara aswaja dan marhaenisme.

Penulis/Reporter: Danu Dewa Brata

Editor: Muhammad Rizky S.