Penggunaan gas alam atau Liquid Natural Gas (LNG) sebagai salah satu sumber energi yang digaungkan pemerintah marak diperbincangkan. Gas alam diklaim sebagai sumber energi yang lebih ramah lingkungan karena emisi karbonnya lebih rendah daripada batu bara dan minyak bumi. Kampanye ini ramai dibahas dalam rangka transisi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) untuk menghadapi krisis iklim yang ada di Indonesia. Padahal berbagai laporan penelitian menunjukkan bahwa energi gas tidak sebersih dari yang selama ini digaungkan.
Seperti yang terjadi di Cilamaya Wetan, Karawang, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) banyak menuai konflik dengan warga lokal. Mata pencaharian mereka sebagai nelayan terancam karena banyaknya limbah berbahaya yang dibuang langsung ke laut. Ketika beroperasi, PLTGU memuntahkan 3.800 ton/jam limbah ke laut. Hal itu menyebabkan tangkapan nelayan lokal jauh berkurang karena limbah tersebut.
Dalam diskusi publik bertajuk “Ekspansi Industri Gas di Indonesia dan Solusi Palsu Krisis Iklim”, yang diadakan oleh Don’t Gas Indonesia (DGI) di KT&G SangSang Univ. Indonesia Zone UNJ, pada Kamis (14/12), berusaha mengupas total isu ini. Diskusi dihadiri oleh beberapa tokoh dan akademisi.
Hulu gas alam berawal dari Teluk Bintuni sebagai industri dan pertambangan, gas tersebut didistribusikan oleh kapal tanker menuju PLTGU di Jawa dan Sumatra, salah satunya yang berada di Cilamaya. Di Bintuni sendiri pun banyak juga mengalami konflik antara masyarakat adat dan perusahaan. Banyak lahan masyarakat adat yang diambil dan tambang justru menyebabkan kerusakan lingkungan di Teluk Bintuni.
“Kebijakan pemerintah membuat masyarakat adat berkelahi dengan politik lokal. Hukum yang dipakai industri pada akhirnya menekan masyarakat. Dan masyarakat adat bertarung dengan perusahaan,” ujar Johanes Akwam, anggota dari Komunitas Masyarakat Bintuni.
Lebih lanjut, Johanes juga mengkritik respon dari pemerintah yang cenderung menyalahkan masyarakat. Menurutnya, pemerintah sekarang banyak mendesain stigma negatif masyarakat Bintuni yang menentang pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut. Ketika masyarakat ada yang menolak atau protes, pada akhirnya mereka selalu dihubungkan dengan gerakan Separatisme yang masih marak di papua.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh anggota Masyarakat Karawang Bersatu, Erik Ramdani menjelaskan, nelayan di sekitar PLTGU mengeluhkan berkurangnya tangkapan ikan. Hal itu dikarenakan limbah proyek dan limbah uji coba PLTGU merusak pesisir laut Cilamaya.
“Pada bulan Desember seperti ini biasanya nelayan mengalami tangkapan yang berlebih. Tapi pada tahun ini hal itu tidak terjadi, malah cenderung berkurang,” ujar Erik.
Dalam closing statement, para narasumber berharap mahasiswa dan para akademisi bisa membantu dan mengawal masyarakat berhadapan dengan hukum yang semena-mena.
Baca juga: Gejayan Kembali Memanggil: Rakyat Bergerak dan Menuntut negara
Penulis/Reporter : Zidnan
Editor : Ragil