Melihat perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih, LPM Media Publica mengadakan seminar bertajuk industri komunikasi 4.0.
Dalam rangkaian kegiatan Creative Communication Festival (Crecof) 2019, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Media Publica Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) mengadakan seminar dengan tema “Intip Industri Komunikasi di Era 4.0.” Seminar yang diadakan pada Selasa (15/10) ini, bertempat di Laboratorium Hubungan Masyarakat (Humas) Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Jakarta Pusat.
Seminar ini merupakan acara pembuka dari rangkaian acara Crecof 2019 yang diadakan selama dua hari, yakni 15 sampai 16 Oktober 2019. Seminar ini pun turut menghadirkan tiga pembicara. Mereka adalah Rieka Handayani, Arzia Tivany, dan Charlie Aziz.
Rieka Handayani, Kepala Humas dan Konten Produk Mekari.com menjadi pembicara pertama dalam seminar ini. Ia pun menyampaikan pentingnya jurnalis memahami teknologi informasi yang semakin canggih di era 4.0 ini. Terlebih lagi, perusahaan-perusahaan e-commerce semakin menjamur.
“Jika kita tidak mengerti ini tools apa, fungsinya apa, gagap teknologi, kita tidak akan diminati oleh perusahaan-perusahaan e-commerce itu,” ujar Rieka.
Selanjutnya, keberanian dalam berinovasi di bidang teknologi menjadi penekanannya. Baginya, hal ini merupakan kunci jika ingin berhasil dan sukses di era 4.0 ini. Ia juga mengatakan, kita harus menganalisis terlebih dahulu tentang hal yang sedang diminati oleh publik, sebelum membuat konten. Selanjutnya, kita harus mengevaluasi konten tersebut setelah diterbitkan. Jika mendapat respon positif oleh publik, harus terus dikembangkan. Namun, jika respon publik tidak sesuai yang diharapkan, kita harus berani berinovasi dan mencoba sesuatu yang baru.
Sementara itu, Arzia Tivany, Jurnalis dan Praktisi Media, mendefinisikan revolusi industri 4.0. Menurutnya, revolusi industri 4.0 merupakan segala hal yang tersaji oleh internet. Era 4.0, tambahnya, memudahkan kehidupan manusia sehari-hari dengan adanya artificial intelegent. Hal ini juga memudahkan jurnalis untuk mendapatkan data melalui internet.
Namun, revolusi industri 4.0 juga memberikan kesulitan tersendiri bagi jurnalis. Arzia mengatakan, dengan adanya revolusi industri 4.0, membuat generasi sekarang, yakni generasi Y sampai Alpha, menjadi malas untuk membaca sesuatu. Sesuai data yang ia peroleh, generasi sekarang malas untuk membaca tulisan lebih dari delapan menit. Artinya, lanjut Arzia, jurnalis harus mampu membuat konten yang sesuai dengan apa yang diinginkan pembaca secara singkat.
“Semasa kuliah, kita diajarkan untuk bisa menulis sebaik mungkin, sepanjang mungkin. Tapi, kita tidak disiapkan untuk menjadi jurnalis di era 4.0 ini,” pungkasnya.
Selanjutnya, Arzia menganalisis bahwa masyarakat sekarang memiliki jiwa kepedulian sosial yang tinggi. Hal ini ia telisik melalui media sosial, dimana netizen selalu membagikan berita tentang hal-hal yang menyangkut kemanusiaan, seperti dampak perang dan kerusakan lingkungan akibat pabrik. Memberitakan tentang hal-hal yang menyangkut kemanusiaan, lanjutnya, merupakan hal yang patut dicoba oleh jurnalis di zaman sekarang.
“Media sekarang, seperti Vice dan HBO, lebih menekankan pada fenomena sosial yang terjadi hari ini. Ini yang sedang naik dan berkembang,” tuturnya.
Hal senada diungkapkan oleh Charlie Aziz, CEO dan Pendiri Circa Ideaworks . Ia mengatakan bahwa revolusi industri 4.0 telah mengembangkan teknologi digital hingga secanggih hari ini. Ia mengambil contoh sebuah software penyedia desain dapat memberikan 9.000 alternatif desain kepada penggunanya hanya dengan sekali click saja.
Meskipun teknologi digital sudah sangat canggih, ia menegaskan bahwa manusia lebih pintar dari digital itu sendiri. Jika mesin berpikir linear, biner dan statis karena terprogram. Akan tetapi, manusia merupakan makhluk yang berpikir dinamis. “Manusia dapat menciptakan apa saja yang ia inginkan, karena manusia tidak terprogram,” tambahnya.
Di akhir pembicaraannya, Charlie memberikan motivasi kepada hadirin yang hadir. Ia mengatakan, kita harus berani dan tidak takut gagal dalam berinovasi. Sebab, kegagalan dapat menjadi langkah awal dalam keberhasilan.
Penulis: Hastomo D. P.
Editor: Ahmad Qori