Opini atas Opini Faisal Bahri
Saya pikir, tulisan yang dimuat dalam kolom opini Didaktika berjudul Berita Kehilangan, Peluru Tajam, dan Banalitas Kejahatan merupakan produk propaganda politik sayap kiri liberal. Mengapa demikian? Perlu sekiranya saya mengajukan preporsi awal untuk memahami distingsi tegas yang melingkupi perbedaan di antara konteks totalitarianisme ala rezim Hitler dengan sistem pemerintahan Joko Widodo.
Pertama, menyoal kekerasan, penulis opini tersebut tidak mendasarkan argumen yang lebih mutakhir melainkan mengajukan tawaran imperatif moral dengan kecenderungan melakukan generalisasi kamp konsentrasi Auschwitz dengan korban gerakan Reformasi Dikorupsi adalah hal yang sepadan. Kedua, ada kecurigaan saya bahwa penulis menolak dan berupaya menjauhi anasir ekonomi politik sebagai landasan yang lebih kuat pada tulisanya demi menjelaskan alasan kemanusiaan mengenai kekerasan.
Konsekuensinya, penulis tidak menyediakan basis analisis sosial untuk menjawab persoalan-persoalan mendasar dari sebuah ledakan melalui fenomena kemunculan gerakan kedalam tulisanya. Melainkan, hanya sekedar sedikit menyinggungnya dan larut kedalam jebakan arus besar pemikiran humanitarian yang inheren dengan dalih demokrasi partisipatoris melalui instrumen komunikasi Habermasian. Oleh karena itu, tanggapan ini dibuat sebagai bahan untuk merombak pandangan-pandangan nilai humanisme universiil yang sadar atau tidak sadar telah Faisal Bahri adaptasikan kedalam opininya.
Untuk membongkar itu, sepertinya perlu untuk saya kutip terlebih dahulu pendapat seorang filsuf Jerman dan Kritikus musik bernama Adorno ; “Kita tidak memerlukan puisi untuk mengenang para pengungsi Kamp Auschwitz setelahnya. Melainkan, sebuah prosa!” Maksud dari kalimat tersebut, artinya kemampuan puisi untuk menyiratkan emosi terdalam lewat bentuknya yang ekspresif tidak dapat diukur sebagai cara untuk memandang kekerasan secara rigid melainkan hanya menyinggung sebagian sisi pinggiran yang bermain di ranah kekerasan. Baginya, hanya dengan prosa di mana aksara berubah menjadi narasi lengkap dengan menyandingkan ketegangan antara kebenaran faktual dengan kebenaran yang utuh, kejahatan atau banalitas itu dapat kita lihat secara jernih.
Sebagai contoh, seorang buruh pabrik rokok selalu diperiksa ketika meninggalkan pabrik sewaktu jam pulang, saat satpam mencoba menggeledah gerobak dorong dan tas buruh tersebut ternyata isinya kosong. Namun, tiba tiba uang receh terjatuh dari kantong celananya. Apa yang bisa ia ambil atau curi dari sebuah pabrik yang begitu dijaga ketat? Pikirnya. Bagi dia hanyalah gerobak yang tak ada isinya yang bisa ia bawa keluar dari pabrik. Maka, setelah proses pengecekan satpam, ia membawa pulang gerobak pabrik untuk kemudian ia jual.
Dari sini dapat kita lihat bahwa kejahatan selalu bergerak pada dua spektrum kebenaran faktual dan kebenaran yang utuh. Artinya, sistem pabrik yang begitu ketat tak lain menciptakan regulasi untuk mendistribusikan kebenaran faktual bahwa tindakan mencuri adalah perbuatan jahat dan harus diberikan hukuman. Melainkan, kebenaran yang utuh itu bermukim pada alasan mengapa pada akhirnya hanya gerobak kosong yang buruh curi. Hal tersebut menandakan bahwa kebutuhan ekonomi buruh dan sistem sosial pabrik berselisih tegang diantara spektrum peristiwa tersebut. Di titik ini, hanya pada kondisi tertentu buruh mengambil apa yang ia bisa dapat sebagai kebeneran yang utuh baginya atau sebagai kebutuhan pemenuhan ekonominya yang fundamental.
Di sisi lain, Adorno kemudian mengajukan musik untuk membayangkan bagaimana kekerasan di dalam kamp Auschwitz terjadi. Ia mengajukan teori musik klasik Ludwig Van Beethoven pada opera 131–Adagio Ma Non Troppo e Eolto Epressivo. Di mana secara musikalitas frasa dalam lagu tersebut menggambarkan ketegangan diantara 2 kutub yakni string subjektif dan string objektif.
Maka bagi saya, Tak lain opini Faisal Bahri adalah sebuah puisi belaka yang hanya menyediakan seuntai benang merah yang menganggap bahwa represifitas itu, ya Jahat! Dengan demikian, Seakan-akan Bahri bersikeras menganggap aparat jahat sekaligus membiarkan rasionalitas kemanusiaan bergerak menutupi alasan ekonomi politik dari landasan tindakan represifitas aparatur negara dalam gerakan Reformasi Dikorupsi itu dijalankan.
Tentu tak heran bagi saya, bahwa dalam tulisan Bahri tidak muncul pertanyaan seperti, apa yang dapat diuntungkan secara ekonomi politik bagi penyelenggara negara apabila beberapa RUU Kontroversial ini disahkan?
Kekerasan sebagai Simbol Kekuasaan
Seperti yang kita tahu, gerakan Reformasi Dikorupsi berujung terhadap kekerasan aparatur negara melakukan tindakan represif terhadap para demonstran. Tuntutan kolektif gerakan pun menguap seketika di udara sewaktu kita mengetahui bahwa 5 korban telah jatuh dalam gerakan protes tersebut. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Melalui pendapat seorang filsuf Slovenia, Slavoj Žižek membedakan dua motif kekerasan melalui kategori kekerasan simbolik dan kekerasaan sistemik. Baginya, suatu sistem yang didalamnya menyediakan kekerasan fisik tak lain adalah bentuk dari sisi gelap kemanusiaan pada umumnya. Namun, melalui kekerasan simbolik, Žižek melampaui bahwa ada sesuatu yang lebih kejam daripada penindasan dari sisi kemanusiaan secara kasat mata. Melalui bahasa dan bentuknya kekerasan simbolik mengoperasikan politik ketakutan demi menyembunyikan wacana yang bermukim dibalik kekerasan sistemik.
Saya ambil contoh, bagaimana media massa arus utama gencar mendistribusikan berita krisis kemanusiaan bahwa Rezim Jokowi hari ini sangat tidak manusiawi dengan melalaikan nilai-nilai hak asasi manusia tak lain merupakan bentuk instruksi penundukan ideologi oleh Kelas dominan. Di titik ini, pada dasarnya kekerasan sistemik itu tidak mewakili sisi partikular tentang apa yang sebetulnya lebih berbahaya daripada itu.
Melalui kekerasan simbolik, Žižek menawarkan bahasa yang tidak terjamah oleh media massa dengan melihat bahwa ketidakmampuan sistem pemerintahan menentaskan kemiskinan, pertentangan ideologi politik hingga kebudayaan yang ditutupi melalui kekerasan simbolik media massa dapat kita telusuri. Itu artinya, kekerasan sistemik dengan menggunakan cara-cara fisik seperti tindakan represif aparatur negara. Kemudian, didukung oleh kekerasan simbolik tentang bagaimana media menggiring opini publik untuk terjebak kedalam arus utama persoalan krisis kemanusiaan secara par se. Tak lain adalah upaya melanggengkan status quo Jokowi dari problem mendasarnya yakni, kegagalan institusi demokrasi liberal menjawab problem ketimpangan sosial, budaya, serta ekonomi melalui Politik Ketakutan yang menyebabkan massa tidak dapat berbuat lebih alias Buntu!
Jadi, untuk menutup opini saya. Saya akan mengajukan pertanyaan pengganti bagi kaum humanitarian nan egaliterian itu bahwa, bukan sampai berapa kali lagi presiden ganti sampai pelanggar HAM diadili? Dengan pertanyaan, berapa kali lagi presiden ganti sampai problem ketimpangan sosial itu benar-benar terselesaikan?
Hanan Radian Arasy