Judul                          : Pecundang

Penulis                       : Maxim Gorky

Penerjemah               : Hamad Asnawi

Penerbit                     : Narasi

Cetakan                     : 2015

Jml. Halaman           : 404

Iklan

 

“Kehidupan manusia dipersatukan bukan oleh kebebasan, tapi oleh ketakutan”

Solovyov kepada Yevsey, hlm. 202

 

Kutipan di atas merupakan salah satu percakapan dari novel yang ditulis oleh Maxim Gorky berjudul Pecundang (The Life of Useless Man). Novel ini ditulis pada 1907 dan dipublikasikan secara massal pada 1917. Gorky menulis novel ini satu tahun setelah peristiwa yang menggemparkan seluruh Rusia pada saat itu, yaitu Bloody Sunday di St. Petersburg.

Bloody Sunday merupakan peristiwa yang terjadi pada 22 Januari 1905, saat demonstran yang dipimpin oleh Pendeta Georgy Gapon bentrok dengan tentara Rusia yang berjaga di Istana St. Petersburg. Mereka menuntut Tsar Nicholas II untuk memperbaiki Rusia dalam segala aspek, terutama ekonomi. Namun tuntutan mereka dibalas dengan tembakan dan lebih dari 100 demonstran meninggal di depan Istana St. Petersburg.[1]

Peristiwa Bloody Sunday menjadi salah satu dari bagian cerita novel ini dan nantinya berefek kepada para karakternya. Gorky mencoba mengambil sudut pandang pemerintah Tsar dalam novel ini, lewat penggambaran karakter bernama Yevsey Klimkov.

Yevsey adalah anak desa yang tinggal dengan seorang pandai besi bernama Piotr dan sepupunya bernama Yaksha. Sejak kecil Yevsey dirundung ketakutan yang parah, akibat dari perlakuan Yaksha yang sangat kasar kepadanya. Yevsey hampir tiap hari dipukuli demi kepuasan Yaksha dan hal itu merubah pandangannya terhadap orang lain. Ia memandang semua orang sebagai pelaku kejahatan namun berperilaku santun dan lemah lembut. Ini dibuktikan dengan kalimat Yaksha yang seolah menenangkan Yevsey, “Jangan khawatir, itu tidak akan berlangsung selamanya.” (hlm. 4)

Setelah lulus sekolah, Yevsey dikirimkan oleh si pandai besi ke kota supaya ia bisa hidup mandiri. Toko buku tua menjadi tempat bernaung Yevsey selanjutnya. Ia menjadi pekerja dari seorang bujang lapuk bernama Raspopov. Namun, Yevsey tidak lama bekerja untuk Raspopov. Tuannya dibunuh oleh seorang mata-mata Pemerintah Rusia, Rayissa Petrovna karena dianggap terlibat dalam gerakan revolusioner yang ingin menumbangkan Tsar Nicholas II. Rayissa menyamar sebagai penyewa apartemen di tempat Raspopov dan Yevsey tinggal.

Yevsey yang bingung harus tinggal dimana lagi setelah tuannya mati diajak oleh Dorimendont, yang juga mata-mata Pemerintah Rusia dan atasan dari Rayissa menjadi juru tulis di sebuah kantor polisi. Beberapa lama bekerja di kantor tersebut, ia bertemu dengan Ivanovich, mantan prajurit Rusia yang juga bekerja di tempatnya. Ivanovich inilah yang memberi pencerahan kepada Yevsey mengenai situasi Rusia pada saat itu.

Ivanovich menceritakan kepada Yevsey, bersama temannya yang berbadan bungkuk di tempat tinggalnya mengenai Rusia pada saat itu. Tsar membuat rakyat miskin dengan kebijakannya yang sewenang-wenang. (hlm. 144) Lalu, banyak prajurit yang sia-sia mati di medan perang setelah konflik dengan Jepang pada 1905. Para buruh dan tani juga mempersiapkan diri untuk melakukan petisi kepada Tsar di halaman Istana St. Petersburg. Obrolan dengan Ivanovich membuat Yevsey dilema. Yevsey bekerja di pemerintahan, sedangkan dalam hatinya ia ingin melindungi orang-orang yang ditindas oleh rezim Tsar.

Babak baru dimulai setelah Yevsey tidak sengaja membocorkan obrolannya dengan Ivanovich di warung makan. Ucapan Yevsey mengundang mata-mata pemerintah ke meja kantornya, sekaligus menangkap dirinya. Untungnya, Yevsey tidak dibunuh. Ia bekerja dibawah komando Sasha sebagai anggota Departemen Keamanan.

Iklan

Selama berada di departemen tersebut, Yevsey terpaksa harus tega menjadi mata-mata. Apalagi setelah obrolannya dengan Solovyov, pekerja di Departemen Keamanan harus bersumpah setia terhadap Tsar dan tidak memberikan belas kasihan kepada musuh pemerintah meskipun mereka mempunyai hubungan darah dengannya. (hlm. 204) Mata-mata Rusia tidak punya pilihan lain, jika menolak perintah maka moncong senapan siap berada di kepalanya.

Hal itu yang membuat Yevsey semakin takut dan memilih patuh terhadap penguasa. Idealismenya yang dibawa setelah obrolan dengan Ivanovich mengenai berjuang bersama rakyat terpaksa harus ditanggalkan.

Setelah peristiwa Bloody Sunday pada Januari 1905, mata-mata semakin takut untuk menampakkan diri dan revolusioner semakin berani. Mereka terjepit di antara dua posisi, ancaman dari Tsar dan ancaman dari para revolusioner. Hal inilah yang menyebabkan Yevsey memilih untuk bunuh diri, dengan menabrakkan diri ke kereta api. Banyak mata-mata di cerita ini yang dibunuh oleh para revolusioner.

Gorky menyebut para mata-mata sebagai para pecundang, orang-orang yang tega mengorbankan orang lain demi keuntungan dirinya sendiri. Dalam cerita ini, Yevsey melaporkan aktivitas Yaksha dan kawan-kawannya di percetakan buku kiri untuk mendapatkan sejumlah uang dari atasannya. Kemudian, Yaksha dan kawan-kawannya masuk ke dalam penjara. Yevsey mengambil keuntungan atas penderitaan orang-orang revolusioner tersebut.

Di Indonesia, pecundang mengarah kepada algojo yang ditugaskan memburu orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) Setelah peristiwa G30S pada 1965, rezim berusaha menciptakan ketentraman dengan cara menebar ketakutan. PKI dilarang beredar di muka publik, dan orang-orangnya layak untuk ditumpahkan darahnya. Para algojo ini (mungkin) dalam hatinya tidak ingin menjalankan perintah ini. Demi dianggap berjasa bagi bangsa, mereka tega kepada saudara sebangsanya. Film Jagal yang dibuat oleh jurnalis Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer bisa mereferensikan betapa ‘terpaksa’-nya para algojo ini dalam menjalankan tugasnya.

Pecundang saat ini juga layak disematkan kepada kaum intelektual ‘kardus’. Intelektual seperti ini retorikanya lihai dalam membicarakan kesejahteraan rakyat semasa kuliah, namun pada praktiknya ketika sudah menjadi pejabat malah membuat rakyat tidak sejahtera dengan perilakunya. Maksudnya, korupsi yang menjamur di negeri ini lebih banyak dilakukan oleh intelektual ‘kardus’ ini. Intelektual seperti ini sibuk memuaskan diri sendiri dan cenderung menjilat para pemilik modal yang bercokol di belakang pemerintahan.

Sejatinya, intelektual sejati adalah intelektual yang melebur dan berjuang bersama rakyat. Segala pemikirannya dicurahkan untuk kepentingan rakyat. Bukan dicurahkan dalam tataran retoris saja. Dalam Asta Brata atau delapan kewajiban negarawan dijelaskan bahwa seorang intelektual yang memasuki pemerintahan seharusnya memiliki sifat Batara Bayu: memikirkan kepentingan orang banyak dibandingkan memperkaya diri sendiri ketika sudah mengemban amanah sebagai pelayan rakyat.[2]

Hal yang sama juga terdapat pada orang-orang yang mengambil jalur instan dalam seleksi masuk sekolah/perguruan tinggi/lembaga negara. Mereka rela merogoh kocek yang sangat dalam, tanpa usaha yang keras lewat jalur seleksi, dengan bermain di ‘jalur belakang’. Banyak korban yang terkena perilaku orang-orang curang ini. Para pekerja keras yang berusaha keras demi masuk sekolah/perguruan tinggi/lembaga negara harus tersingkir akibat permainan kotor ini. Menyogok merupakan perbuatan para pecundang.

Gorky sukses mengemas novel ini dengan alur cerita yang runut. Namun, novel ini bukan tanpa cela. Terjemahan yang dilakukan oleh pihak penerbit kurang rapi sehingga mengurangi keasyikan dalam membaca novel ini. Gorky memberi pesan bahwa pecundang merupakan sifat alamiah yang terdapat pada manusia, ketika mereka dirundung perasaan takut akan kegagalan dan ketiadaan.//M. Rizky Suryana

 

Catatan Kaki:

[1] The Editors of Encyclopaedia Britannica, “Bloody Sunday (Krovavoye Voskresenye)” (www.britannica.com/event/Bloody-Sunday-Russia-1905, diakses 20 November 2018)

[2] Moertono, Soemarsaid, Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX, hlm. 215.

 

Editor: Uly Mega S.