Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang menjadi salah satu agen sosialisasi untuk meregenerasi anak-anak Indonesia menjadi anak yang cerdas dan berbudaya Indonesia, bukan lembaga penyeragaman anak.

Empat puluh hari mengenang wafatnya Winarno Surakhmad, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan LPM Didaktika mengadakan diskusi publik (18/08) dengan mengangkat tema “Ke-Indonesia-an dan Pendidikan”. Diskusi publik ini diaksanakan di sekretariat ICW,Jakarta. Acara ini dihadiri oleh Soedijarto (Guru Besar UNJ), Jimmy Paat (Dosen UNJ) dan Latifah (Sekretaris redaksi Didaktika) sebagai pembicara, Bambang Wisudo sebagai moderator, serta beberapa alumni Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Latifah mengawali diskusi dengan membahas salah satu isu terbaru pendidikan Indonesia, yaitu mengenai program Full Day School yang baru saja dicanangkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan, Muhadjir Effendy. Salah satu yang ditawarkan dari program Full Day School adalah menyamakan jam pulang sekolah dengan jam pulang kantor. Muhadjir yang ingin meningkatkan pengawasan terhadap anak didik. Apabila berada di lingkungan sekolah, anak didik dapat terkontrol, baik spiritualitas maupun karakternya.

Menurut Latifah, program Full Day School ini tidak akan menjawab permasalahan-pemasalahan sosial. “Dengan menambah jam sekolah mungkin pengawasan terhadap anak cukup baik. Namun, anak-anak menjadi jauh dari masyarakat karena ruang berinteraksinya dihabiskan di sekolah,” ungkap Latifah.

Mengenai full day school, Soedijarto berpendapat bahwa program tersebut tidak ada masalah jika diterapkan pada pendidikan Indonesia dengan catatan program tersebut didukung oleh fasilitas, sistem, dan indikator pendidikan yang bagus seperti di Negara-negara maju yang lebih dulu sudah menarapkan full day school. Fasilitas yang ia maksud adalah yang mendukung anak untuk berkembang dan menyalurkan hobi seperti lapangan olahraga yang luas, ruang untuk berlatih menari, dan lain-lain. Menurut Soedijarto, sekolah merupakan lembaga pembudayaan. Sekolah membuat orang Indonesia menjadi orang Indonesia yang berbudaya. “Soekarno tidak akan menjadi Soekarno dan Hatta tidak akan menjadi Hatta tanpa mereka sekolah,” tuturnya.

Jimmy Paat mengaku setuju dengan pendapat Soedijarto bahwa sekolah harus menjadi tempat pembudayaan. Namun, mewujudkan pendidikan sebagai lembaga kebudayaan dirasa sulit menurutnya. Jimmy berpendapat bahwa gaya pendidikan di setiap Negara berbeda-beda. Indonesia tidak mempunyai gaya pendidikan yang tetap, banyak tenaga pengajar yang belum profesional, terlebih dengan sistem pendidikan indonesia yang selalu berubah-ubah. Menurut Dosen pendidikan Sastra Prancis ini, yang kurang perhatikan oleh sekolah-sekolah dan para pembuat kebijakan adalah Filosofis Pendidikan. “Filosofis pendidikan itu penting, dengan filsafat, dengan adanya dialog guru dan murid, kita akan tahu esensi dari pendidikan itu apa dan gaya pendidikan yang cocok itu seperti apa bukan hanya sekadar mempermasalahkan anggaran dan lain-lain,” ucap Jimmy Paat.

Iklan

Pendidikan Indonesia berkembang beriringan dengan sejarah Indonesia yang penuh pertentangan dari masa ke masa. Menurut Winarno Surakhmad dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Nasional: Stategi dan Tragedi” mengatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih terpusat sehingga sistem yang berlaku mengikuti aturan yang dibuat oleh setiap pemerintah yang menjabat pada saat itu. Sekolah tak lain adalah sebuah lembaga penyeragaman. Penyeragaman merupakan ancaman bagi pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan yang diberlakukan pada masa orde lama diganti dengan sistem pendidikan pada masa orde baru, begitu pula pada masa reformasi tanpa mempertimbangkan beberapa aspek lain yang penting bahwa kondisi geografis dan psikologis berbeda di setiap daerah.

Yulia Adiningsih