“Industrialisasi digital menjadi tantangan bagi wartawan di era modern ini.”
Sabtu (29/10) Federasi Serikat Pekerja Pers (FSPM) mengadakan kongres ketiga. Kongres tersebut mengangkat tema “Perubahan Lanskap Industri Media dan Tantangan Serikat Pekerja”. Kongres tersebut diadakan di Hotel Grand Cemara, Menteng, Jakarta Pusat. Kongres ini menghadirkan Haiyainai Rumondang (Direktur Jendral Pembinaan Hubungan Industrial), Hanif Suranto (Dosen Universitas Multimedia Nasional), dan Abdul Manan yang merupakan ketua FSMP. Tujuan dari diadakan kongres ini guna menghadapi industrialisasi digital terhadap ketenagakerjaan.
Kongres yang dihadiri kurang lebih dari tujuh media ini, membahas mengenai perubahan industri media yang mulai berubah ke arah digital. Media cetak mulai mengalami kemunduruan dengan matinya beberapa media cetak besar, seperti Sinar Harapan. Kemunduran tersebut juga hasil dari perubahan budaya, salah satunya adalah teknologi. Setelah teknologi mengambil peran dalam media dan perubahan ke arah digital, kemudian muncul sebuah istilah “Perbudakan Digital”.
Salah satu contoh dari perbudakan digital adalah jam kerja facebook. Total jam kerja facebook menurut data yang dihadirkan oleh Hanif Suranto adalah 98 triliun jam. Dari waktu 98 triliun jam namun yang dibayarkan oleh Facebook hanya kurang lebih 8 juta jam. Artinya, sisanya para pengguna facebook secara sukarela memberikan waktunya untuk facebook. Para pengguna tersebut tanpa disadari telah menjadi budak digital.
Selain munculnya istilah perbudakan digital, perubahan dalam industri media juga berdampak pada ketenagakerjaan dalam sektor media. Hanif Suranto menyebutkan bahwa era media digital memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi. Namun, tidak hanya optimisme dalam menghadapi era digital, dampak seperti pemberhentian wartawan media cetak serta dilema inovasi yang dialami oleh media digital juga menjadi salah satu masalah industrialisasi digital.
Kepopuleran media digital juga menghadirkan konten-konten baru dalam jurnalisme, bahkan bukan hanya manusia saja yang dapat menulis berita. Robot pun sudah dikembangkan, “di Amerika dan Jepang sudah dikembangkan robot yang dapat menulis berita dari bank data yang mereka punya,” ujar Hanif. Dengan adanya fenomena robot ini, dapat mengancam ketenagakerjaan wartawan di kemudian hari. Namun, Hanif kembali menambahkan bahwa para wartawan memiliki perbedaan besar dengan robot dalam analisis. Fenomena tersebut dapat membawa kita pada era digital sejati, di mana media cetak akan mati. “Diprediksi pada tahun 2043 semua media sudah menjadi digital,” ujar Hanif kembali.
Kendati begitu, Abdul Manan mengungkapkan bahwa media cetak masih lebih hidup di daerah. Iklan media cetak di daerah pun terbilang cukup baik. Terlebih lagi dengan pemerintah daerah yang tetap menaruh iklan pada media cetak tersebut. Popularisasi digital yang begitu masif tidak begitu mempengaruhi daerah. Media cetak masih dapat bertahan di daerah, walau begitu kesejahteraan wartawan daerah belum dapat dikatakan sejahtera. Beberapa masalah—seperti kurangnya kesadaran untuk berserikat dan upah wartawan yang kecil serta tidak adanya tunjangan—menjadikan wartawan banyak yang berhenti menjadi wartawan dan mencari pekerjaan lain. Akibat dari hal tersebut media cetak daerah tidak banyak memiliki wartawan profesional.
Mendengar hal tersebut Haiyani Rumondang akan membawa permasalahan tersebut pada fokus diskusi Kementrian Ketenagakerjaan. Selain itu para pekerja tersebut yaitu wartawan harus membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB), “jangan hanya normatif, mari rundingkan PKB,” ungkapnya.
Annisa Fathiha