Judul Buku           : Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX

Penulis                   : Soemarsaid Moertono

Tebal Buku           : 249 halaman

Cetakan Pertama : September 2017

Penerbit                 : Kepustakaan Populer Gramedia

ISBN                      : 978-602-424-678-5

 

Soemarsaid Moertono melalui buku Negara dan Kekuasaan di Jawa ingin mendalami cara raja-raja di Jawa menggunakan konsep magis-religius dalam melanggengkan kekuasaannya. Mengambil latar kehidupan Mataram yang berlangsung dari abad ke-17 sampai abad ke-19, Moer menyusun tesis monumental yang menjadi inspirasi para sejarahwan, seperti Ben Anderson dengan artikelnya tentang budaya Jawa.

Konsep magis-religius yang dibahas dalam buku ini adalah hubungan kawula-gusti (hamba dan tuan). Kata kawula dan gusti menggambarkan jurang yang besar dalam status di masyarakat. Ditambah dengan hal-hal lain yang memperbesar pemisahan ini berdasarkan keturunan atau pangkat, seperti tatacara pemakaian busana, penggunaan bahasa, serta cara penghormatan (hlm. 23). Takdir yang menentukan seseorang ditempatkan di golongan kawula maupun gusti dan berbentuk garis keturunan. Komunikasi antar golongan menjadi rumit karena kawula harus menempatkan dirinya lebih rendah di mata gusti.

Takdir juga menjadi penentu suksesi raja maupun suksesi wilayah kekuasaan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Pamenahan, cucu dari Jaka Tingkir meminum air kelapa yang ditinggalkan Ki Ageng Giring karena haus setelah seharian kerja keras (hlm. 25). Namun, siapa sangka bahwa air kelapa tersebut menjadi prasyarat untuk menurunkan raja-raja Jawa selanjutnya. Selain itu, masih dalam Babad Tanah Jawi, Mataram sudah ditakdirkan akan menguasai Jawa Timur dan hal itu dibuktikan dengan menyerahnya Tumenggung Jayapuspita (adipati Surabaya) setelah mendapat serangan beruntun dari Amangkurat II (raja Mataram) dan Persekutuan Dagang Hindia Belanda (VOC) pada abad ke-17.

Konsep selanjutnya adalah cara raja-raja Jawa dalam melegitimasi kekuasaannya. Legitimasi tersebut didapat dari penggantian atau perebutan kekuasaan maupun pemakaian kultus kemegahan. Dalam penggantian atau perebutan kekuasaan, bila suatu wangsa yang memerintah tidak mempunyai ikatan berupa hubungan darah dengan dinasti sebelumnya, maka orang Jawa mengusahakan berbagai cara untuk membuktikan kesinambungan itu. Wangsa Cirebon dan Banten yang diciptakan oleh seorang Arab bernama Fatahillah (disebut juga dengan nama Sunan Gunung Jati) membuat keganjilan dalam penulisan babad. Sebabnya, wangsa tersebut tidak berkaitan dengan Pajajaran. Maka, dalam Babad Cirebon dibayangkan bahwa wangsa Cirebon diciptakan dari pernikahan antara seorang putri Pajajaran dengan seorang raja Arab.

Wahyu juga menentukan dalam legitimasi kekuasaan raja. Bagi orang Jawa, wahyu bukan hanya sebagai petunjuk, tetapi menjadi karunia bagi raja, pujangga, perwira, atau wali dan bupati. Wahyu digambarkan dengan berbagai bentuk, seringnya berbentuk bola cahaya putih yang menyilaukan (andaru). Disimpulkan bahwa wahyu dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai kekuatan dan kemampuan yang besar. Legitimasi melalui keturunan dan wahyu diperlukan untuk meningkatkan kawibawan raja. Negara yang besar adalah negara yang dawa kuncarane, unggul kawibawane (sampai jauh kemasyhurannya, tinggi kewibawaannya).

Iklan

Kultus Kemegahan juga menjadi kunci dalam raja melanggengkan kekuasaan. Ada delapan sarana yang disebutkan dalam buku ini, yaitu kesempurnaan batin, kemegahan bangunan keagamaan, silsilah, persekutuan dengan makhluk halus, pusaka atau benda-benda yang memiliki kekuatan gaib, rakyat, angkatan bersenjata, dan harta benda. Kultus Kemegahan dimaksudkan untuk mengejar kemuliaan raja. Namun, dalam kosmologi Jawa, cita-cita untuk memperoleh harta duniawi untuk diri sendiri merupakan perbuatan tercela. Kekayaan seharusnya digunakan untuk kepentingan umum.

Legitimasi raja menjadi pembenaran dalam melakukan praktik penindasan terhadap rakyat. Pemerintahan Yogyakarta yang mendapat status “daerah istimewa” tidak luput dalam kasus ini. Mereka memperbolehkan perusahaan dirgantara masuk dan merebut lahan milik rakyat dengan dihidupkannya kembali aturan Rijksblad 1918 yang menyatakan tanah tanpa kepemilikan sepenuhnya milik Sultan dan Pakualaman (SG/PAG) pada 2012. Akhirnya, Pakualaman mengklaim kepemilikan tanah seluas 170 hektar dan mendapat ganti rugi paling besar, 727 milyar rupiah dari PT. Angkasa Pura I.

Mereka juga memengaruhi masyarakat melalui mitos-mitos menyesatkan seperti ‘sabda leluhur’ dan ‘sabda raja’ dengan pembenaran bahwa itu adalah tradisi ‘istimewa’ mereka yang harus diteruskan. Hal ini membuat konsentrasi rakyat Yogyakarta terpecah antara pro dan kontra terhadap pembangunan bandara. Massa dari kelompok kontra mengecam dengan keras tindakan korporasi yang merebut tanah mereka dan melakukan aksi massa. Namun, aksi massa mereka mendapat tindakan represif dan aparatur negara. Hal inilah yang membuat komunikasi antara kawula dan gusti menjadi sangat rumit. Golongan gusti yang memihak korporasi dalam pembangunan menyebabkan kekecewaan yang meningkat kepada pemerintah sehingga aspirasi kepada golongan ini tidak tersampaikan.

Nitisastra (sebuah karya dari kerajaan Majapahit) dalam buku ini menuturkan bahwa seorang raja yang tidak mementingkan (rakyatnya) dan wataknya kejam akan ditinggalkan dan dihindari oleh rakyatnya (hlm. 107). Tinggal menunggu waktu saja luapan kemarahan rakyat atas tindakan sultan akan menghapus “keistimewaan” sekaligus meruntuhkan tata pemerintahan warisan Mataram yang sudah langgeng sejak masa pra-kolonial.

 

 

Penulis : Muhammad Rizky Suryana