Matinya kepakaran menjadi situasi yang harus dihadapi bersama agar demokrasi tetap terjaga.
Media sosial, ruang dimana setiap pendapat dari berbagai individu dipertemukan tanpa sekat menjadi kian riuh. Di sana, siapapun dapat memberikan komentar terhadap suatu isu, meskipun dengan modal pengetahuan yang minim. Tak ada syarat khusus untuk dapat berdebat dengan profesor di bidang ilmu ekonomi mengenai tren meningkatnya angka kemiskinan di ibukota. Atau, seorang mahasiswa membantah cuitan dosen ilmu politik yang mengatakan, kinerja Jokowi selama 5 tahun terakhir sudah sangat memuaskan.
Semua ini kita saksikan sehari-hari. Bagi masyarakat modern, berselancar di media sosial adalah kebutuhan agar tetap terhubung dengan dunia nyata. Kita hanya meninggalkan gawai ketika terlelap tidur. Selebihnya, jari kita tak pernah berhenti menemukan informasi yang menjamur dengan cepat dalam rimba internet. Akibatnya, kebenaran dari suatu informasi tidak lagi menjadi fokus untuk dipertanyakan ulang.
Tanpa memahami bagaimana metode ilmiah dalam mengumpulkan informasi, seseorang dapat dengan mudahnya menyebut kegiatan berselancar di Google adalah bagian dari meriset. Layaknya pedang yang urung ditempa, ia merasa siap berperang dengan orang lain di media sosial. Alih-alih pakar menyajikan data dan menjadi penengah, orang tersebut yakin bahwa dirinya memiliki cukup informasi.
Padahal, pengumpulan informasi tidak semudah menyomot sepenggal kutipan dalam sebuah artikel di Google. Apalagi, ketika kita hanya mencari bukti yang mendukung suatu hal, yang pada dasarnya, sudah kita percayai. Adanya informasi setengah matang dan bukti yang memihak, lantas dikonsumsi sekaligus disebarkan Kembali ke masyarakat luas. Siklus kebodohan yang tak berujung.
Orang-orang yang terjebak dalam bias konfirmasi seperti ini, justru memperkeruh ketegangan antara orang awam dengan pakar, sehingga pakar tidak lagi menjadi rujukan bagi masyarakat. Situasi seperti ini disebut oleh Tom Nichols, seorang ahli di bidang kebijakan publik dan akademisi di bidang hubungan internasional, sebagai tanda matinya kepakaran.
Dalam buku Matinya Kepakaran, Tom Nichols meratapi hilangnya kewibawaan para pakar, dalam situasi zaman serba digital ini. Lulusan Georgetown University di bidang pemerintahan ini juga membedah bagaimana situasi matinya kepakaran dapat terjadi hingga saat ini, hingga akhirnya dapat membahayakan iklim demokrasi, khususnya di Amerika Serikat. Dalam buku ini, dia menyebutkan beberapa tanggung jawab warga dan pakar yang hilang dalam menjaga marwah demokrasi. Tanggung jawab yang hilang tersebut kemudian menjadi alasan Nichols menulis buku ini.
Matinya ide-ide kepakaran diartikan sebagai kehancuran pembagian antara kelompok profesional dan orang awam, murid dengan guru, dan orang yang tahu dengan yang merasa tahu karena Google, Wikipedia, dan blog.
“Sebenarnya, matinya kepakaran lebih sebagai amukan bocah tingkat nasional, penolakan kekanak-kanakan terhadap figur otoritas dalam bentuk apapun, dipadukan dengan desakan bahwa pendapat yang dipertahankan dengan kuat tidak berbeda dengan fakta.” Hlm. 33.
Namun, menurut Nichols, internet dan media sosial bukanlah penyebab tunggal dari matinya kepakaran dan demokrasi. Serangan terhadap pengetahuan yang sudah mapan memiliki sejarah yang panjang, dan internet hanyalah alat terbaru. Misalnya, teori konspirasi mengenai bumi datar yang sudah menyebar sejak internet belum ditemukan.
Pasalnya, kelompok yang disebut pakar pun sudah ada sejak manusia mulai menggeluti keahlian yang dimilikinya sebagai suatu pekerjaan. Menurut Nichols, mereka adalah orang-orang yang menguasai keahlian atau seperangkat pengetahuan tertentu, serta mempraktikkan keahlian atau pengetahuan itu sebagai pekerjaan utama mereka dalam hidup.
Dengan kata lain, pakar adalah orang-orang yang jauh lebih tahu mengenai satu pokok bahasan dibandingkan dengan kita semua. Mereka adalah sosok yang kita cari ketika membutuhkan nasihat, pendidikan, atau solusi dalam bidang pengetahuan tertentu. Meskipun saat ini, peran itu digantikan oleh internet.
Baca Juga: Menjaga Kesehatan, Menjaga Skeptisisme di Tengah Pandemi
Kesalahan-Kesalahan Pakar
Ketidakpercayaan publik kepada pakar bisa disebabkan oleh pakar itu sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa pakar bisa saja memberikan pernyataan yang menyesatkan, atau ketahuan berbohong. Sangat sedikit pakar yang mengakui kesalahannya, seperti fabrication, falsification, plagiarism (FFP), sebelum terungkap oleh publik.
Bagi Nichols, kesalahan pakar dapat menyebabkan terganggunya kemajuan yang berdampak pada masyarakat. Meskipun ada sanksi dan pertanggungjawaban ketika pakar salah, keduanya tidak dapat menyelesaikan masalah, karena kedua hal tersebut dilakukan ketika suatu tragedi sudah terjadi. Akibatnya, pakar kehilangan kepercayaan masyarakat.
Kesalahan pakar lainnya, yang menurut Nichols paling mengkhawatirkan adalah ketika seorang pakar mencoba keahlian di bidang lain. Misalnya ketika selebritas menganggap penilaian pribadinya setara dengan penilaian pakar, menurut Nichols, mereka tidak lebih baik dari ahli mikrobiologi yang menilai seni modern, atau ekonom yang berdebat mengenai ilmu farmasi.
Masalahnya, ketika dimintai pandangannya mengenai hal yang berada di luar bidangnya, sedikit pakar yang cukup rendah hati untuk menolak.
Selain itu, sedikit pula pakar yang cukup rendah hati untuk menolak memberikan prediksi, bukan sekedar penjelasan. Nichols mengatakan, penekanan ke prediksi sebetulnya melanggar peraturan dasar sains, yakni menjelaskan, bukan memprediksi. Namun, masyarakat menuntut lebih banyak prediksi ketimbang penjelasan. Lebih buruk, ketika prediksi pakar salah, masyarakat menganggap pakar tidak berguna.
Bagaimanapun, pakar tidak dapat menjamin hasil. Mereka tidak dapat berjanji untuk tidak gagal. Mereka hanya dapat berjanji menjalankan metode yang mengurangi potensi kesalahan.
Matinya Kepakaran, Matinya Demokrasi
Dalam pandangan Nichols, demokrasi tidak dapat diartikan sebagai keadaan serba setara, termasuk dalam memberikan pendapat. Sementara itu, masyarakat demokratis selalu tergoda oleh hasrat untuk kesetaraan. Demokrasi tak dapat berjalan ketika semua orang menjadi pakar. Semua orang tidak, dan tidak akan bisa, sama berbakat atau sama cerdas. Namun ketika warga tidak dilibatkan dalam menentukan kebijakan, demokrasi akan berubah menjadi teknokrasi, yakni ketika warga tidak memiliki hak politik yang sama dengan para pakar.
“Orang yang paling tidak memiliki informasi di antara kita adalah mereka yang paling meremehkan pakar, dan menuntut hak berbicara paling besar mengenai masalah yang tidak pernah mereka pelajari.” Hlm. 276.
Ketidakpercayaan publik terhadap pakar menyebabkan jurang pemisah antara keduanya. Jika kesenjangan ini terlalu lebar, pakar hanya akan berbicara dengan pakar lain, sehingga masyarakat tidak dilibatkan dalam pembentukan kebijakan yang berdampak pada kehidupan mereka.
Padahal, dalam demokrasi, pelayanan pakar kepada warga negara adalah bagian dari kontrak sosial: warga negara menyerahkan pembuatan keputusan kepada wakil terpilih dan pakarnya, sementara pakar mendapatkan privilese dan berharap usahanya dapat diterima baik oleh publik. Maka, warga negara harus teredukasi dengan baik dan memenuhi isi kepalanya dengan berbagai isu-isu penting terkait politik. Sehingga, warga negara dapat menggunakan hak pilihnya sebaik mungkin untuk menentukan wakil yang dianggap berpihak kepada mereka.
Namun, minimnya literasi publik, baik literasi politik maupun umum, menjadi masalah yang mengakar di masyarakat. Hal ini mendorong pada ketidakpedulian karena tidak memiliki cukup informasi. Kemungkinan besar, para pemangku kebijakan, pejabat, dan penegak hukum, dapat dengan mudah melakukan berbagai praktik penyalahgunaan wewenang yang menindas. Dengan begitu, demokrasi hanya akan menjadi mimpi di siang bolong.
Pada akhirnya, Nichols mengharapkan otoritas kepakaran dapat kembali kepada masyarakat, pakar kembali menjadi rujukan, orang awam sadar bahwa dirinya tidak tahu lebih banyak ketimbang pakar, dan menerima pada apa yang dikatakan olehnya.
Penulis : Hastomo Dwi
Editor : Vamellia B. C.