Jalan panjang seorang guru untuk mendapatkan penghasilan layak dari profesinya, menimbulkan sebuah dilema untuk para calon guru lulusan kampus LPTK di masa depan: memilih jadi guru atau beralih ke pekerjaan lainnya.
“Tanpa sebuah kepalsuan, menjadi guru adalah ibadah”. Kalimat barusan merupakan penggalan dari puisi yang dibacakan oleh Prof. Dr. Winarno Surakhmad —mantan Rektor IKIP Jakarta periode 1975-1980— pada peringatan Hari Guru Nasional di Surakarta tahun 2005. Secara utuh, puisinya mengangkat bagaimana tragisnya nasib seorang guru bertahan hidup dengan gaji ala kadarnya.
Lebih dari 15 tahun berlalu sejak Prof. Winarno membacakan puisinya, nasib guru ternyata belum juga berubah. Ketidakpastian nasib mendapatkan gaji yang layak terus menjadi polemik. Terbaru, RUU Sisdiknas menghilangkan pasal terkait Tunjangan Profesi Guru (TPG). Dulunya, hal ini diperjuangkan mati-matian sebagai salah satu aturan agar para guru mendapat penghasilan layak.
Sudah barang tentu, ketidakpastian nasib ketika menjadi guru pada akhirnya turut membuat gusar para calon sarjana pendidikan. Saat ini, mahasiswa yang menempuh studi di bidang barusan berjumlah 1.371.105 orang. Angka ini merupakan jumlah terbanyak dibandingkan jurusan-jurusan lain di perguruan tinggi.
Belum lagi, mahasiswa jurusan pendidikan yang sejatinya memang dicetak sebagai seorang guru, tetap harus mengikuti sertifikasi lewat program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Jika dilihat dari kuota sebanyak 40.000 orang untuk PPG pra-jabatan yang disediakan Kemendikbudristek di tahun 2022, tentu saja sangat kurang mencukupi bila dibandingkan dengan jumlah lulusan LPTK setiap tahunnya.
Kalaupun memilih untuk langsung mengajar, lulusan jurusan pendidikan harus menunda sertifikasi hingga lima tahun ke depan. Namun, pilihan ini juga belum tentu berjalan mulus, sebab saat ini terjadi antrian membludak untuk mengakses PPG dalam jabatan.
Sertifikasi sendiri menjadi syarat penting untuk memperoleh penghasilan layak sebagai seorang guru. Jika tidak, alternatif lainnya adalah dengan mengikuti seleksi program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Nantinya, bila lolos, guru akan mendapat gaji setara dengan mereka yang sudah berstatus PNS.
Mekanisme PPPK pertama kali digulirkan oleh pemerintah pada tahun 2019. Kala itu, dijanjikan kuota sekitar satu juta guru yang akan diangkat statusnya lewat mekanisme ini. Namun, seiring berjalannya waktu, jalur tersebut juga mengalami masalah. Mengutip dari Harian Kompas edisi 7 November 2022, sebanyak 42.070 guru yang sudah mengajar di daerah, ternyata belum mendapatkan gaji.
Melihat dua hal di atas, bagaimana jalan terjal seorang guru untuk mendapat penghasilan layak. Menerbitkan sebuah pertanyaan terkait keseriusan pemerintah membenahi masalah tersebut. Program-program yang dihadirkan sampai saat ini, terasa makin berbelit dan malahan memupuk masalah baru.
Baca Juga: Masih Adakah Oemar Bakri?
Memupus Mekanisme Berbelit
Syahdan, kondisi dunia keguruan yang tragis turut menjadi bahan renungan calon-calon guru masa depan. Dengan jumlah lebih dari satu juta orang berstatus mengenyam studi pendidikan, Indonesia sebenarnya tidak kekurangan insan-insan yang siap menjadi pendidik di masa depan. Namun, jika dibenturkan dengan realitanya, keengganan untuk memilih profesi guru cukup logis diterima nalar.
Contoh kecilnya, kebanyakan lulusan LPTK yang akhirnya terjun sebagai guru muda sudah dapat dipastikan berstatus honorer. Kisaran gaji mereka juga tidak pasti, sebab dihitung berdasarkan persentase jam mengajar di sekolah. Rata-rata untuk satu jam mata pelajaran dihargai sebesar 50.000 rupiah di Jakarta.
Jika menilik data dari Kemendikbudristek, Indonesia mengalami kekurangan guru sebanyak 1,3 juta orang sampai tahun 2024. Namun, jika melihat proses rekrutmen guru hari ini, jumlah tersebut bisa jadi tidak akan mampu terpenuhi. Maka alangkah baiknya, tersedia sebuah mekanisme yang tidak berbelit. Salah satunya dengan revitalisasi peran dan fungsi LPTK sebagi lembaga pencetak guru untuk negara.
Indonesia sendiri saat ini menganut dua model pendidikan guru, yaitu konkuren dan konsekutif. Model konkuren sebelumnya digunakan dalam sistem LPTK, di mana pendidikan guru dilakukan dalam satu fase berkelanjutan. Sehingga, untuk menjadi seorang calon pendidik harus terlebih dahulu kuliah di jurusan atau kampus pendidikan.
Sistem di atas terus berjalan hampir selama 50 tahun. Makanya, dulu terdapat berbagai macam lembaga pencetak guru, seperti Sekolah Pendidikan Guru, IKIP, sampai akhirnya menjadi LPTK. Namun, semenjak disahkannya UU Guru dan Dosen pada tahun 2005, pendekatan konsekutif juga turut digunakan. Muaranya, orang-orang di luar jurusan pendidikan dapat mengambil sertifikasi lewat program PPG.
Penerapan kedua sistem tersebut otomatis menimbulkan kebingungan. Satu sisi, LPTK harus tetap menjalankan program studi jurusan-jurusan pendidikan. Namun, di sisi lain, perannya hanya sebatas lembaga sertifikasi semata. Kalau memang lebih berfokus menggunakan pendekatan konsekutif, maka lebih baik ditiadakan saja jurusan-jurusan pendidikan.
Betapa mungkin memupus sistem rekrutmen guru yang sangat berbelit tadi. Salah satu jalannya yaitu dengan mengembalikan pendekatan pendidikan guru dengan model konkuren. Sehingga, nantinya jutaan mahasiswa jurusan pendidikan di bawah naungan LPTK dapat langsung terserap menjadi guru. Serta, jurusan-jurusan pendidikan dikhususkan kuotanya untuk mereka yang memang memiliki niat menjadi pendidik.
Jangan sampai akibat kusutnya dunia profesi guru, kedepannya memupus mimpi anak-anak bangsa yang memang berniat mengabdikan hidupnya menjadi pendidik. Maka sepatutnya, persoalan ini harus dirembukkan bersama. Bukan hanya oleh pemangku kebijakan, yaitu Kemendikbud, tapi juga oleh mereka yang berstatus sebagai calon guru (cagur). Dalam konteks ini adalah mahasiswa jurusan pendidikan.
Selayaknya, kerumitan guru untuk memeroleh penghasilan layak dijadikan refleksi dalam perbaikan kedepannya. Supaya, apa yang dibicarakan Prof. Winarno soal ibadah dengan menjadi pendidik dapat berjalan dengan khusyuk. Bukan malah kata-kata tadi sekedar menjadi ilusi pelarian saja.
Penulis: Abdul
Editor: Izam