Semangat awal ditetapkannya UKT, berasal dari gagasan Kemendikbud yang ingin meringankan beban kuliah mahasiswa dengan penunggalan biaya kuliah dan penerapan subsidi silang. Namun ketika disahkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2013, sistem UKT malah menuai sekelumit persoalan.

Pasalnya, kemunculan sistem UKT ini dinilai tidak tepat sasaran. Sebab, mahasiswa diharuskan membayar dengan golongan yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonominya.

Seperti yang terjadi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD) pada November 2023 melakukan survei terkait ketidaksesuaian penetapan golongan UKT bagi mahasiswa baru. Dari 582 responden, sebanyak 516 responden merasa golongan UKT yang didapat tidak sesuai dengan perekonomian keluarganya. 

Forum Mahasiswa Kalijaga (FORMAL) lewat diskusi publik bertajuk “Mahasiswa dalam Pusaran Pendidikan Mahal: Benarkah UKT Membuat Pendidikan Terjangkau?”, pada Rabu (13/12), berusaha menyikapi persoalan ini. Dalam pembedahannya, FORMAL menilik fenomena ini dengan pendekatan psikologis mahasiswa yang kesulitan hingga tidak bisa membayar UKT. 

Berikut adalah poin-poin yang dipaparkan FORMAL terkait dampak dari mahalnya biaya UKT dalam lingkup UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta:

  • Tekanan mental
  • Putus kuliah
  • Beban ekonomi hambatan aksesibilitas terhadap pendidikan tinggi 
  • Tuntutan cepat lulus
  • Membentuk mahasiswa yang apatis, apolitis, asosial, dan susah berorganisasi

Baca juga: https://lpmdidaktika.com/mahasiswa-masih-butuh-bantuan-ukt/

Iklan

Manager Nalar Institute, Joko Susilo menjelaskan, jika masalah di dalam sistem UKT ini lahir dari kenaikan biaya pendidikan yang tidak diiringi dengan kenaikan upah. Dalam hitungan Joko, kenaikan biaya pendidikan Indonesia mencapai 9.990 persen. Sedangkan kenaikan upah hanya menyentuh 266 persen dari rentang tahun 1992-2020.

“Inflasi di dalam dunia pendidikan terus naik. Sedangkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen tidak cukup untuk membiayai subsidi silang dalam sistem UKT,” tutur Joko. 

Lebih lanjut, Joko juga menyoroti bagaimana perkembangan sistem UKT di kampus yang sudah menjadi PTN-BH. Berdasarkan data yang dipaparkannya, proporsi pendapatan PTN-BH rata-rata 50 persen bersumber dari UKT mahasiswa. Bagi Joko, fenomena ini menunjukan jika sistem birokrasi untuk mengurusi administrasi finansial  perguruan tinggi tidak jelas.

“Berkaca pada Eropa, sepatutnya liberalisme pendidikan dilakukan hingga pada ranah birokrasinya. Di Indonesia liberalisasinya nanggung. Di satu sisi ingin perguruan tinggi otonom dalam mengelola sumber dayanya, disisi lain masih turut mencampuri urusan pengelolaan,” pungkasnya.

Akademisi UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie menjelaskan, secara historis lahirnya perguruan tinggi di Indonesia berbeda dengan Eropa dan Amerika. Hal ini dikarenakan, lahirnya perguruan tinggi di Indonesia hakikatnya ditujukan agar rakyat dapat dengan mudah mengakses pendidikan tinggi. Maka dari itu, Gugun menyayangkan ketika Kemendikbud Ristek mewajibkan seluruh kampus negeri menjadi PTN-BH.

Gugun berpandangan jika PTN-BH hanya menjadikan kampus selayaknya sebuah korporasi. Menurutnya, kampus yang menjadi PTN-BH tidak akan lagi berfokus pada ranah akademik, justru malah terjebak dalam logika bisnis. Lebih lanjut ia mengatakan, PTN-BH hanya membuat kampus bangkrut karena kalah bersaing dengan korporasi di dalam persaingan pasar.

“Jika dianalogikan, orang tua (Kemendikbud Ristek) memberi si anak (Perguruan Tinggi) uang jajan untuk menjalani berbagai aktivitas. Sekaligus, menyuruh si anak bekerja supaya mendapat uang jajan tambahan,” katanya.

Founder Social Movement Institute, Eko Prasetyo menuturkan, jika iklim kampus harus kembali kepada semangat dan kebebasan akademik. Menurutnya, hal itu bisa dilakukan dengan memahami sejarah kampus. Semisal kata Eko, di UIN Sunan Kalijaga, selain terkenal dengan corak ke-santrian-nya, pergerakan radikal juga terbangun. 

“Gerakan radikal itu harus terus disebar. Dengan cara membangun relasi di antara mahasiswa dengan dosen. Jangan sampai narasi perihal UKT menyebabkan hancurnya pergerakan radikal di kampus. Sebab, kualitas pendidikan tidak diukur dengan duit, tetapi dengan gagasan,” pungkasnya.

 

Iklan

Penulis/reporter: Areneto Bayliss

Editor: Lalu Adam