Bicara Marx dan karyanya bukan lagi sebatas politik, tapi juga sastra
Membicarakan Marxis saat ini masih membuat segelintir kelompok ketar-ketir. Contohnya di beberapa Universitas di Yogyakarta yang terpaksa membatalkan rencana menonton dan diskusi bersama film Senyap. Hal ini dikarenakan adanya represif baik dari pihak internal kampus maupun dari organsasi masyarakat yang berdalih kekhawatiran kembali bangkitnya komunisme di Indonesia. Padahal bicara tentang sosok Karl Marx dan ideologinya tidak sebatas hanya lingkup pergerakan politik saja.
Seperti acara yang diselenggarakan oleh mahasiswa Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia angkatan 2014. Dalam rangka memperingati hari lahir Marx yang jatuh pada 5 Mei, digelarlah diskusi ilmiah yang mengambil tajuk “Marxisme dan Sastra”. Diskusi yang menghadirkan empat mahasiswa sebagai pembicara ini diikuti kira-kira 50 mahasiswa dari berbagai jurusan.
Sebagaimana tema besarnya, diskusi diawali dengan napak tilas sejarah sastra khususnya aliran realisme sosial yang coraknya mulai muncul di era kolonial Belanda. Aliran realisme sosial ini erat kaitannya dengan ideologi Marxis. Yogo Harsaid, mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia menyebut Tirto Adhisoerjo sebagai yang penulis yang akrab dengan isu kondisi pribumi.
Kemudian muncul Marco dan Semaoen, dua tokoh pergerakan yang dikenal rajin menuliskan penderitan pribumi. Tulisan inilah yang kemudian mengantar mereka ke beberapa penjara kolonial. Namun hal tersebut tak lantas meredam hasrat menulis mereka. Ketika jurnalisme telah bungkam, mereka memilih sastra sebagai alternatif.
Melanjutkan dari Yogo, pembicara kedua oleh Faisal Fathur Rahman mahasiswa Sastra Indonesia menyatakan suatu karya sastra dinilai sebagai cermin dari kondisi masyarakatnya saat itu. Sehingga masyarakat bisa membaca sendiri bagaimana nasib mereka.
Tidak hanya di Indonesia, Faisal juga menampilkan salah satu novel legendaris karya J.D. Salinger berjudul The Catcher In The Rye. Pada 1960-an, novel ini sempat dilarang beredar di Amerika karena dinilai mengandung paham komunis. Ketakutan-ketakutan tersebut berasal dari penggambaran J.D. Salinger akan kondisi kota saat itu. Di mana seseorang dinilai dari material yang dia miliki. Orang-orang sibuk mengumpulkan topeng agar eksistensi dirinya dapat diakui di tengah masyarakat lainnya. Akibatnya, manusia menjadi teralienasi dengan dirinya sendiri.
Muhammad PS, salah satu peserta diskusi, melanjutkan dengan menganalisa penyebab dari alienasi tersebut. Ia mengutip pemikiran Antonio Gramsci yang menyebutkan kapitalis telah menciptakan hegemoni pemikiran masyarakat luas. “Kita merasa lebih keren makan ayam di indoor daripada ayam di outdoor,” kelakarnya.
Salah satu alat yang digunakan oleh kapitalis dalam menghegemoni masyarakat yaitu dengan media. Melalui media, masyarakat didoktrin perihal kebutuhannya dengan pilihan-pilihan produk dari kapitalis tersebut. Di mana kecantikan wanita hanya memiliki satu arti yaitu kulit putih dan rambut hitam panjang namun tetap lurus dan berkilau dan bla, bla, bla seperti yang sering terlihat di iklan produk kecantikan.
Lalu pembicara terakhir, Nicko Pratama Suhendar, Mahasiswa Sastra Indonesia melengkapi dengan budaya konsumtif yang kian subur di masyarakat. “Sekarang membeli barang bukan lagi karena butuh, tapi karena gengsi,” ujarnya.
Diskusi pun berlanjut dengan terlibatnya para peserta dalam mengemukakan wacananya. Salah satunya Mushab, mahasiswa Sastra Indonesia. “Hari ini, yang persaingan dari perusahaan bukan lagi sekadar harga, melainkan nilai atau gengsi itu sendiri,” katanya. Pernyataan ini mengamini komentar dari salah satu dosen Sastra Indonesia, Irsyad Ridho yang mengatakan saya belanja maka saya ada.
Dirham, mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia melemparkan wacana pamungkas, yaitu apa yang dapat dilakukan oleh peserta diskusi setelah ini. “Percuma saja kita diskusi Marx, peringati ulang tahun Marx, tapi kemudian kita tidak melakukan apa-apa,” tuturnya.
Yogo sendiri merasa pesimis dapat mengubah kapitalis secara global. Kini, tantangannya bukan lagi kapitalis biasa, melainkan kapitalis turunan yang oleh kalangan kita, segiat apapun bekerja tidak akan pernah mampu menyaingi kekayaan mereka. Namun bukan solusi yang tepat apabila kemudian kita melepaskan diri dari kegiatan konsumsi. Itu sama saja mematikan mata pencaharian sesama. Di mana buruh-buruh dan petani juga mengandalkan kehidupan dari hasil penjualan para kapitalis tersebut. “Kekayaan boleh dijadikan alat, tapi bukan tujuan. Apabila menjadi tujuan, maka hanya akan melahirkan borjuis-borjuis baru,” tutupnya.
By : Latifah