Siapa yang tidak pernah berpikir? – Manusia lahir, mencoba berbicara dan berjalan, mencari suatu kebenaran sampai pada akhirnya mencari cara agar setidaknya mati dengan penuh kebahagiaan pun mesti melalui proses berpikir. Pertanyaan bualan.

Dalam suatu kasus, seorang pemuda sedang asik merangkai cerita dalam alam pikirannya. Meski tidak didahului kesadaran berpikir dan hanya dalam daya imajinasinya, maka pada hakekatnya cerita yang sebatas rangkaian itu hanya tinggal bualan semata. Persoalannya ialah, tidak semua proses berpikir berujung pada sebuah kreativitas.

Dalam sejarah kebudayaan umat manusia yang menurut kodrat Tuhan dan larut sampai sekarang kita jalani, bahwa tidak ada satu pun dari empat lembaga kebenaran (agama, ilmu, filsafat dan seni) yang luput dari proses berpikir manusia. Bahkan secara tidak sadar pun, beberapa orang yang terlanjur menganggap dirinya apatis turut memikirkan kebudayaan. Misal, ketika seorang tukang ojek pengkolan merenungi penumpangnya yang semakin hari kian sepi di era digital. Ketika dulu para penumpang mesti mencari ojeknya, sedang di zaman ini menjadi kebalikannya. Di dalam pikirannya atas fenomena yang telah terjadi, unsur sosial, ekonomi, politik, teknologi dan sebagainya bercampur menjadi satu pergulatan yang dramatis di kepala sang pemikir budaya tersebut. Hanya saja dari proses berpikirnya tidak menghasilkan sebuah bentuk yang kemudian dibarengi dengan kaidah-kaidah ilmiah dan penyelesaian, sampai pada akhirnya mampu diterima banyak orang dalam berbagai referensi budaya. Percayalah bahwa hakekatnya semua orang adalah agamawan, ilmuwan, filsuf dan seniman sekaligus dalam realisme idealisnya masing-masing.

Dalam kesempatan ini sebagai pembuka, argumentasi bahwa keempat lembaga kebenaran ada pada diri manusia akan saya coba bahas secara ringkas. (1) Agama. Tidak ada yang terlahir ateis di Bumi ini. Secara fundamental, kepercayaan adalah pilar utama dalam nilai-nilai keagamaan. Orang akan mengikuti atau bahkan menghindari batasan-batasan yang ada di dalamnya dengan rasa percaya. Percaya kepada apa saja; surga, neraka dan bahkan rasa takut. Nyatanya, bagi orang-orang yang dengan secara terang-terangan mengaku beragama, pasti sekonyong-konyong langsung mengakui bahwa rasa takut yang paling agung ialah semata-mata pada dzat yang memberi hidup dan mati, Tuhan. Sedang bagi sebagian orang yang mengakunya ateis, pasti juga memiliki rasa takut dalam dirinya meski hanya setitik gelap dalam cahayanya. (2) Ilmu. Tidak ada satu orang pun yang melaku tanpa didasari oleh ilmu. Bahkan untuk tidur pun ada ilmunya. Oleh sebab itu dalam setiap ilmu, pasti bercabang sesuai dengan kebutuhan dan penggalian di tiap komponennya. Ilmu-ilmu baru selalu bermunculan dan sudah semestinya terus digali manusia dalam laku kehidupan. (3) Filsafat. Mendalami alam pikiran secara kritis berbasis realitas pasti pernah dilakukan semua orang pada tarafnya masing-masing dan bidang tertentu. Lao Tse, Siddharta, Socrates, Ronggowarsito IV, Wiyasa dan lainnya adalah para pemikir pendahulu kita yang setidaknya menuntun peradaban umat manusia dari kemungkinan-kemungkinan buruk pada realitas masa silam. (4) Seni. Seni ialah imajinasi dari alam bawah pikiran manusia yang kadang-kadang tidak disadari ketika muncul dan berada di luar kenyataan. Seni merupakan dunia yang menunggu untuk dipanggil manusia yang kemudian diwujudkan ke dalam dunia secara nyata. Di sini, estetika bermain di dalamnya untuk memberi nilai seni dari sebuah proses mencipta. Itu berarti, nilai estetis ada pada diri setiap manusia dalam laku sehari-hari. Simpulnya, siapa yang habis mandi saja tidak memikirkan pertimbangan dalam memilih pakaian agar setidaknya nampak enak dilihat? Nalar estetis manusia pasti berjalan meski tidak disadari. Sebabnya, pastilah semua manusia memiliki nalar seninya masing-masing.

Berdasarkan uraian singkat di atas, oleh karena keempat lembaga kebenaran itu sudah pasti berada pada diri manusia dan keempat-empatnya didasari oleh proses berpikir, maka saya rasa sampai di sini kita bisa sama-sama sepakati bahwa manusia hakekatnya adalah makhluk berpikir. Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, bapak Saikun pada 2018 lalu pernah memberi sebuah wejangan kepada saya, manusia itu memiliki nafsu, budi dan pekerti. Karenanya manusia lebih tinggi derajat dan kebebasannya bila dibanding hewan dan tumbuhan. Hal-hal di atas membawa kita pada dua buah persoalan, yaitu:

Kebebasan Berpikir

Iklan

Manusia adalah makhluk berpikir dan diberikan kesempatan hidup untuk mengendalikan sesuatu sesuai dengan kehendakNya. Maka dari itu satu-satunya jalan dalam menggunakan kesempatan hidup ialah dengan berpikir. Membebaskan pikiran bukan berarti menabrak batasan. Membebaskan pikiran berarti mengakali batasan yang ada dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang akan muncul sebagai sebuah gagasan atau sebuah alternatif di luar keberadaan. Penting sekali bagi manusia untuk memahami makna antara kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi. Sebab ketika kedua pengertian itu disalahartikan, akan menyebabkan kekeliruan yang berlanjut di dalam hidup manusia dalam memandang suatu kreativitas. Persoalannya ialah, proses berpikir dan berekspresi selalu dicampuradukkan menjadi satu oleh sebagian orang, sehingga muncul anggapan bahwa larangan berekspresi sama dengan larangan berpikir. Padahal tidak pernah ada yang salah dengan kebebasan berpikir. Sebab tidak ada satu orang pun yang mampu membatasi atau mengekang pikiran dan imajinasi orang lain.

Sebagian yang menganggap kesamaan antara berpikir dan berekspresi, saya rasa dibatasi oleh realitas tindakan. Maksudnya pertama-tama, manusia mesti bisa membedakan dahulu antara berpikir dan berekspresi. Manusia akan berpikir secara sadar atau tidak sadar, atas dorongan alam bawah sadar maupun alam kesadarannya. Oleh sebab itu realitas yang dibawa adalah realitas subjektif, karenanya tidak ada satu pun orang yang berhak mengadili atau membatasi pikiran orang lain. Sedangkan manusia yang berekspresi, pasti dilandasi oleh sebuah kesadaran. Oleh sebab akan menghasilkan sebuah bukti fisik, realitas yang dibawa oleh hasil dari berekspresi adalah realitas objektif dan karenanya dalam beberapa hal yang menyangkut hak hidup orang banyak, berekspresi semestinya tidak menabrak dinding-dinding norma yang sudah ada. Proses berpikir hanya sebuah rangkaian ingatan semata yang kebetulan berbenturan dengan realitas jika tidak dilaksanakan dengan proses lanjutan, yaitu tindakan ekspresif sehingga mampu memunculkan kreativitas yang sejati.

Alam pikiran manusia adalah dunia yang tidak terbatas, tidak terlihat namun akan muncul bila ditarik dari tempat asalnya menuju dunia yang nyata. Empat lembaga kebenaran sangat erat kaitannya dengan alam pikiran, dalam hal ini seni. Semua hasil dari lukisan adalah goresan dan warna-warni abstrak dari dalam kepala si pelukis. Puisi-puisi adalah rangkaian kata dari pergulatan batin dan pikiran si penyair. Musik adalah nada-nada teratur yang tidak pernah didengar manusia, namun bisa dirasakan keberadaannya karena getaran dari setiap gerak kehidupan. Adalah tugas manusia sejak dahulu untuk meng-adakan alam pikirannya ke dalam dunia yang nyata agar memiliki daya nilai dan kegunaan dalam sendi kehidupan. Berbicara soal meng-adakan, setidaknya ada satu persoalan yang akan dihadapi manusia dalam memasuki alam pikirannya. Sebagian manusia di zaman ini masih berpengetahuan ada dan bukan apa. Gejala itu menjadi parasit jika terus dibiarkan dalam alam pikiran manusia. Daya pikir dari seorang manusia akan tajam ketika ia mau menyelami lebih dalam alam pikirannya. Ketika rancangan pikiran manusia adalah ada, dan bukan apa, maka manusia hanya akan semakin malas bahkan tidak akan pernah mendekati dasar alam pikirannya.

Keberanian Berekspresi

Berekspresi adalah hasil dari sebuah proses berpikir. Tanpa berekspresi, proses berpikir tidak akan bernilai kreativitas. Dibutuhkan sebuah keberanian untuk berekspresi, bukan suatu yang bersifat kebendaan. Sebab tonggak dari kreativitas adalah sebuah keberanian dalam mewujudkan proses berpikir dengan pengoptimalan apa yang dipunya agar menjadi bentuk baru atau sebuah alternatif dari sebuah keberadaan. Di dalam kreativitas, materi hanya nilai tambah dan bukan kebutuhan yang primer. Oleh sebab itu, adalah salah bila seseorang mengkambinghitamkan kematerian atas segala bentuk kenihilannya dalam proses kreatif dan bukan pada tindakan kreatifnya.

Sebetulnya, kasatmata dalam keseharian manusia selalu menggunakan hasil dari keberanian berekspresi manusia-manusia di masa silam. Di dalam dunia sastra, kita bisa ambil contoh bagaimana peralihan sajak sejak angkatan Balai Pustaka, setidaknya sampai dengan angkatan 60-an yang santer dengan gaya sajak esai seorang Rendra. Atau bila kita tarik sebelumnya, bisa saja dengan gaya permainan sajak seorang Chairil di angkatan 45. Tanpa sebuah keberanian mereka mengakali batasan yang berlaku dalam dunia sajak, mungkin saja mereka hanya akan membuat puisi-puisi yang santer dengan gaya keMelayu-Melayuan seperti para pendahulunya dan tidak akan pernah muncul sebuah perkembangan atau temuan-temuan yang baru.

Sesuatu yang akan dihadapi ketika seorang manusia berekspresi adalah tidak semua hasil berekspresi sejalan dengan norma atau setidaknya bisa masuk di tengah realitas sosial. Karenanya berekspresi sebaiknya dibarengi dengan tiga tahapan, yaitu tiga pilar kebudayaan manusia; berpikir logis, bersikap etis dan bertindak estetis. Persoalannya adalah banyaknya manusia yang menggunakan haknya dalam berekspresi dan kebelet bertindak estetis, dengan melompati kedua tahapan sebelumnya. Semisalnya tanpa melalui salah satu tahapan, yaitu berpikir logis atau bersikap etis. Atau bahkan melompati keduanya. Kita bisa ambil contoh ketika sebuah aksi unjuk rasa digelar. Orang berbondong-bondong menyampaikan aspirasinya dengan berbagai macam aksi musikal bahkan dramatikal. Namun pulang begitu saja dengan meninggalkan barang-barang yang dipergunakan dalam aksinya tadi. Di situ hanya ada dua tahapan yang terjadi. Pertama adalah berpikir logis. Di balik sebuah unjuk rasa, ada keresahan bersama yang pada akhirnya menuntut sekelompok orang untuk mengadakan sebuah kajian dalam rangka pembentukan argumentasi atas kesalahan atau kejanggalan yang ada. Kedua adalah tindakan estetis. Setelah adanya kajian, unjuk rasa digelar dan dibumbui dengan berbagai macam aksi musikal atau dramatikal yang dikemas sebagai sebuah media penyampaian aspirasi. Bila kedua tahapan itu berhasil dilakukan, namun mengesampingkan nilai-nilai fundamental dari sebuah tatanan kehidupan (dalam hal ini kebersihan), maka dengan begitu tahapan bersikap etis telah dilompati setelah berpikir logis yang langsung menuju pada tindakan estetis.

Keberanian berekspresi bila dilakukan dengan mengabaikan salah satu dari tiga pilar kebudayaan manusia justru hanya akan mengakibatkan ketiadaan nilai-nilai sosial dan berujung pada tindakan yang salah. Karenanya antara kebebasan berpikir dan keberanian berekspresi haruslah satu irama sesuai dengan pilar-pilar yang membentuk tatanan budaya manusia. Berpikir adalah modal awal dari sebuah kreativitas, tapi kreativitas akan tidak bernilai bila tidak diwujudkan melalui keberanian berekspresi.

Buaran, 30 April 2019

Panji Gozali, penulis merupakan punggawa Teater MOKSA sekaligus mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah

Iklan

Editor: Annisa Nurul H.S.