Kamis (26/7), pukul 15.00, Aliansi Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) kedatangan tamu dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Julio Belnanda. Ia merupakan mahasiswa yang diskorsing selama setahun akibat vokal dalam aksi tolak uang pangkal di kampusnya.

Kehadiran Julio dilanjut dengan diskusi di bawah pohon rindang (DPR), Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Diskusi berangkat dari pembahasan tentang aksi penolakan uang pangkal di Unnes. Kemudian merambah ke privatisasi pendidikan.

Meski diskorsing, mahasiswa asal Sulawasi Utara ini berharap agar wacana skorsingnya tidak mengalahkan isu tolak uang pangkal. “Kalau tujuannya agar saya tidak jadi diskorsing, khawatir yang diperjuangkan (tolak uang pangkal) justru terabaikan,” tuturnya.

Selain Julio, mahasiswa di universitas lain juga mengalami diskorsing. Contohnya, ada dua mahasiswa di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar yang diskorsing setahun lantaran meminta transparansi anggaran. Keduanya juga dianggap sebagai provokator aksi pada 1 Maret 2018. Kemudian enam mahasiswa Universitas Negeri Malang (UNM) juga diskorsing setelah  aksi menuntut demokratisasi kampus pada 24 Mei 2018.  Dua mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) pun mengalami nasib serupa setelah mengkritik kampus lewat poster bertuliskan “Kampus Rasa Pabrik”.

Di Unnes ditetapkan uang pangkal untuk mahasiswa jalur mandiri. Besarannya antara Rp5juta hingga Rp25jt. Ini sesuai dengan aturan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Menurut Julio, jika sudah ada uang pangkal, maka tidak boleh ada pungutan lain.

“Kebijakan dari birokrat kampus cacat. Sudah semestinya kita ini menegakan hukum. Bukan menjalankan aturan,” tutur mahasiswa Fakultas Hukum ini. Menurutnya, birokrat kampus sekadar menjalankan aturan saja. Tidak peduli jika bertentangan dengan konstitusi, hukum, hati nurani, atau kejujuran. Para birokrat tidak peduli itu semua, yang penting ada peraturan menteri. Padahal secara hierarki, dalam peraturan perundang-undangan, peraturan menteri tidak dikenal.

Iklan

Ia juga memprotes pemerintah yang mengandalkan masyarakat untuk menambal pembiayaan kampus. Di Unnes, dana pemerintah hanya 42% dari total dana kampus. Sisanya, dari masyarakat dan hibah. Menurut Julio, seharusnya pemerintah berandil lebih besar daripada masyarakat. Sebab, memang itu kewajiban negara. “Ini kan tertuang di konstitusi pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujarnya.

Untuk menutupi kekurangan dana ini, birokrat kampus mencari dana dari mahasiswa melalui Uang Kuliah Tunggal (UKT). Jika UKT belum menambal kekurangan dana, maka dibuat kebijakan uang pangkal. Sesuai aturan, hanya mahasiswa jalur mandiri yang boleh dikenakan uang pangkal. Kebijakan ini dinilai mempersulit akses pendidikan bagi mereka yang tak mampu. “Ini bertentangan dengan  undang-undang sisdiknas dan undang-undang dikti,” tutur Julio.  Ia menambahkan bahwa kebijakan ini berujung pada privatisasi pendidikan. Sehingga hanya orang kaya saja yang bisa mengaksesnya.

Masalahnya, menurut Julio, terkait UKT saja tahun ini ada 114 mahasiswa di Unnes yang mengundurkan diri karena tidak sanggup bayar. Semestinya UKT ditentukan sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa sehingga pendidikan bisa diakses siapa saja. “Aturannya kan begitu. Pendidikan seharusnya menjadi public good,” tegasnya.

Sebelum uang pangkal diterapkan di Unnes, sebenarnya pendanaan kampus di Unnes sudah surplus. Julio berasumsi surplus ini digunakan untuk investasi agar tercapainya Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum (PTN-BH).

 

Uang Pangkal di UNJ

Kebijakan uang pangkal juga diterapkan di UNJ khusus untuk mahasiswa jalur mandiri yakni Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU). Akan tetapi, sifatnya lebih longgar. Birokrat menyatakan bahwa sifat SPU ini suka rela. Mahasiswa boleh memilih untuk menyumbang atau tidak. Besaran sumbangan pun tidak ditetapkan (baca: di sini )

Kebijakan ini menuai protes dari berbagai kalangan mahasiswa yang bersatu dalam Aliansi Mahasiswa UNJ. Rasionalisasi dari sikap ini sama dengan sikap Julio dalam menanggapi uang pangkal di Unnes. Aliansi ini terakhir kali melakukan aksi pada Jumat, 13 Juli 2018 dengan melemparkan uang recehan ke depan gedung rektorat.

Menurut Julio, memang harus ada langkah konkret dari mahasiswa untuk mencari solusi permasalahan ini. Misalnya, melakukan diskusi untuk bertukar gagasan tentang penolakan komersialisasi pendidikan. “Contohnya, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta mendorong konsolidasi nasional mengenai komersialisasi pendidikan,” tambahnya.

 

Iklan

Penulis: Lutfia Harizuandini

Editor: Hendrik Yaputra