Jumat, (13/07) Aliansi Mahasiswa UNJ mengadakan aksi tolak Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU) di depan Gedung Hasyim Asyari. Setelah melakukan orasi dan pembacaan puisi, mereka berpindah ke depan gedung rektorat untuk melanjutkan aksi simbolik. Aksi ini lahir karena adanya keresahan mahasiswa terhadap kebijakan SPU. Kebijakan ini diterapkan kepada calon peserta jalur mandiri pada 2018.
Aliansi mahasiswa UNJ terdiri atas komunitas-komunitas di UNJ, seperti Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA) dan Diskusi Kamis Sore (DKS). Serta, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) fakultas. Selain itu, beberapa mahasiswa juga ikut bergabung. Alasannya, merasa memiliki keresahan yang sama mengenai SPU.
Dalam aksi ini, Aliansi Mahasiswa UNJ menuntut :
- Menolak dengan tegas segala bentuk uang pangkal, sumbangan dan sejenisnya,
- Menuntut rektorat menarik kebijakan uang pangkal (dalam bentuk SPU) di UNJ karena menutup akses masyarakat menempuh pendidikan tinggi
- Menuntut rektorat menjalankan demokrasi penidikan sejati, perihal akses masyarakat ke dalam jenjang pendidikan tinggi.
Faisal Harun, selaku koordinator lapangan aksi tolak SPU, mengatakan aksi ini bertujuan untuk mengingatkan birokrat UNJ bahwasannya mahasiswa masih peduli terhadap kebijakan kampus yang tidak berpihak ke mahasiswa.
Selain itu, Harun menambahkan, SPU merupakan uang pangkal namun lebih lembut penyampaiannya. Ia menjelaskan birokrat sengaja mengganti sebutan uang pangkal menjadi sumbangan. Tujuannya untuk menipu masyarakat.
Tipuan itu membuat masyarakat kebingungan. Kemudian, mau tidak mau masyarakat membayar sumbangan dengan biaya tinggi. Tujuanya agar mereka mendapatkan jaminan kelulusan. Dampaknya, masyarakat berekonomi rendah tidak dapat menjangkau pendidikan tinggi.
“Pendidikan semestinya gratis. Bentuk uang pangkal termasuk SPU merupakan salah satu bentuk komersialisasi pendidikan, maka harus dilawan,” ujar Harun, mahasiswa program studi Pendidikan Sejarah 2015.
Wisnu Adi Wibowo, salah satu massa aksi, menyesali dan tidak menerima dalih UNJ yang menetapkan SPU karena mahasiswa mandiri tidak mendapatakan subsidi dari pemerintah (dana BOPTN). Ia juga tidak menerima alasan kampus yang menyatakan UKT tidak mencukupi untuk pengembangan kualitas akademik mahasiswa. Wisnu menyatakan itu hanya alasan yang tidak mendasar.
“Kalau mau berani ya UNJ melakukan transparansi dana kepada mahasiswa,” ujar, Wisnu salah satu anggota SPORA.
Wisnu juga menekankan bahwa jika aksi ini tidak digubris oleh birokrat UNJ, maka akan ada aksi selanjutnya sampai SPU dan segala macam bentuknya dihapuskan.
Senada dengan Wisnu, Fajar Subhi mahasiswa Sosiologi Pembangunan 2015 mengatakan gerakan tolak SPU tidak akan berhenti sampai di sini. Selanjutnya, perlu ada gerakan-gerakan yang kiranya perlu untuk menyadarkan bahwa SPU merupakan suatu hal yang tidak berfaedah.
Selain itu, Fajar mengatakan UNJ yang berstatus Badan Layanan Umum masih mendapatkan dana dari pemerintah dan dana hibah. Oleh karena itu, UNJ tidak boleh memberatkan ekonomi masyarakat.
“Toh, UNJ masih berstatus Badan Layanan Umum, otomatis masih mendapatkan dana dari APBN, APBD, beberapa hibah,” tutur Fajar selaku koordinator lapangan aksi tolak SPU.
Mahasiswa prodi sosiologi pembangunan tahun 2015, Hendi Roy, memberi apresiasi kepada massa aksi. Ia berpendapat teknis aksi dan penyampaian berbagai ekspresi dan kritik sudah cukup baik tersampaikan. Yang menarik di penghujung aksi diwarnai dengan melemparkan koin ke depan pintu rektorat UNJ, yang menyimbolkan bahwa mahasiswa hanya dapat memberikan sumbangan berupa uang koin kepada UNJ.
Menanggapi aksi tolak SPU, Sofyan Hanif selaku Wakil Rekotorat III bidang kemahasiswaan mengatakan aksi penolakan SPU boleh-boleh saja dilakukan. Menurutnya hal itu ialah bagian dari demokrasi. “Ada yang menolak demokrasi dan ada yang setuju juga bagian demokrasi,” katanya.
Penulis : Uly Mega S
Editor : Hendrik Yaputra