Sudah tidak asing lagi sebagai mahasiswa untuk mendapatkan tindakan yang “kurang menyenangkan” pada saat menyampaikan kritik. Kajian yang seharusnya strategis dan menjadi harapan bagi kaum akademisi untuk membangun lingkungan yang akademik sepertinya mengalami hambatan represi. Artikel yang mengajak untuk kritis dan berani berbicara tentang kebenaran dianggap berbahaya dengan asumsi mencemarkan nama baik.

Apakah ada contohnya? Ada tentutnya. Pada 2016 ada Hashtag #SaveRonny yang diakibatkan oleh sikap rektorat yang tidak bisa menerima kritik dari Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (BEM UNJ) periode 2015-2016. Selanjutnya, yang terbaru adalah tindakan represif yang diterima oleh Didaktika dengan tidak diberinya kucuran dana untuk membuat majalah edisi 47 oleh pihak rektorat akibat konten berita yang dianggap mengganggu kenyamanan kampus (lihat : di sini)

Bicara kebenaran, sepahitnya kebenaran itu tetap harus disuarakan. Tidak bisa dipungkiri. Pers yang seharusnya memunculkan fakta dari kedua belah pihak malah tidak mendapat tempat di mata petinggi kampus. Ketika penulis yang hanya sekadar membuat opini ini, tidak menutup kemungkinan akan mendapat tindakan represif dari kampus. Bisa dilihat seberapa takut pihak petinggi kampus untuk melihat fakta dan opini kritis soal kampus yang menjadi sarang kita untuk mengembangkan diri dan potensi kita secara luas tanpa batas (seharusnya). Jika  berbicara tentang kebenaran terus direpresi oleh petinggi kampus maka timbul pertanyaan, Apakah selayaknya kita sebagai mahasiswa hanya akan manut saja? Mungkin iya untuk kita yang tidak merasakan. Tetapi bagaimana teman teman mahasiswa lain yang merasakan contohnya seperti teman-teman Didaktika?

Penulis cukup kaget melihat branding kritik kampus yang membawa fakta dari kedua belah pihak yang menjadi objek dari berita tersebut ditekan dengan ancaman yang tidak masuk akal juga dengan tidak memberikan dana. Setakut itukah mereka untuk diajak menelan pil pahit–berbentuk kritik yang sebenarnya juga bisa menjadi bahan evaluasi dan membangun? Gelombang represif terhadap mahasiswa yang memedulikan kampus dengan kritik berdasarkan data ternyata masih bisa kita lihat di akuarium kampus ini. Itu pun kalau kita mau nyemplung ke dalam akuarium tersebut.

Gelombang represif yang bisa kita lihat sebenarnya adalah gelombang yang membuat mahasiswa ke pada rasa “bodo amat” karena matinya usaha kritis atas kepeduli tentang permasalahan kampus. Dampaknya apa? Jangankan berusaha kritis. Merasa peduli dengan kampus saja sudah segan. Berujung pada membentuk pola pikir bagaiman kita bisa survive akan keadaan. Apakah kita mau menjadi mahasiswa yang seperti itu? Bagaimana kita bisa menjaga marwah mahaiswa Universitas Negeri Jakarta dengan keadaan seperti tadi?

Sebagai seorang yang ikut merasakan pergerakan mahasiswa. Penulis tidak pernah menemukan urgensi dari represif mahasiswa. Tidak ada dasar kuat untuk membungkam kritik mahasiswa! Untuk apa kita kedepannya diam dan hanya sebagai mahasiswa manut saja?  Tentu tidak. Menyampaikan pendapat simpelnya bisa kita lakukan asalkan kita serempak melawan arus. Tidak hanya manut-manut saja. Maka dari itu penulis berharap kita sebagai mahasiswa yang kritis menyampaikan pendapat tidak diam karena tidak ada urgensi apapun mengenai pembungkaman kritik mahasiswa.

Iklan

Perlu bagi kita sebagai mahasiswa untuk bersama-sama melawan arus ombak represif. Ibaratkan kapal di tengah laut ganas, asal tiang dan layar kapal kuat dan berkualitas tinggi. Terombang-ambing seperti apapun kapal akan tetap sampai tujuan. Tiang ini penulis ibaratkan sebagai keyakinan yang kuat pada diri kita sendiri untuk siap dan berani menyampaikan kritik. Sedangkan layar yang kuat penulis ibaratkan sebagai dasar kuat dalam menyampaikan kritik baik berdasarkan data yang empiris serta fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menjaga agar tiang dan layar kapal agar tetap kokoh dan dapat mempertahankan arah kapal tersebut tidak bisa membutuhkan satu kru kapal. Perlu banyak kru kapal lainnya yang mempunyai tujuan yang sama agar selamat sampai tujuan. Perlu bersama-sama kita saling mengamati lingkungan dan dinamika yang terjadi di kampus, berpendapat, berdiskusi, mengumpulkan data, mengkaji data, dan bersama sebagai mahasiswa UNJ menyampaikan kritik mengenai kampus berdasarkan kajian data yang diperoleh bersama-sama. Tujuannya adalah terciptanya lingkungan kampus yang lebih baik dari segala aspek akademik.

Kekuatan suara dengan kajian data sebenarnya sudah terbukti berhasil bisa dilihat dari bagaimana turunnya Rektor UNJ, Djaali sebelum masa jabatannya berakhir. Respon dari aksi yang dilakukan secara serempak oleh seluruh warga UNJ termasuk mahasiswa menandakan bahwa kajian yang pernah dilakukan oleh mahasiswa, dosen, dan karyawan serta keberanian seluruh warga UNJ untuk bersuara menimbulkan efek yang besar bagi Kemenristekdikti untuk mengambil keputusan untuk mencopot Djaali dari jabatannya pada 2017 lalu. Ini menunjukkan bahwa dengan masalah yang kita bisa rasakan bersama-sama, kita sebagai mahasiswa bisa melakukan gerakan mengkritik petinggi kampus. Momentum ini bisa menjadi pengingat kita bahwa tidak ada kemungkinan warga UNJ akan diam apabila petinggi melakukan tindakan tindakan represif lagi.

Penulis ingin mengajak kepada mahasiswa UNJ untuk tidak takut lagi menyampaikan kritik kampus. Perubahan kampus bisa terjadi karena kita mau keluar dari zona nyaman. Mengutip dari kata Prof. H.A.R Tilaar sebagai renungan kita bersama “manusia cenderung mempertahankan status quo. Anti perubahan” sekarang kembali lagi. Apakah kita serempak ingin menjadi orang yang anti perubahan? Bagaimana kampus bisa berubah kalau diri kita pribadi menjadi orang yang antiperubahan dengan tidak melakukan apa-apa? “Rangkullah perubahan, jangan takut dengan perubahan” begitulah kutipan favorit penulis dari seorang Guru Besar UNJ yang dulu bernama IKIP Jakarta.

Semoga kita bisa menjadi salah satu warga UNJ yang peduli dan berani mengkritisi permasalahan yang ada di lingkungan kampus. Penulis berharap kita semua tidak takut untuk menyampaikan kebenaran walau memang pahit seperti daun brotowali, tetapi dengan kritik ini sebenarnnya sudah menjadi wujud kepedulian kita terhadap kampus.

*Opini ini merespon tulisan dari LPM DIDAKTIKA yang berjudul “Maaf, Majalah Didaktika Edisi 47, Tidak Cetak” di website http://www.didaktika.com karena penulis masih percaya keyakinan yang kuat untuk menyampaikan kebenaran harus dilawan dan tidak boleh dihalangi dengan ancaman tidak diberikan dana oleh petinggi kampus. Maka dari itu penulis hanya mengambil perspektif dari sisi represif petinggi kampus. Penulis berharap teman-teman mahasiswa juga turut merespon tulisan dari DIDAKTIKA karena dengan merespon, maka kita mendukung penyampaian kebenaran berdasarkan fakta.

 

Tertanda,

Fafa Ilham

Mahasiswa UNJ

Iklan