Senin, 2 Juli 2018, ratusan mahasiswa Universitas Udayana (Unud) Bali melakukan “Aksi Cinta Udayana” yang bertujuan menghapus Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI). SPI diberlakukan untuk peserta ujian mandiri. Camaba (Calon Mahasiswa Baru) diwajibkan membayar SPI sebesar 10 hingga 150 juta. Selain itu, mereka menuntut pencabutan kebijakan yang memaksa mahasiswa jalur mandiri membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) Golongan 4 atau 5. UKT Golongan 5 merupakan besaran UKT yang paling besar di Universitas Udayana.
Berdasarkan laman www.unud.ac.id, pada konferensi pers, Selasa, 22 Mei 2018, Wakil Rektor Bidang Akademik Unud, Nyoman Gde Antara, mengatakan bahwa calon peserta jalur mandiri yang dinyatakan lulus diwajibkan membayar UKT Golongan 4 atau Golongan 5. Selain itu, ditambah pula mereka diwajibkan untuk membayar SPI. Menurut Nyoman, SPI diberlakukan karena sejak Unud berstatus Badan Layanan Umum (BLU), alokasi dana APBN untuk pengembangan sarana dan prasarana semakin kecil.
Menghadapi Kebijakan SPI, mahasiswa Unud beberapa kali melakukan konsolidasi.
Menurut Deo anggota Kelompok Belajar Mahasiswa Progresif (KBMP), menolak SPI dan meminta transparansi dana merupakan langkah nyata menolak komersialisasi pendidikan. Ia juga mengatakan, SPI yang bersifat komersil ini akan membuat masyarakat terbebani dengan mahalnya biaya pendidikan.
“Apalagi bagi masyarakat menengah bawah yang berkeinginan menempuh pendidikan tinggi. Mereka akan sulit mengakses perguruan tinggi,” kata Deo.
Pernyataan senada dilontarkan oleh Excel Bagaskara anggota Lembaga Pers Mahasiswa Akademika Unud. Menurutnya SPI ialah salah satu bagian dari komersialisasi pendidikan. Oleh karena itu, ia tidak kaget dengan adanya SPI. Sebab, kampus sudah menerapkan logika pasar dalam mengembangkan perguruan tinggi sejak menjadi BLU, ujarnya
Excel juga menjelaskan mengapa demontrasi tolak SPI baru dilaksanakan. Ialah kondisi kampus yang sedang libur. Keadaan tersebut membuat beberapa lembaga mahasiswa tidak dapat berpartisipasi dalam diskusi. Kedua, terjadi perbedaan pendapat mengenai sikap terhadap SPI: ada yang menolak dan ada yang menerima.
Beberapa BEM Fakultas setuju SPI diadakan, sebab mereka yakin SPI diperuntukan pengembangan akademik dan non akademik. Mereka setuju diadakan SPI karena kampus kekurangan anggaran. Mereka berharap dengan adanya SPI sarana dan prasana kampus meningkat.
Sedangkan semua mahasiswa Universitas Udayana tidak menerima alasan kekurangan anggaran yang dijelaskan oleh kampus. Mereka meyakini kekurangan anggaran kampus terjadi karena pengelolaan keuangan yang tidak efektif dan efisien dalam tubuh kampus. Sehingga dana yang dialokasikan tidak sesuai dengan prioritas.
“Jadi bukan sekedar penggunaan anggaran yang defisit, namun karena pengelolaan yang kacau,’’ kata Excel.
Meski begitu, akhirnya mereka setuju untuk melakukan aksi pada Senin 2 Juli 2018.
Aksi tersebut dilaksanakan pukul 10.00 WITA dengan titik kumpul parkiran Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. “Aksi Cinta Udayana” menjadi pilihan tema.
Pukul 10.45 WITA, ratusan mahasiswa sampai di depan pintu Rektorat. Di sana, satpam dan Menwa sudah melakukan penjagaan. Koshyi Rukito, Ketua Bem Unud, menemui rektor beserta jajaranya untuk mengajak audiensi. Namun, rektorat menolak pertemuan dengan massa. Pihak rektorat hanya ingin bertemu dengan 15 orang untuk berdiskusi dalam Gedung Rektorat. Namun, massa aksi menolak hal itu. Mereka berkeinginan untuk bertemu langsung dan bertatap muka dengan massa.
Kemudian, sekitar pukul 14.30 WITA, rektorat bertemu dan berdialog dengan mahasiswa. Namun, pertemuan itu tidak untuk audiensi atau mengambil keputusan, melainkan hanya memberikan penjelasan saja. “Hanya sekedar memberikan sepatah dua patah kata yang tak ada angin segar untuk tuntutan,” kata Koshyi.
Dalam Aksi mahasiswa Unud, ada empat tuntutan mahasiswa, yaitu menolak SPI, Menolak pengenaan UKT Golongan 4 dan 5, membenahi transparansi UKT, dan tidak ada pengecualian beasiswa untuk jalur mandiri. Sayangnya, empat tuntutan mahasiswa Unud belum berhasil diwujudkan.
Rencananya, mahasiswa Unud akan melakukan evaluasi untuk melihat kekurangan aksi. Setelah itu, mereka akan memikirkan strategi selanjutnya.
Penulis: Hendrik Yaputra
Editor : Faisal Bahri