Kehadiran ChatGPT sebagai perangkat lunak dengan teknologi AI memberi banyak manfaat, terutama bagi mahasiswa untuk menunjang kebutuhan akademiknya. Namun, penggunaan ChatGPT juga harus dibarengi dengan sikap kritis dari penggunanya.
Akhir-akhir ini, teknologi berbasis Artificial Intelligence (AI) sedang marak digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat, termasuk mahasiswa. Perkembangan AI yang berkembang pesat dapat mempermudah pekerjaan seperti mengedit foto atau video, manipulasi audio, dan lain sebagainya. Salah satu teknologi AI yang sedang digandrungi oleh mahasiswa adalah Chat Generative Pre-trained Transformer (ChatGPT).
Menurut Search Engine Journal, ChatGPT adalah sebuah chatbot, sebuah program komputer yang dapat mensimulasikan percakapan melalui perintah suara, obrolan teks, atau keduanya. ChatGPT sendiri dikembangkan oleh sebuah perusahaan anakan Google, yakni OpenAI. Dilansir dari explodingtopics.com, pengguna ChatGPT telah mencapai 100 juta pengguna dan terdapat 1,8 miliar pengunjung situs per bulan dari Februari sampai April 2023, dengan jumlah pengguna sekitar 13 juta setiap bulan.
Di kalangan mahasiswa, ChatGPT dapat membantu proses pembelajaran karena mampu menjawab pertanyaan, menulis teks, mengolah informasi dan data dalam waktu cepat, kemudian kembali diolah menjadi jawaban yang padan. Sehingga mereka bisa menghemat waktu dan tenaga.
Di UNJ sendiri, berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Tim Didaktika terhadap 201 mahasiswa dalam survei yang diselenggarakan pada 18-19 Mei 2023, terdapat 81,1 persen responden mengetahui ChatGPT, dari situ 64.7 persen diantara responden pernah menggunakannya.
Mayoritas responden berasal dari FMIPA sebanyak 37,8 persen, kemudian mahasiswa FBS 27,9 persen, dan mahasiswa FT 10,9 persen. Partisipasi dari angkatan 2021 mencapai 55,2 persen dan angkatan 2022 sekitar 34,8 persen.
Dari 154 responden yang mengetahui dan menggunakan ChatGPT, sekitar 84,4 persen di antaranya merasa terbantu dengan teknologi ini. Biasanya mereka menggunakan fitur chatbot ini sebagai penunjang untuk kebutuhan tugas kuliah (mencari jurnal, artikel ilmiah, dan sejenisnya), untuk memperdalam materi perkuliahan, dan penggunaan lain seperti diskusi, brainstorming, maupun penggunaan pribadi.
Fauzan Alipsyah, mahasiswa jurusan Kimia mengaku bahwa ia pernah membandingkan penggunaan ChatGPT dengan mesin pencarian biasa atau Google. Apabila di Google hanya terdapat kumpulan jurnal, maka ChatGPT akan memberikan jurnal yang akurat dan sesuai dalam waktu singkat.
“Biasanya kalo mau cari web kumpulan jurnal, cari di ChatGPT lebih gampang dan itu membantu banget,” ucapnya.
Baca Juga: Kewajiban Beli Buku Memberatkan Mahasiswa
Lain halnya dengan Fauzan, Tim Abyan Syah mahasiswa Pendidikan Fisika, memiliki pengalaman tidak enak dengan ChatGPT. Pasalnya, ChatGPT tak hanya sekali menampilkan jawaban yang salah. Salah satunya adalah ketika ChatGPT menampilkan kesalahan data yang cukup fatal untuk keperluan skripsinya.
Untungnya, ia melakukan crosscheck dan meminta ChatGPT untuk melakukan pengecekan ulang. Setelah dilakukan pengecekan ulang, ChatGPT langsung mengoreksi jawabannya. Ia pun lebih memilih untuk mencari sendiri di web resmi yang terverifikasi maupun buku dan jurnal dari penerbit terpercaya.
“Saya menyarankan penggunaan buku internasional dari penerbit yang sudah terpercaya, jurnal-jurnal internasional terindeks, atau situs resmi apabila ingin mencari data,” ujarnya.
Tim tidak ingin banyak bergantung pada teknologi AI, sebab terdapat banyak celah pada teknologi tersebut. Baginya, ChatGPT hanya sebatas alat untuk mempermudah pekerjaan manusia, karena sehebat-hebatnya teknologi tetap manusia yang lebih pintar.
“Kelebihan AI cuma di bagian cepat aja dan datanya sudah ada. Kalau pengguna menggunakan data yang salah, itu akan jadi menyesatkan,” tutupnya.
Penulis/Reporter: Syiva Khairinissa
Editor: Muhammad Ezra Hanif