Dalam mengkaji agama, kita diharapkan bisa mendapatkannya secara rinci dan menyeluruh. Sebab, ilmu-ilmu itu yang diharapkan bisa menghantarkan kita melewati kesesatan dunia.
Namun, banyak sekali ruang dakwah yang malah bertentangan dengan tujuan awal mereka, yaitu menuntun, menunjuk dan membimbing peserta kepada ajaran-ajaran agama. Lain dari itu, yang membuat anggotanya tersesat sampai masuk ke dalam tujuan batil partai politik.
Liqo atau nama lain dari mentoring, mungkin sudah tidak asing terdengar di telinga para mahasiswa, dan tujuannya memang tepat untuk menyentuh kalangan terpelajar. Sebab, pada masa peralihan ini mereka bisa digunakan sebagai media untuk memperluas suatu perkumpulan misalnya organisasi keislaman yang berbau politik praktis.
Sudah tidak heran lagi, dalam pembentukan liqo yang biasanya dibuat pada saat penerimaan mahasiswa baru, sangat berkesan memaksa. Masing-masing mahasiswa baru yang menganut agama Islam diwajibkan untuk membuat lingkaran yang terdiri dari 5-10 mahasiswa, lalu mereka dibimbing dan difasilitasi oleh seorang murabbi (pemimpin liqo). Biasanya murabbi tersebut diisi oleh kakak tingkat sefakultas yang telah terikat pada organisasi keislaman, minimal mereka telah terdaftar sebagai anggota forum dakwah masjid fakultas dan maksimalnya mereka telah menjadi anggota HMI, PMII, atau KAMMI.
Bahkan kesan seadanya muncul, ketika beberapa murabbi yang didatangi hanya sebatas kader organisasi keislaman yang hanya kecemplung ikut-ikutan lalu sudah ditugaskan mengajari mahasiswa baru, bahkan mereka tidak memahami penuh ilmu agama yang akan diajarkan. Mereka biasanya yang baru dilatih kurang dari satu tahun. Ini akan berakibat fatal bagi para mahasiswa baru, sebab materi yang dibagi dalam liqo hanya sebatas basic saja. Lalu, diteruskan dengan mengasal, alih-alih sebatas memperlihatkan eksistensi dan popularitas tanpa pematangan materi sebelumnya.
Entah kepentingan mana yang dimaksudkan dalam liqo-liqoan ini, mencerdaskan pikiran bagi para mahasiswa baru atau hanya bentuk kaderisasi organisasi keislaman dan dedengkot eksekutif saja. Alhasil seiring berjalannya waktu para mahasiswa baru yang menyadari tujuan dari perkumpulan lingkaran yang memilih untuk keluar dan masuk ke dalam organisasi yang sesuai dengan bidang mereka.
Adapula jenis pengajaran yang bersifat doktrin, di dalam liqo para murabbi yang mengkaji materi namun hanya boleh menggunakan sumber buku atau kitab yang direkomendasikan oleh murabbi. Misalkan buku fikih hanya boleh membaca mazhab Syafi’i atau Hambali, selain itu dilarang membacanya. Sekadar baca untuk perbandingan pun dilarang, karena selain itu takut dianggap sesat dan radikal. Bahkan di luar liqo para muridnya dilarang untuk membaca buku-buku yang dianggap tidak bermanfaaat sekadar membaca novel atau biografi tokoh pahlawan dan buku sejarah yang berbeda agama, seperti buku pewayangan.
Ada juga dalam sesi pencekokan materi yang melarang para murid untuk menyampaikan pendapat pribadi. Murabbi selalu menakuti dan beralasan agar pemikiran mereka tidak terjajah, sebetulnya cara inilah yang membuat pemikiran para muridnya terjajah. Murabbi takut pemikiran mereka terbuka luas, ia menggiring opini kesatu dimensi tanpa ada perbandingan lain. Akibatnya para murid hanya mendapatkan kebenaran yang pasif atau kebenaran yang tak bisa diganggu gugat.
Disinilah dasar timbulnya kasus ikut-ikutan, pemimpin memerintahkan sesuatu, semua harus nurut dan gak boleh berkomentar. Misalnya ketika murabbi memerintahkan untuk ikut dalam demo yang sering diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), namun karena yang mengetuai pergerakan aksi itu dari kalangan mereka (anggota LDK), maka lagi-lagi pesertanya juga hanya dari kalangan mereka. Para mutarabbi (peserta liqo) seakan tidak bisa menolak dan langsung percaya seratus persen tanpa mengkaji akar permasalahannya. liqo memang sengaja membuat daya fikir yang seakan kritis dan militan, namun itu hanya dibuat-buat lalu mengiming-imingi bahwa yang ikut didalam demo tersebut adalah orang yang benar atau orang yang telah terpilih dan termasuk umat yang berjihad menentang tirani.
Belum lagi jika diselipkan persoalan-persoalan politik. Dalam wawancara dengan seorang ukhti (sebutan bagi wanita) mahasiswa unj, yang sudah memulai liqonya dari masa SMP namun harus berhenti liqo pada awal kuliah karena satu dua hal yang menyebalkan, ia mengatakan salah satu penyebab meninggalkan liqo adalah penanaman unsur politik didalamnya. Awalnya ia menjadikan liqo sebagai media belajar ilmu-ilmu islam seperti aqidah dan fikih, apalagi murabbinya yang sudah dianggap sebagai pacuan dalam mendalami ilmu agama. Namun, lama kelamaan ada yang aneh di tiap materi yang diberikan. Puncaknya, Ia menyadari ketika murabbinya getol untuk mempromosikan temannya agar dipilih dalam pemilihan badan eksekutif kampus.
Hal ini sangat disayangkan, murabbi dan teman-teman mentor lainnya mempergunakan media dakwah liqo sebagai ajang promosi jabatan. Pada saat itu murabbi memegang jabatan ketua badan eksekutif prodi, lalu ia mempergunakan jabatan itu untuk mempengaruhi mahasiswa jurusannya, agar memilih teman dekatnya yang ingin mencalonkan sebagai badan eksekutif fakultas. Bodohnya lagi, murabbi dan mutarobbi (sebutan peserta liqo) lainnya mempergunakan acara masjid untuk promosi jabatan.
Bukan hanya itu, murabbinya juga kerap kali menyelipkan isu pilitik nasional disela-sela materi. menurutnya, sang murabbi keliatan betul tidak mengetahui aspek-aspek politik, namun tetap membahas dan menjadikan pembicaraannya sebagai acuan. Misalnya, dalam pemilihan kepala daerah 2015, murabbi memberikan suguhan politik kepada mutarabbinya.
atas dasar itulah ukhti ini memutuskan untuk mengambil jalan ekstrim (bagi pandangan mereka) untuk berhenti dan tidak mau ikut lagi dengan grup liqo kampus. Ia kecewa dan merasa semua grup liqo di dalam kampus sudah tidak pure hanya mengkaji ilmu agama, semuanya telah terkotori oleh kepentingan-kepentingan politik organisasi keagamaan.
Itu baru satu kasus ekstrim, ada banyak kasus lainnya yang dapat dilihat dengan jelas. Parahnya ketika sudah memiliki sebutan liqo garis keras, mereka para anggota yang tegabung di grup liqo kampus lebih mementingkan perkataan murabbinya ketimbang orang tua. Bagaimanapun keadaannya, mau hujan ataupun badai sekalipun mereka harus tetap datang ke agenda liqo tersebut.
Akibatnya mereka seperti sedang memenjarakan pikirannya sendiri, mereka tidak mau mempercayai informasi dari luar kelompok liqo, yang penting murabbi berbicara logis, ya diterima. Alhasil mereka menjadi bodoh dan keras kepala, karena tidak dapat membedakan mana fakta mana ngaco.
Jadi bisa dibayangkan bagaimana peranan tokoh liqo bermain dibelakang untuk merubah kepribadian orang, ke arah penyadaran-penyadaran yang telah digiring, memandang perbedaan politik dan agama sebagai sebuah musuh, ini akan menimbulkan berbagai perpecahan. Semua itu telah direncanakan pada kurikulum liqo yang telah dibuat oleh murabbi dan teman-teman mentor. Namun jangan salahkan liqo, yang berhak menjadi musuh adalah orang-orang yang telah menggunakan media dakwah seperti liqo untuk kepentingan pribadi maupun perkumpulan tertentu.
Sebelum terlambat sebaiknya mulailah merawat pikiran dengan tidak mudah menyerap informasi dari kalangan agamis kampus yang mengiming-imingi jauh dari kesesatan dunia, melalui penyadaran organisasi-organisasi yang tertutup dan berbahaya./Ilham A.