Universitas Negeri Jakarta (UNJ) kembali menerapkan Sumbangan Pembangunan Universitas (SPU) untuk calon mahasiswa jalur mandiri di tahun 2019. Pada tahun sebelumnya, penerapan SPU mendapatkan berbagai kecaman. Salah satunya datang dari Aliansi Mahasiswa UNJ. Pada 2018 aliansi ini melakukan aksi di depan rektorat untuk mencabut kebijakan SPU.
Akan tetapi, pihak birokrat UNJ tidak menanggapi tuntutan “cabut SPU” dalam aksi tersebut. Malah di tahun selanjutnya, SPU diterapkan dengan mekanisme baru. Jika sebelumnya calon peserta diperbolehkan untuk menyumbang dari nol rupiah sampai puluhan juta rupiah. Kini, pada 2019 minimal sumbangan calon peserta sebesar Rp.750.000, atau tidak menyumbang sama sekali.
Intan Ahmad selaku Pelaksana Tugas (Plt.) Rektor UNJ mengatakan alasan UNJ menetapkan batas minimal SPU karena, pada 2018 ada beberapa calon mahasiswa yang menyumbang 1 rupiah sampai Rp50.000,-.Baginya hal tersebut merendahkan universitas. “Masa, nyumbang untuk kuliah Rp50.000.-, itu kan seperti merendahkan,” tuturnya.
Menanggapi pernyataan Intan, Fajar Subhi mahasiswa Sosiologi Pembangunan angkatan 2015, mengatakan bahwasannya, dengan meminta sumbangan untuk universitas kepada calon mahasiswa baru, itu sudah merendahkan UNJ. “Ini universitas, bukan lembaga zakat yang meminta sumbangan,” katanya.
Selain itu, Fajar juga menambahkan adanya minimal menyumbang dalam SPU semakin menguatkan bahwa SPU ialah uang pangkal malu-malu. “Tadinya gak ada nominal. Sekarang ada dan kedepannya prediksi saya akan terus bertambah besaran nominal minimalnya,” tambahnya.
Selain Fajar, beberapa mahasiswa dan komunitas-komunitas serta BEM ikut resah terhadap kebijakan tersebut. Setelah melakukan tiga kali kajian mengenai SPU, komunitas-komunitas yang ada di UNJ, seperti Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA) dan Diskusi Kamis Sore (DKS). Serta, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas dan BEM Fakultas membentuk aliansi bersama yakni Aliansi UNJ Tolak SPU.
Pada Jumat (19/07) Aliansi Tolak SPU mengadakan parade aksi tolak SPU di Plaza UNJ. Parade aksi dimulai pukul empat sore dengan pemasangan banner-banner di Plaza UNJ yang bertuliskan #UNJTolakSPU. Lalu setelah itu dimulai oleh beberapa penampilan mahasiswa seperti pembacaan puisi, nyanyian bernada penolakan terhadap SPU, dan orasi oleh beberapa peserta aksi.
Wisnu Adi Wibowo, selaku Koordinator Parade Aksi Tolak SPU mengatakan parade dipilih untuk sekadar simbolik penolakan mahasiswa UNJ terhadap SPU.
Ia menambahkan, sudah sekitar satu bulan sebelum parade berlangsung, Aliansi UNJ Tolak SPU melakukan serangkaian kegiatan simbolik, seperti memasang banner dan poster di setiap sudut kampus yang bernada keras menolak SPU.
Bagi Wisnu, tujuan serangkaian aksi simbolik tersebut memang belum secara masif, tetapi untuk beberapa hari kedepan ia akan mengarahkan kepada aksi yang lebih masif, yaitu penuntutan dan penekanan kepada birokrasi UNJ untuk menghapus SPU. “Bisa dengan aksi dengan massa lebih besar dan tetap dibarengi dengan aksi-aksi simbolik seperti pemasangan banner dan penyebaran pamflet,” tutur mahasiswa Pendidikan Sejarah 2015 itu.
Naufal Zaki mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar 2015 yang merupakan salah satu peserta parade aksi tolak SPU mengaku keikutsertaanya di parade tersebut merupakan rasa tanggung jawab mahasiswa UNJ atas permasalahan kampus saat ini.
Menurut Zaki kampus telah dibumbui pemikiran kotor kebijakan pemegang kekuasaan. “Kebijakan yang dibuat (birokrasi -red) tidak pernah melibatkan mahasiswa, dan akhirnya menyengsarakan mahasiswa,” ucapnya.
Saat menjelang aksi selesai peserta aksi didatangi oleh seorang laki-laki yang mengaku sebagai petugas kebersihan. Ia menyerukan agar massa aksi membubarkan diri. Karena, menurutnya aksi mengganggu orang yang ingin solat magrib. “Jangan teriak-teriak ini sudah magrib. Bubar-bubar,” serunya sambil berteriak.
Setelah Tim Didaktika melacak seorang laki-laki yang mengaku sebagai petugas kebersihan itu merupakan Irfan, Wakil Dekan I Fakultas Bahasa dan Seni. Menanggapi parade aksi tolak SPU, berbeda dengan Irfan, Komaruddin selaku Wakil Rektor II bidang administrasi dan keuangan mengatakan sah-sah saja mahasiswa melakukan aksi penolakan terhadap SPU. Bagi Komarudin aksi tersebut merupakan penyampaian pendapat dan merupakan bagian dari demokrasi. “Selagi tidak anarkis itu sah-sah saja,” ujar Komar.
Reporter/Penulis: Uly Mega Septiani
Editor: Faisal Bachri