Mahasiswa penyandang disabilitas merasa kesusahan dalam mengikuti proses pembelajaran. Kesulitan tersebut disebabkan oleh dosen yang minim pengetahuan terkait penyandang disabilitas.

Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) Kemdikbudristek menyatakan UNJ masuk dalam nominasi 10 kampus terbanyak yang menerima mahasiswa disabilitas. Sebanyak sebelas mahasiswa penyandang disabilitas fisik dan sensorik resmi menjadi mahasiswa baru pada 2022.

Namun pernyataan barusan tidak diimbangi dengan pemberdayaan dosen dan tenaga pendidik UNJ terkait proses pembelajaran penyandang disabilitas. Fenie Aulia seorang mahasiswa penyandang tunarungu mengaku kesulitan melaksanakan perkuliahan. Lantaran dosen hanya mengajar menggunakan metode ceramah. Jarang ia mendapatkan dosen yang menggunakan media visual sebagai alternatif pembelajarannya.

“Aku kebingungan karena dosen sering memaparkan teori melalui ceramah dengan artikulasi yang cepat,” keluh Fenie.

Selain itu, Fenie juga mengaku tidak mendapatkan tambahan waktu setiap ujian. Padahal dia kerap kali mengalami miskomunikasi dalam penyampaian informasi ujian. Dosen hanya memberikan informasi ujian secara lisan. Sehingga teman-teman tuli tidak dapat memahami penjelasan dosen. Perkara ini mengakibatkan terlambatnya Fenie dalam pengumpulan ujian serta pengurangan nilai yang diberikan oleh dosen. 

Senada, Nora Sondang penyandang low vision juga merasa para dosen belum memiliki pengalaman dalam mengajar mahasiswa penyandang low vision. Terlihat dari pemaparan materi pembelajaran yang sering menggunakan metode pengajaran visual. Alhasil penerimaan pesan pembelajaran pun menjadi terbatas. 

Iklan

“Dalam pembelajaran aku sangat mengandalkan indra pendengaran tetapi rata-rata dosen mengajar dengan memberikan instruksi di layar,” ucap Nora.

Kendati demikian, Koordinator Pusat Pengembangan Akademik dan Layanan Disabilitas, Asep Supena memandang bahwa UNJ sebagai perguruan tinggi telah inklusif. Para dosen rutin diberikan sosialisasi serta pelatihan terkait tata cara pengajaran mahasiswa berkebutuhan khusus. Sosialisasi tersebut biasanya diberikan minimal satu tahun sekali dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional. 

“Sosialisasi dan pelatihan saya rasa cukup diberikan dalam satu kali pertemuan, tetapi jika terdapat kendala dalam pembelajaran dosen bisa berdiskusi lebih lanjut dengan kami,” ungkapnya. 

Baca Juga: Melawan Stunting, Melawan Kemiskinan

Kebijakan ini dilakukan UNJ dalam rangka melaksanakan amanat Permenristekdikti Nomor 46 Tahun 2017 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk meningkatkan kompetensi dosen dan tenaga kependidikan dalam memberikan layanan kepada mahasiswa berkebutuhan khusus. 

Perihal dosen yang masih lalai dalam menangani mahasiswa disabilitas, Asep berkilah hal itu disebabkan oleh motivasi atau komitmen dari dosen tersebut. Ia pun mengatakan kesibukan dosen membuat mereka kesulitan dalam menyediakan metode pembelajaran alternatif bagi penyandang disabilitas.

Terkait pengerjaan ujian, Asep menjelaskan bahwa perpanjangan waktu ujian hanya diberikan kepada mahasiswa tunanetra saja. Pasalnya penyandang tunanetra mengerjakan ujian menggunakan braille. Sedang tunarungu masih dapat melihat juga mengerjakan ujian layaknya anak umum. 

Akan tetapi Wakil Rektor IV Bidang Perencanaan dan Kerjasama, Totok Bintaro mengaku pengembangan kompetensi dosen inklusif di UNJ belum maksimal. Seperti sosialisasi yang hanya bersifat informatif saja. Pelatihan dosen pun masih bersifat umum. Belum adanya pelatihan secara khusus menyesuaikan jenis disabilitasnya.

“Sosialisasi terkait penyandang disabilitas di UNJ masih bersifat informatif dan umum akan lebih baik apabila pelatihan dilakukan berdasarkan jenis disabilitas,” ucap Totok.  

Totok juga berharap para dosen mampu memodifikasi kurikulum sesuai kebutuhan mahasiswa disabilitas. Harapan ini akan membuka aksesibilitas komunikasi bagi mahasiswa disabilitas. 

Iklan

“Dengan begitu, maka akan tercipta ruang pendidikan inklusif bagi semua kalangan,” tutupnya. 

 

Penulis/Reporter: Annisa Inayatullah

Editor: Ragil Firdaus