Masa itu, sebelum kaki menginjak kuliah, senyum selalu teriring saat aku melihat sosok mahasiswa. Sosok gagah pembela rakyat yang rela turun ke jalan demi keadilan, seorang berjubah serba putih yang siap dengan mikrosskopnya, seharian di laboratorium menciptakan hal-hal baru yang berguna bagi umat, terkesiap dengan sekelompok mahasiswa yang membangun listrik tenaga air di desa tertinggal, atau sekelompok mahasiswa mahasiswa ekonomi yang memberdayakan ekonomi masyarakat miskin. Terlihat mahasiswa hadir dalam masyarakat dengan kecerdasan di atas rata-rata.

Kini kaki telah dipijak di bumi idaman. berharap kucuran ilmu, berharap sebalas dengan kucuran biaya tinggi dan keringat yang diperas selama ujian masuk. Berharap menjadi bagian orang-orang terpilih yang masuk pedalaman membantu penduduk dusun tertinggal, menjadi bagian dari orang-orang yang menyuarakan keadilan di jalan-jalan. Namun entahlah, mimpi itu ternyata laksana mimpi dari negeri nun jauh yang dimana bumi kita pijak sekarang. Jauh apa yang aku impikan beridentitas lebih tinggi, mahasiswa dari sebelumnya pelajar, dari kartu pelajar menjadi kartu mahasiswa, yang membuat aku selalu membusung dada manakala seorang menanyakan pekerjaanku, takjub begitu mendengar mahasiswa, mungkin apa yang mereka bayangkan sama halnya denagn apa yang aku bayangkan dulu, sosok mahasiswa yang setengah dewa.

Kini aku gali lubang dala-dalam, mengubur impian kosong masalalu tentang mahasiswa. Kuliah bukan seindahapa yang dibayangkan, apakah memang koran atau TV yang yang bohong saat menampilkan para manusia serba bisa itu, manusia serba bisa yang selalu berada di balik almamaternya dalam mimpiku. Atau memang zaman yang memang telah berubah.

Matahari seolah sudah terbit dari timur, semua serba di luar mimpi. Aku mulai bosan dengan kuliahku. Kuliah yang aku anggap sebagai jalan meretas mimpi, kuliah dengan segala praktek lapangan yang menyenangkan, dalam bayangan saat SMA, bangku kuliah sebagaimana bisa mengembangkan diri terjun di masayarakat.

Kini aku tahu, kuliah hanya diisi dengan mengerjakan setumpuk tugas. Duduk manis di kelas yang lebih sering terbawa mimpi, dosen yang benar-benar acuh, membaca buku yang penuh teori yang entah ada guna ataukah hanya ilmu kosong tanpa aplikasi berarti. Kin aku menyandang status dalam mimpi itu, status sebagai manusia setengah dewa. Namun kini aku terpuruk dalam status baruku, dewa yang tiada daya terhadap dosen, tiada daya untuk menyuarakan keadilan yang terpasung, tiada daya memberontak dari rantai nilai Indeks Prestasi. Nampaknya aku telah salah masuk lubang reinkarnasi, menyesal masuk lubang dewa, lebih baik menanggung derita 1001 cinta, deritanya tiada akhir.