Banyak orang menganggap, globalisasi merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Begitu juga dengan anggapan perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Segeralah mereka, kaum cerdik pandai, serempak membuat rancangan matang. Guna mengisi zaman yang penuh manipulasi dan eksploitatif ini.
Selasa, 4 Februari 2003, tepat pukul satu siang, terik matahari menyengat Kota Gudeg Yogyakarta. Terlihat ratusan mahasiswa angkatan 2002 Universitas Gajah Mada (UGM) beranjak dari pelataran tempat pembayaran SPP. Mereka berbondong-bondong bukan bermaksud antri bayaran. Melainkan melakukan aksi menuntut penghapusan dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP).
Berawal dari keluarnya Surat Keputusan (SK) Rektor No.109/SK/2002, perihal dana BOP yang harus ditanggung mahasiswa sebesar Rp 500 ribu-Rp 700 ribu.. Keputusan tersebut akhirnya menuai protes dari mahasiswa. Mereka seakan-akan menjadi korban penipuan, karena saat pengumuman SPMB tahun 2002 tidak dicantumkan dana BOP. Selain itu mereka mengeluarkan dana untuk Sumbangan Pengembangan Akademik (SPA) yang berkisar Rp 2 juta- Rp 50 juta.
Syukron, mahasiswa Fakultas Teknik 2002, mengatakan, “Pungutan BOP tidak bisa dilepaskan dari penerapan otonomi universitas, sehingga pihak birokrat kampus semena-mena membuat aturan. Bayangkan saja, kalau ini terus dilakukan, pada akhirnya kuliah hanya jadi milik wong sugih (orang kaya).”
Ia juga mengkritisi otonomi kampus yang diterapkan saat ini mengalami penyempitan makna. Kadang-kadang otonomi kampus disamakan dengan otonomi keuangan, yang semuanya dibebankan kepada mahasiswa dalam hal keuangan. “Harusnya UGM memaksimalkan dulu masalah pembiayaan, kemudian baru dibebankan pada mahasiswa. Justru yang terjadi sekarang, mahasiswa malah dijadikan objek,” tambahnya.
Sementara Tentri, mahasiswa Fakultas MIPA, mempertanyakan transparansi dana BOP. “Bagi mahasiswa kurang mampu diiming-imingi beasiswa untuk meredam aksi. Tapi, dana itu digunakan untuk apa sampai sekarang belum jelas,” ujarnya.
Untuk membuktikannya. Tentri memberikan data jumlah mahasiswa penerima beasiswa UGM Peduli. Ternyata dari 5.983 mahasiswa yang mengajukan beasiswa UGM Peduli, hanya 208 orang yang diterima. Jumlah yang sangat minim jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa yang membutuhkannya.
Sebenarnya, kenaikan SPP di UGM berawal dari sebuah kebijakan pemerintah. Sejak tahun 1999, pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai hak otonomi PTN melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 tentang kemandirian universitas dalam. penyelenggaraan pendidikan.
Diubahnya status PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) merupakan sebuah terobosan dalam rangka swadaya universitas. Sebagai langkah pertama, pemerintah menunjuk empat PTN terkemuka yaitu UI, ITB, UGM dan IPB sebagai percobaan.
Perubahan status menjadi BHMN harus memenuhi dua prasyarat mendasar, yaitu perubahan konstitusi universitas dan statuta (anggaran dasar) PTN ke anggaran dasar PT BHMN. Kemudian berlanjut pada penyesuaian manajemen dari administrasi bernuansa birokratis ke manajemen PT BHMN yang bernuansa pelayanan. Ini meliputi bidang kepegawaian, keuangan, sarana, prasarana dan informasi.
Suyanto, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), menilai, dengan otonomi ada keleluasaan untuk mengurus diri sendiri itu baik. Sayangnya, itu tidak didukung oleh perangkat undang-undang (UU) yang memungkinkan otonomi bisa berjalan dengan baik, terutama dalam bidang keuangan. Misalnya, BHMN tidak diakui oleh departemen keuangan karena belum ada UU yang mengaturnya. Harusnya, pengertian BHMN itu disetarakan dengan BUMN.
“Pandangan orang BHMN itu swastanisasi, kan image-nya. Apa artinya swasta atau tidak sama saja, bila tidak disupport dana pendidikan. Sedangkan pendidikan semakin mahal. Pemerintah sendiri semakin tidak mampu. Seperti sekarang, untuk mendidik program ilmu sosial memerlukan 7,5 juta setahun untuk seorang mahasiswa. Justru kesulitan BHMN sekarang dalam mencari dana dari masyarakat, caranya dengan menaikkan SPP,” kata Suyanto.
Meski begitu, keempat universitas BHΜΝ tersebut tetap teguh akan pendiriannya. Malah mereka sudah membuat rencana strategi (renstra). ITB, contohnya, sudah membuat sasaran pengembangan dari tahun 1998 sampai 2007. Terdapat lima sasaran yang ingin dicapai. Pertama, menciptakan sistem yang terpadu secara keilmuan, kelembagaan, misi dan kegiatannya. Kedua, meningkatkan mutu dan kemampuan ilmiah. dengan menjadikan program pasca sarjana sebagai ujung tombak. Ketiga mengembangkan penelitian sesuai dengan kebutuhan nasional, penguasaan ilmu-ilmu dasar serta critical sciences and technologies yang kuat, pengembangan program studi unggulan dan pengembangan dan pengabdian pada masyarakat yang tepat sasaran. Keempat, meningkatkan kerjasama keterkaitan perguruan tinggi, industri, lembaga pemerintahan dan masyarakat. Kelima, menyelenggarakan otonomi perguruan tinggi dan mewujudkan kehidupan akademis yang mandiri, dinamis, maju dan kreatif dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Dengan penuh optimis, Rektor ITB Kusmayanto Kadiman menjelaskan, “Kalau kesiapan jadi BHMN, sebenarnya nggak ada yang siap. Masalahnya sekarang ada kesempatan, mau tidak diambil. Kemudian kita lakukan sambil jalan. Kan begini, kita tidak bisa membenahi ITB dahulu baru kita jalan lagi. Karena ada tanggung jawab terhadap masyarakat yang harus dijalankan penuh. Sebab, perubahan yang dilakukan sambil memperbaiki.”
Lebih lanjut Kusmayanto menjelaskan, “Dalam bidang kurikulum, yang dibangun ITB adalah perpaduan serasi antara kebutuhan pasar, globalisasi dan kemampuan institusi, sehingga lulusan kita benar kebutuhan masyarakat. Entah sebagai pegawai, wirausahawan, atau lainnya. Itu yang dimaksud kemandirian.”
Hal serupa juga dilakukan UGM. Terdapat enam poin di misi pengembangannya. Yaitu pertama, menawarkan program pendidikan tinggi unggulan yang dirancang untuk mampu berperan dalam komunitas internasional dengan dilandasi pembentukan karakter bangsa sebagai identitas nasional. Kedua, mempersiapkan lulusan yang berkualitas dan mempunyai cara berpikir yang mencerminkan visi universitas. Ketiga, mengembangkan penelitian yang didukung kuat oleh pendidikan guna pencapaian ilmu pengetahuan, teknologi, maupun pengkayaan budaya. Keempat, mengembangkan pengabdian pada masyarakat dengan fokus pada usah ikut memberikan kontribusi dalam menyelesaikan berbagai persoalan aktual yang timbul di masyarakat. Di poin berikutnya, mengembangkan kerjasama dengan perguruan tinggi, dunia usaha dan industri. Terakhir menghimpun dana melalui unit usaha universitas untuk pengembangan pendidikan dan penelitian.
Berbeda dari Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB), kedua kampus ini (ITB dan UGM) lebih mengembangkan kampus riset yang diproyeksikan bagi bidang industri.
Praktisi pendidikan Prof. Dali S. Naga berpendapat lain. la melihat persoalan otonomi kampus tidak bisa lepas dari faktor minimnya anggaran pemerintah akibat krisis berkepanjangan. Rektor Universitas Tarumanegara (UNTAR) ini menganggap cukup dengan empat universitas saja bila semua PTN di BHMN-kan. Biaya kuliah akan mahal, lalu mereka yang kurang mampu tidak bisa mengenyam bangku perguruan tinggi.
“Seharusnya semua kebijakan PT yang dibuat harus berdasarkan tujuan pendidikan. Misalnya begini, Jurusan Sastra Jawa di UI bukanlah ilmu yang dibutuhkan di era globalisasi. Namun kita butuh ilmu itu untuk mendalami khazanah budaya. Maka, jurusan komputer dan ekonomi yang banyak diminati oleh mahasiswa, karena sesuai dengan kebutuhan sekarang meski men-subsidi mahasiswa Sastra Jawa,” ungkapnya.
Jika dilihat, ada pergeseran pemikiran atau konsep di PT, yaitu dari konsep idealisme agen perubahan ke motif pragmatis-produksionis. Artinya, PT hanya menyediakan apa yang dibutuhkan oleh sistem masyarakat. Kalau kini sistemnya kapitalis, tentunya, PT wajib menyediakan kebutuhan bagi kepentingan modal.
Padahal PP No. 60 tentang perguruan tinggi, di pasal 1, telah termaktub tujuan perguruan tinggi yang isinya cukup baik. Pada ayat 1(b) berbunyi, “Tujuan pendidikan tinggi adalah mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan, memperkaya kebudayaan nasional.”
Masih di pasal yang sama, ayat 2, “Penyelenggaraan kegiatan untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman pada: tujuan pendidikan nasional, kaidah moral dan etika ilmu pengetahuan, kepentingan masyarakat, serta memperhatikan minat, kemampuan dan prakarsa pribadi.”
Sedangkan Djohar SS, pengamat pendidikan di Yogyakarta, menolak tegas keberadaan BHMN. “BHMN cenderung ke arah liberalisasi dan kapitalisasi, jelas bertentangan dengan jiwa kita (pendidikan nasional). Bisa dilihat usaha tersebut menuju kompetisi kapitalisasi, bukannya mengembangkan kerjasama antar PT besar dengan PT yang ada disekitarnya.”
“Saya dulu bercita-cita perguruan tinggi tapi dalam hal akademik, menentukan kurikulum sendiri dan tidak sampai pada masalah biaya, seperti menswastakan PTN sehingga persaingan tidak begitu sehat, karena berebut kerjasama dengan yang lain, atau instansi lain,” ujar mantan rektor UNY ini.
Djohar sendiri merasakan belum ada pola baku di pendidikan. Sebetulnya apakah itu pola Indonesia. Apa Indonesia polanya harus begitu. Apakah harus menjiplak dari luar dan lainnya? Dan, bukannya disesuaikan dengan kultur kita? Aneh sekali, bagaimana ilmu yang ada di Indonesia sampai orang asing mempelajarinya.
Masih banyak cara meningkatkan mutu PT tanpa melalui kaca mata bisnis. Oleh karena bila pola ini di sepakati, pendidikan di Indonesia seperti layaknya hukum rimba. Yang kuat adalah pemenangnya.
Mengutip gagasan Learning The Treasure Within dari Jaques Delors, terdapat empat pilar utama bagi dunia pendidikan dalam menghadapi globalisasi, yaitu Learning to Know: cara memberikan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan sekitar. Kemudian Learning to do: suatu proses pembelajaran yang mengajarkan untuk membuat sesuatu yang bermakna bagi kehidupan. Learning to be: sebuah prinsip pendidikan yang dirancang guna membuat seseorang mempunyai sikap mandiri. Dan yang terpenting Learning to Live Together, yaitu proses mendidik manusia agar terus peduli antar sesama dan lingkungan sosial. Pertanyaannya kemudian, sudahkah PTN di di Indonesia melakukannya?
Dalam masa transisi dari orde baru ke orde reformasi, belum banyak perubahan di segala bidang. Apalagi bidang pendidikan nasional yang masih mengalami kegagapan. PTN semakin tidak jelas arahnya. Diiringi dengan mahalnya biaya kuliah menambah suramnya masa depan dunia pendidikan.
Ditulis Oleh: Selamet
Laporan: Ipung
Dalam Majalah LPM Didaktika Edisi No. 26 Th. XXIX/2003 pada Rubrik Laporan Utama