Sangking asyiknya universitas mengejar taraf internasional, jati dirinya mulai dilupakan
Tridarma perguruan tinggi mewadahi fungsi dan kewajiban yang harus diemban universitas. Termasuk diantaranya adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dalam UU 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dijelaskan bahwa universitas muncul sebagai lembaga strategis negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Tujuannya untuk memberdayakan masyarakat Indonesia.
Namun, suasana kampus kini kian menjauh dari yang namanya mengemban Tridarma. Salah satunya mengenai budaya akademik yang buruk. Sebut saja kasus plagiasi, rektor Universitas Halu Oleo terbukti plagiat pada April 2021 lalu. Sementara di UNJ terjadi pula kasus serupa, rektor Ahmad Djali pada 2017 terbukti plagiat yang menyebabkan dirinya dicopot dari kursi kepemimpinan UNJ.
Lanjut dari kanal berita yang sama, melalui liputan “Usaha Perjokian Merajalela, Bagai Pabrik Karya Ilmiah”, Kompas menggambarkan betapa maraknya fenomena joki tugas di lingkup universitas. Penyakit ini tidak hanya menjangkiti tenaga pendidik tapi juga mahasiswa. Rata-rata permasalahan tersebut terjadi karena mengejar pangkat atau hanya sekedar menyelesaikan tugas perkuliahan seperti skripsi, ulangan, esai, dsb.
Sementara itu, dalam ranah pengabdian masyarakat pun tak lepas dari masalah. Kampus cenderung memformalisasi kewajiban tersebut. Hasilnya, praktik pengabdian masyarakat hanya sekadar usaha untuk menggugurkan kewajiban.
Seperti yang terjadi di UI, kala itu mahasiswa teknik membuat mesin penyaring air hujan menjadi air bersih. Namun setelah mesin itu dibuat lalu mahasiswa pengabdian pergi, warga justru kebingungan menggunakan mesin tersebut. Alhasil ia hanya terbengkalai dan menjadi rongsokan.
Belum lagi kasus yang terjadi pada program KKN UNP di Bungsu Teluk Kabung, Kota Padang. Akibat seorang mahasiswa mebuat konten menyindir fasilitas KKN, warga disana marah dan mengusir mahasiswa KKN tersebut.
Kasus-kasus tersebut menjadi gambaran adanya penurunan moral akademik dan integritas universitas di Indonesia. Hal ini terjadi akibat dari orientasi universitas kini yang lebih mengarah kepada kuantitas. Memang program-program mengenai penelitian dan pengabdian ada dan banyak jumlahnya. Namun semuanya hanya mentok pada formalitas saja, sebagai penggugur kewajiban.
Baca juga: Mahalnya Biaya dan Beban Danusan untuk ikut PKMP
Ambisi Universitas
Penurunan moral akademik yang terjadi di universitas tidak bisa dilepaskan dari gelombang neoliberalisme perguruan tinggi di Indonesia melalui General Agreement on Tariffs and Trade(GATT). Saat perjanjian ini pemerintah Indonesia menetapkan sektor pendidikan sebagai sektor perusahaan jasa. Lalu muncul kebijakan untuk mengubah universitas negeri menjadi perguruan tinggi negeri berbadan hukum(PTN-BH).
Fenomena ini merupakan dampak dari trend New Public Management (NPM) yang terjadi di era 1990an. NPM sendiri merupakan cara pandang baru dalam administrasi publik, dimana spirit sektor kerja swasta menjadi patokan dalam menjalankan administrasi publik. Spirit ini digunakan dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja sektor publik yang selama ini dicitrakan lambat, boros, dan korup.
Cristopher Hood sebagai professor Oxford yang mencanangkan ini menyebutkan terdapat beberapa prinsip dalam NPM: profesionalitas, penggunaan indikator kinerja, penekanan pada kontrol output dan outcome, desentralisasi kewenangan, kompetisi pelayanan publik, dan internalisasi spirit manajemen sektor privat.
Namun, pengaplikasiannya di Indonesia justru terpatok pada privatisasi pelayanan publik dan persaingan diantaranya. Dampaknya sangat bisa dirasakan, mulai dari kampus yang semakin mahal, persaingan antar universitas meraih peserta didik, kampus saling berlomba-lomba dalam perangkingan internasional, dsb.
Selain itu, ambisi kampus mengejar status World Class University menekan produksi riset dosen di setiap kampus. Karena tidak semua dosen mampu untuk menerbitkan jurnal-jurnal internasional dan punya beban pengajaran, serta masalah ekonomi, plagiasi jadi pilihan menarik.
Bayangkan saja seorang dosen harus mengejar penelitian-penelitian internasional yang pastinya membutuhkan waktu untuk mengejar kedalaman analisis, ditambah ada kelas yang harus ia ajar, juga menyiapkan materi atau mengoreksi tugas-tugas mahasiswa. Belum lagi kalau ia menjadi pembimbing skripsi.
Dalam sistem ini juga menekan mahasiswa, Terkadang ada saja dosen yang memanfaatkan mahasiswa untuk mengerjakan penelitiannya. Contohnya seperti pengklaiman jurnal mahasiswa. Lalu ada juga dosen yang menyuruh mahasiswanya untuk mengunggah penelitian ke situs jurnal internasional, tapi berbayar.
Penerapan NPM dalam sektor pendidikan tinggi malah menimbulkan banyak “penekanan” dimana hal ini menurunkan moral akademik. Juga orientasi universitas bersaing di ruang global malah semakin menjauhkan intelektual dari masyarakat.
Kembali ke Esensi
Dalam sejarahnya, Tridarma perguruan tinggi hadir untuk mengentaskan masalah pendidikan di Indonesia. Ia tercipta atas dasar kebutuhan rakyat akan kemajuan melalui penalaran ilmiah dan tujuan negara atas pemerataan pendidikan.
Kini, universitas malah menunjukkan satu kecenderungan internasionalisasi. Ambisi ini justru mengaburkan pentingnya kehadiran kampus di negeri ini.
Sebelum mendunia, membumi dulu. Kembali ke esensi lama menjadi kunci memulihkan kekalutan universitas. Berpihak kepada kepentingan rakyat banyak, bertujuan meningkatkan penalaran ilmiah rakyat, dan membantu memeratakan pendidikan. Cara pandang inilah yang perlu dibangkitkan kembali.
Tentunya pemerintah memiliki andil besar dalam hal ini, apalagi dalam rangka menyambut surplus pemuda 2045, mengembalikan khitah universitas seperti sebelumnya menjadi sangat penting. Dimulai dari merefleksikan ulang tujuan universitas, apa yang sebenarnya rakyat butuhkan dari universitas?
Sebagai penutup, terdapat sebuah contoh sebagai perbandingan. Di tahun 1959 divisi pendidikan PKI menggagas Universitas Rakyat(Unra), dengan semangat “pemerataan rasio”. Dalam praktiknya Unra berfokus mendidik sarjana-sarjana yang nantinya dapat terjun ke masyarakat, tak hanya turun dan membantu tapi juga membersamai dan membuat masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri.
Sarjana Unra berafiliasi dengan Barisan Tani Indonesia untuk mensejahterakan dan memabngun martabat petani. Mereka mengajari petani bagaimana melakukan riset. Hal ini agar petani bisa mandiri mengidentifikasi dan menyelesaikan masalahnya.
Selain itu sarjana Unra juga membantu memberantas buta huruf dengan mengajari petani membaca dan menulis. Tak luput mereka juga memberikan pendidikan politik dengan cara membuat serikat dan penanaman ideologi.
Hal ini mengingatkan penulis dengan kata-kata bijak Tan Malaka “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”.
Penulis: Asbabur Riyasy
Editor: Izam Komaruzaman