Watak birokrat kampus yang sesungguhnya makin terlihat jelas. Ruang-ruang demokratis di kampus semakin sempit, sebagai korban pemulihan nama baik.
Memasuki masa orientasi mahasiswa baru UNJ tahun ini, kasus plagiarisme kembali menyeret nama UNJ ke jagad media sosial. Tepatnya pada awal Agustus lalu, pemenang sayembara logo Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) UNJ 2022 diduga menjiplak dari internet. Kasus ini pun segera menjadi perbincangan warga Twitter dan menuai pro-kontra.
Salah satu akun dengan nama pengguna @UNJmenfess, turut menjadi wadah bagi berbagai akun untuk mengomentari kasus tersebut. Sayangnya, panitia acara yang berada di bawah komando Wakil Rektor (WR) III bidang Kemahasiswaan UNJ, tidak membuat klarifikasi apapun dan hanya sedikit merevisi logo tersebut. Kolom komentar di akun Instagram @pkkmbunj pun ditutup.
Belum surut kegaduhan, Shandy Aditya selaku dosen sekaligus staf WR III UNJ, semakin memperkeruh suasana. Pasalnya, ia mengatakan di akun Instagram-nya pada 10 Agustus lalu bahwa plagiarisme dalam logo PKKMB hanyalah gimmick, drama, dan strategi marketing agar masyarakat se-Indonesia melirik PKKMB UNJ.
Di balik ucapan Shandy yang nampak menyepelekan masalah, nampaknya para pimpinan UNJ terusik dengan kehadiran akun @UNJmenfess yang turut membuat masyarakat sadar akan plagiarisme di UNJ. Maka, keesokannya, UNJ melalui akun Instagram @unj_official merilis siaran pers yang melarang pihak-pihak ataupun organisasi yang menggunakan “UNJ” sebagai identitas, lambang atau nama, karena dianggap berpotensi merugikan nama baik. Setelah itu, dicantumkan pula organisasi-organisasi kemahasiswaan yang dinyatakan resmi oleh pihak kampus.
Padahal, beragam organisasi mahasiswa di UNJ juga memiliki peran penting dalam menumbuhkan kritisisme mahasiswa, menyediakan wadah diskusi yang tidak disediakan di ruang kelas, serta menciptakan perubahan yang menampung kepentingan mahasiswa. Seperti Solidaritas Pemoeda Rawamangun (SPORA) UNJ, salah satu komunitas yang terdiri dari mahasiswa antar fakultas di UNJ.
Acap kali, SPORA UNJ menjadi agitator dan penggerak dalam berbagai aksi di UNJ. Misalnya, ketika salah satu dosen FIS yang pernah menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap mahasiswi UNJ kekerasan seksual terhadap mahasiswi UNJ. Organisasi dan komunitas (termasuk SPORA UNJ) yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UNJ pun mendesak agar birokrat kampus dapat segera menindak pelaku dan memberikan bantuan hukum kepada korban.
Selain SPORA, mahasiswa UNJ juga memiliki organisasi yang bergerak di bidang pengedukasian gender dan kekerasan seksual, mengingat maraknya kasus kekerasan seksual yang kerap terjadi di institusi pendidikan. Gerakan Perempuan (Gerpuan) UNJ adalah salah satunya.
Belum hilang dari memori kita, ketika dosen FT UNJ menjadi pelaku kekerasan seksual ketika dosen FT UNJ menjadi pelaku kekerasan seksual melalui pesan WhatsApp. Tak sedikit dari mahasiswi dosen tersebut yang akhirnya mengaku pernah menjadi korban. Merespon hal tersebut, Gerpuan UNJ membuka layanan pengaduan agar kasus-kasus kekerasan seksual di UNJ dapat digapai. Gerpuan sebagai organisasi penggerak perempuan UNJ, yang bertujuan agar terciptanya ruang aman anti kekerasan seksual di kampus.
Pihak kampus tentu tak dapat memalingkan fakta bahwa organisasi dan komunitas mahasiswa di UNJ, baik resmi atau tidak, telah subur dan berkembang dalam menciptakan perubahan di kampus. Bahkan, komunitas-komunitas di UNJ memiliki wadah yang menyatukan mereka.
Dengan adanya siaran pers tersebut, birokrat kampus memperlihatkan watak aslinya, yaitu anti kritik yang tujuannya untuk memperlemah gerakan mahasiswa di UNJ. Bukan hanya komunitas maupun organisasi kemahasiswaan saja.
Akun Twitter @UNJmenfess juga dapat dilihat sebagai wadah yang menampung aspirasi mahasiswa. Kasus plagiarisme logo kemarin dan beberapa komentar mahasiswa yang kecewa, dapat dilihat sebagai suatu gerakan yang mengancam kredibilitas kampus. Maka, tak heran jika kampus akhirnya membuat rilis pers dalam akun Instagramnya.
Ilusi “Nama Baik”
Munculnya siaran pers tersebut tentu tak dapat dilihat secara parsial semata. Mengingatkan kita semua tentang Ambisi UNJ menuju Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) dengan dibentuknya Tim Percepatan PTN-BH UNJ, Oktober 2021 lalu. Fenomena transformasi status PTN-BLU menjadi PTN-BH seperti kereta cepat dengan tujuan stasiun imajiner bernama World Class University, yang menghantam apapun di depannya.
Sebab, fenomena ini masih terus berjalan meski mendapat banyak penolakan dari mahasiswa, akademisi, dan pengamat pendidikan. Dengan adanya PTN-BH, perguruan tinggi menjadi kian mahal dan terprivatisasi, karena hanya orang-orang yang punya uang saja yang dapat mengaksesnya. Selain itu, peran negara dalam pembiayaan pendidikan pun semakin diperkecil.
UNJ, bersama PTN-PTN lain juga tengah masuk bursa alih status menuju PTN-BH, saat ini tentu sedang berupaya semaksimal mungkin menjaga nama baik. Sebab, diterima atau tidaknya perubahan status tersebut berada di tangan Kemendikbud Ristek. Dengan demikian, posisi kampus saat ini pun didorong untuk menjadi anti kritik dan berupaya menaikkan citra baiknya untuk menutupi kebobrokan yang ada di dalamnya.
Cara lainnya juga dengan menutup kesalahan kampus dengan alasan yang seakan-akan memang disengaja untuk menutup rasa malu. Alih-alih membuat klarifikasi atau meminta maaf, Shandy Aditya dengan santainya justru berkilah bahwa kehebohan yang terjadi perihal plagiarisme logo PKKMB UNJ tahun ini, merupakan gimmick dan strategi marketing UNJ belaka.
Padahal sebagai institusi pendidikan, birokrat seharusnya memilih jalan lain jika ingin menjaga nama baiknya yang berpihak pada mahasiswa, yakni mendengar kritik dan aspirasi mahasiswa. Dan membuka selebar-lebarnya ruang demokratis di kampus dengan melibatkan mereka dalam perumusan kebijakan. Bukan dengan cara-cara represif seperti membungkam kritik dan pembredelan kelompok-kelompok mahasiswa yang dianggap “tidak resmi”.
Birokrat kampus justru menutup ruang-ruang demokratis yang jika dibiarkan, dapat berimbas pada hilangnya nama baik itu sendiri. Sebab, jika mahasiswa tak dapat lagi menjangkau pemangku kebijakan kampus melalui kritik, potensi terjadinya praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) akan terjadi dan dapat terus meningkat.
Penulis: Hastomo D. Putra
Editor: Zahra