Kasus kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Tanpa peduli siapa korbannya, bagaimana busananya, serta sikapnya. Bentuk dari kekerasan seksual sendiri beragam, seperti pemerkosaan,pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdgangan perempuan, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, dan aborsi. Kasus kekerasan seksual marak terjadi setiap harinya, korbannya tak hanya perempuan dewasa tapi juga anak-anak. Komnasper (Komisi Nasional Perempuan) sendiri pernah menyatakan bahwa dalamdua jam setidaknya tiga perempuan mengalami kekerasan seksual. Sayangnya, payung hukum untuk korban kekerasan seksual masih dirasa kurang dalam memenuhi hak korban untuk mendapat penanganan, perlindungan, serta pemulihan.
Kasus kekerasan seksual, lebih tepatnya pemerkosaan dan penganiayaan terhadap anak di bawah umur pernah terjadi di Korea Selatan, kasus ini kemudian dikenal dengan Nayoung Case. Nayoung Case adalah suatu kasus pemerkosaan dan penganiayaan yang terjadi pada tahun 2008. Kasus ini menimpa seorang gadis berusia delapan tahun yang dikenal dengan nama Kim Na Young. Kasus Kim Na Young kemudian difilmkan pada tahun 2013, dengan judul Hope. Dalam film ini nama Kim Na Young diubah namanya menjadi Im So Won yang kemudian diperankan oleh Lee Ree, seorang aktris cilik Korea pada masa itu. Kasus ini mendapat banyak reaksi dari masyarakat Korea dan dunia pada umumnya karena hukuman bagi pelaku dinilai terlalu rendah untuk kejahatannya yang sangat biadab.
Sekilas Tentang Film Hope
Film Hope diawali dengan penggambaran kehidupan seorang gadis kecil yang periang bernama Im So Won, ia memiliki seorang ayah yang merupakan buruh pabrik dan ibu yang memiliki toko dirumahnya. Suatu hari, So Won berangkat ke sekolah sendirian dalam kondisi hujan dan jalanan yang sepi. Namun di tengah jalan, dirinya dihadang oleh seorang pria berumur 57 tahun yang kemudian diketahui bernama Cho Do Son. Awalnya Cho Do Son hanya meminta Im So Won untuk berbagi payung. Im So Won mengiyakannya. Namun, Cho Do Son malah membawa paksa So Won ke sebuah toilet rusak yang berada di sebuah gereja. Cho Do Son, memperkosa dan menganiaya So Won lalu meninggalkan tubuh So Won yang penuh luka begitu saja.
So Won ditemukan dengan kondisi fisik yang mengkhawatirkan. Namun, ia masih bisa diselamatkan. Meskipun begitu So Won harus menggunkan kantong kolostomi seumur hidupnya, akibat adanya kerusakan pada ususnya. Selain itu So Won juga mengalami trauma berat. Hal ini menyebabkan dirinya tak mau bicara dan berinteraksi dengan laki-laki, termasuk ayahnya sendiri. Sang ayah mesti menggunakan costume cocomong (tokoh animasi korea) untuk bisa berinteraksi dengannya.
Susah payah korban dan keluarga menjalani proses penyembuhan dan pemulihan pasca trauma sangat nampak pada film ini. Hari demi hari dalam masa penyembuhan dan pemulihan pasca trauma yang dilakukan So Won dibawah pengawasan terapis anak, mengalami banyak kemajuan. So Won yang semula tak mau bicara, perlahan-lahan mulai bersuara dan mengungkapkan isi hatinya. Butuh waktu berbulan-bulan bagi Im So Won dan keluarga untuk kembali memulai aktivitas hidupnya seperti dulu.
Akan tetapi, kehidupan keluarga So Won kembali diguncang prahara ketika pengadilan memutuskan hukuman yang dirasa terlalu ringan kepada pelaku pemerkosanya, yakni 12 tahun masa penjara. Tapi tak ada yang bisa dilakukan So Won dan keluarga selain berdamai dengan kenyataan bahwa pelaku akan bebas ketika So Won menginjak usia 20 tahun. Film ini lalu ditutup dengan menampilkan So Won dan keluarga yang mulai kembali menjalani aktivitas seperti biasanya.
Dalam film ini sang penulis dan sutradara banyak menampilkan kejadian yang perlu mendapat sorotan sebab, beberapa adegan kerap kali terjadi dan menimpa korban kekerasan seksual. Seperti media dan pandangan sosial yang kerap kali menempatkan korban seperti seorang pelaku. Hal ini terjadi di adegan diawal film tepatnya di menit ke 22, saat Ibu dari Im So Won mengatakan keresahannya apabila kejadian yang menimpa Im So Won diketahui banyak orang. Lalu adegan lainnya terjadi di menit ke 44 saat Im So Won dikejar-kejar para wartawan yang ingin mewancarainya. Diburu wartawan hingga membuatnya harus pindah ruang rawat inap membuatnya ketakutan. Hingga So Won bertanya pada sang ayah, “Apakah aku berbuat salah?” Pun dalam kasus kekerasan seksual korban kerap kali menjadi pihak yang juga turut disalahkan, seperti dalam dialog ketika Im So Won tengah melakukan terapi. Pada sang terapis dirinya mengungkapkan bahwa orang-orang menyalahkannya dan menganggap tindakannya meminjamkan payung kepada pelaku pemerkosanya merupakan hal yang salah.
Pada kenyataannya diskriminasi terhadap korban kekerasan seksual memang kerap terjadi, beberapa adegan diatas hanyalah segilintir contoh dari kejamnya masyarakat dan media dalam memposisikan korban kekerasan seksual. Korban yang mestinya mendapat perlindungan justru turut menjadi pihak yang disalahkan. Ada saja celah yang dijadikan alasan bagi masyarakat dalam mengatakan bahwa kekerasan seksual itu terjadi karena korban turut bersalah. Masyarakat kerap kali mendikte bahwa korban seharusnya tak melakukan hal-hal yang bisa menjadikannya korban kekerasan seksual. Padahal kekerasan seksual bisa disebabkan oleh apa saja dan penyebabnya mestilah dari tindakan pelaku itu sendiri. Menyalahkan korban hanya menunjukkan betapa korban kekerasan seksual tak punya perlindungan dan ruang aman untuk dirinya.
Lindungi Korban, Tindak Tegas Pelaku!
Kasus yang menimpa Nayoung atau dalam film disebut So Won mestinya jadi pelajaran penting bagi dunia terutama juga Indonesia dalam menangani kasus kekerasan seksual. Karena trauma dan apa yang dialami korban tak semestinya disepelekan. Kasus Nayoung adalah representasi korban-korban kekerasan seksual di Indonesia secara umum, dimana penderitaan koban tidak sebanding dengan hukuman untuk pelaku.
Beberapa korban kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan pun mengalami hal yang sama dengan Nayong. Seumur hidupnya, korban harus menderita cacat fisik akibat penganiayaan saat pemerkosaan. Di tambah lagi korban mengalami trauma yang menyerang psikologisnya. Alasan apapun seharusnya tidak dijadikan dalih untuk meringankan hukuman pelaku bahkan membebaskannya dari tuntutan hukuman. Layaknya kasus Nayoung, dimana pelaku berdalih dirinya telah melakukan pemerkosaan karena sedang dalam pengaruh alkohol. Mirisnya, 13 Desember 2020 nanti, Cho Do Son (pelaku pemerkosa Nayoung) akan bebas dari penjara. Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah pelaku akan kembali ke tempat tinggal yang jaraknya kurang dari 1 km dengan kediaman korban. Hal ini tentunya sangat disayangkan karena dapat memicu kembali trauma korban dan juga membahayakan keselamatan korban.
Payung hukum bagi korban kekerasan seksual mestinya ada dan terlaksana dengan baik di suatu negara, agar para korban kekerasan seksual punya jaminan bahwa dirinya dilindungi oleh Undang-undang. Hal ini juga bisa menjadi sistem pendukung (support system) korban, agar ia merasa tidak sendirian. Begitu pun pelaku yang mestinya mendapat efek jera dan sadar akan kesalahannya. Haruslah ditindak tegas dengan sanksi yang sesuai! Tentu saja bukan dengan mendamaikan pelaku dan korban, apalagi menikahkan korban dengan pelaku. Melainkan sanksi sosial, sanksi pidana, atau sanksi berupa edukasi-edukasi terkait kekerasan seksual.
Indonesia sendiri memiliki rancangan undang-undang tentang penghapusan kekerasan seksual atau yang biasa disebut Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), namun nampaknya RUU ini masih mengambang dalam ketidakpastian. Karena pada 2020 ini RUU PKS justru resmi dikeluarkan dari Program Legislatif Nasional (Prolegnas). Padahal di Indonesia sendiri masih banyak terjadi kasus kekerasan seksual yang bahkan terus meningkat tiap tahunnya. Sebut saja pemerkosaan yang menimpa Enno Farihah dimana kemaluannya dimasuki gagang pacul oleh pelaku atau kasus yang terjadi di Bengkulu pada tahun 2016 lalu yang menimpa seorang gadis berumur 14 tahun yang diperkosa 14 laki-laki dan masih banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.
Komnas Perempuan sendiri telah mencatat, dalam 12 tahun terakhir kekerasan seksual di Indonesia meningkat 8x lipat atau 792%. Namun penyelesaiannya gamang. Pada umumnya korban malah dianggap bersalah pula dalam kasusnya, atau kasus dianggap tak cukup bukti dan pelaku melenggang bebas begitu saja. Kurangnya perlindungan hukum dan dukungan sosial juga membuat korban memilih bungkam, tak sedikit korban menyimpan rapat-rapat Kekerasan Seksual yang menimpanya. Tak terbayangkan, betapa lelahnya korban kekerasan seksual di negeri ini yang harus berhadapan dengan pelaku, sekaligus hukum Negara yang belum berpihak pada korban.
Footnote
Penulis: Nafisah
Editor: Annisa Nurul Hidayah Surya